complicated.
“so, kita mau kemana?” tanya soonyoung ketika kian sudah memasuki mobil. perempuan itu tersenyum, “jeju.”
deburan ombak memasuki pendengaran soonyoung. terasa nyaman dan membuatnya menjadi bisa 'bernapas', setelah merasa sesak semalaman penuh.
waktu yang ditempuh dari seoul menuju jeju adalah kurang lebihnya 4 jam, menggunakan mobil pribadi. sepanjang perjalanan, baik kian maupun soonyoung tidak ada yang berbicara. hanyalah radio yang mengisi.
“kamu tau kak, kenapa aku milih jeju?” itu kian, perempuan itu tengah memakai jaketnya yang ia berikan tadi dan sedang duduk di sebelahnya.
soonyoung menoleh, menatap kian yang sedang menutup mata ketika angin menerpa wajahnya. “nggak, kenapa?” jawabnya sembari mengalihkan pandangan kembali. “dulu, papa suka ngajak aku ke sini.”
jawaban yang kian berikan, membuat soonyoung terdiam. bagaimana bisa ia memanggil 'papa' dan bukan ayah? terasa aneh jika ibu disandingkan dengan papa, bukan? “tapi ... papa udah nggak ada.” sambungnya.
kali ini, perempuan itu menolehkan wajahnya menatap soonyoung. “dan ibu, adalah ibu tiri aku.” benar saja, ternyata wanita yang selalu soonyoung anggap tidak waras itu bukanlah ibu kandungnya.
karena bagaimana pun, seorang ibu tidak akan melakukan suatu hal yang membahayakan anaknya—terutama jika seorang putri. harusnya juga, ibu menjaga martabat kian sebagai perempuan. bukan justru mendandaninya seperti wanita bayaran.
kian menekuk kaki dan memeluknya, setelah itu menenggelamkan kepala di sana. “aku kangen papa.. tapi ibu ga pernah izinin aku keluar, selain sama kamu.” ujarnya dengan sendu.
soonyoung pun masih diam, bingung melakukan apa. karena jujur saja, bukan bidangnya untuk menenangkan seseorang yang sedih seperti ini. tapi, tanpa sadar tangan kanannya terbawa menuju pundak kian. menepuknya berkali-kali dengan perlahan.
setelah beberapa menit mereka berada di posisi itu, kini kian mendongakkan kepala dan kembali menatap lautan yang luas. “maaf, kak. jadi mellow gini..” ucapnya.
lelaki sipit itu hanya menggeleng sebagai jawaban, lalu menarik tangannya yang masih berada di pundak kian. “it's okay.” balasnya.
mungkin, orang akan mengatakan kalau soonyoung tidak punya perasaan karena terlalu cuek kepada orang yang sedang bersedih. namun, lelaki itu tidak peduli. karena pada dasarnya, ia tidak tahu cara menenangkan seseorang. sama sekali.
“papa udah gaada dari tiga tahun lalu. mungkin, pas aku lagi ujian nasional? hari kedua, kayanya.” tanpa sadar, kian kembali menceritakan tentang dirinya tanpa diminta.
sebenarnya, kian bukanlah tipe orang yang suka menceritakan masalah hidupnya kepada orang lain. hanya saja, entah mengapa kian merasa nyaman untuk bercerita dengan soonyoung.
walau lelaki sipit itu hanya mendengarkan, tanpa memberinya saran atau pun semangat. kian tetaplah merasa aman ketika bercerita dengannya. karena terkadang, kita hanya perlu mempunyai tempat untuk didengar—yang bisa membuat lega walaupun hanya sejenak.
kian tersenyum masam. “semenjak itu, aku dirawat sama ibu tiriku. kalau mama, aku juga gatau mama kemana. intinya, udah pergi jauh ninggalin aku.” setelah itu, ia menghela nafas berat. “padahal, sebelum papa meninggal, ibu itu baikk sekali sama aku. tapi semenjak papa udah gaada, ibu jadi suka marah.”
lelaki sipit itu mengangguk, menandakan bahwa ia mendengarkan. “lanjut..?” tanya kian yang lagi-lagi dibalas anggukan, “iya, lanjut.”
kian tersenyum senang. selama ini, tidak ada yang benar-benar mendengarkan ceritanya dengan serius. kadang pula, mereka hanya ingin tahu saja dan tidak peduli. namun, lelaki di hadapannya ini berbeda.
“uang warisan dari papa udah menipis, makanya aku dijodohin sama kakak. entah, aku juga gatau habis karena apa.” dahinya mengkerut, pipinya menggembung, perempuan itu sedang bercerita dengan amarah.
“huft... andai aja, aku punya saudara dekat yang bisa rawat aku. sayangnya, mereka gamau. kata mereka aku nyusahin.” kata terakhir yang kian ucapkan soonyoung balas dengan anggukan kepala, yang tentu saja dibalas tatapan sinis oleh kian, “dih, kakak setuju?”
“ya iya?” mendengar itu, kian memutar bola matanya dengan malas. lalu memperbesar jarak di antara mereka berdua. “yaudah.”
“yaudah.”
kian mendengus, lalu beranjak dari posisi duduknya dengan cepat, “heh, mau kemana? kamu belum bilang apa yang mau diomongin sama saya.” tandas soonyoung tanpa melihat ke arah kian.
dengan memasang senyum masam, perempuan itu kembali mendudukkan diri di samping soonyoung. namun, dengan jarak yang lebih lebar dibanding sebelumnya.
“aku ngga suka sama kakak.”
“iya, sama.”
“aku gamau kita dijodohin.”
“iya, sama.”
“... tapi nanti aku ngga kaya.”
“jangan gila.”
dengan cepat, kian menolehkan kepalanya ke arah soonyoung. “seriously?” tanya nya dan soonyoung hanya menghendikkan bahu nya.
“aku belum siap nikah.”
“iya, sama.”
“aku juga gamau nikah sama om-om kaya kamu.”
“saya juga gamau sama bocah.”
“ish!”
“apa?”
“aku udah punya pacar!”
“...”
tidak mendengar jawaban lagi, kian ikut terdiam. kalau ditanya, apakah ia bingung? tentu saja jawabannya iya. karena bagaimana pun, yang mempunyai pacar terlebih dahulu adalah lelaki di sebelahnya ini, baru kian.
tetapi, bagaimana bisa ia hanya berdiam diri dengan wajah lesu dan sendunya? “kakak putus, ya?”
“iya.”
“...”
kian pun mengalihkan pandangannya dengan canggung, bingung ingin menanggapi dengan apalagi. “baru kemarin malem, terus paginya kamu ngajak jalan.” tambahnya.
perempuan itu meringis pelan, menggigit bibir dalamnya dengan kencang. namun, di sebelahnya, soonyoung terkekeh pelan melihat wajahnya itu.
“bukan salah kamu, tenang.” ucapan itu membuat kian merasa lega. namun, “yaa, mungkin ada 5% salah kamu. yang ngetag saya di instagram itu.”
“tapi sepenuhnya, salah saya.” sambungnya lagi.
soonyoung menekuk kedua kakinya, memeluknya juga sama seperti apa yang kian lakukan. “salah saya karena tidak bisa menunjukkan kasih sayang dengan benar. terlalu pasif. padahal aslinya, saya sayang banget sama dia.”
“kemarin juga, sempet merasa bosan yang ngebuat saya jadi ngejauhin diri dari dia dan dia sadar. dia tau.”
kali ini, kian menjadi pihak mendengar. “saya ga pernah yang namanya menjalin hubungan lebih dari satu tahun, kian. rasanya aneh, tapi juga menyenangkan. mendebarkan.” senyuman kecil tercetak di wajahnya, “apalagi, kalau sama dia.”
“saya juga ... ngga bisa terbuka, walaupun itu sama dia. aneh, bukan?” yang dibalas anggukan spontan oleh kian, “kok kamu setuju?”
“a-anu..”
soonyoung terkekeh pelan, lalu menghela nafas berat. “tapi, saya juga gabisa ngelawan bunda, kian. bunda ga ngasih restu untuk hubungan kita.” lanjutnya.
kian tidak terkejut, tentu saja. karena itu adalah alasan utama mengapa mereka dijodohkan. “makanya, pas kemarin dia minta putus—saya ga bisa apa-apa. karena memang, sudah tidak ada yang bisa diperjuangkan.”
“tapi kamu masih sayang dia, kakak. kenapa gaada perjuangannya untuk orang yang kamu sayangi?”
“saya tahu itu, kian. tapi saya juga tahu akhirnya akan seperti apa.”
“bodoh.”
“iya, terima kasih.”
kali ini, mereka berdua menghela nafas secara bersamaan. entahlah, terlalu banyak permasalahan yang dimana jawabannya sulit untuk ditemukan.
atau mungkin, jawabannya sudah sedari dulu ada. tetapi mereka tidak sadar dan justru mencari jawaban lain. karena, mereka tidak yakin dengan itu.
“apa seenggaknya gamau coba lagi, kak?”
“untuk apa? untuk menerima jawaban dan penolakan yang sama untuk kedua kalinya?”
“bukan. untuk seenggaknya memberi tahu, kalo kamu pun berjuang untuk kalian.”
memang terkadang, banyak sekali dari kita yang justru belajar dari sosok anak kecil. padahal, harusnya kita yang mengajarkan mereka, bukan?
bukanlah karena mereka mempunyai pemikiran yang lebih luas dibanding kita. namun, mereka bisa mengatakan apa yang ingin mereka katakan tanpa merasa gengsi yang menyelimutinya.
“tapi aku tau bakal kaya apa, kian.” lagi-lagi, perempuan itu memutar bola matanya dengan malas. “kakak bilang, kakak terlalu pasif kan di hubungan kalian? ini tuh saatnya menunjukkan ke pacar kakak, kalo kakak juga berjuang!” emosi sudah, orang-orang di sekitar mereka sampai memutar balik untuk melihat.
“oke, oke. cukup.”
“humph!” sekalinya bocah akan tetap dan selalu menjadi bocah. lihat saja, perempuan itu tengah bersedekap dada dan tambah menjauhkan diri dari soonyoung. “pundungan.”
“makasih kak, udah nemenin aku hari ini.” ujar kian sembari melepas sabuk pengamannya. “hm, sama-sama.” sahut soonyoung.
sebelum keluar, kian berhenti untuk sesaat dan membalikkan tubuhnya menghadap soonyoung. “foto kakak tadi, yang make hp aku, boleh aku post gak?”
“nggak.”
“kak.. please?”
soonyoung berdecak pelan, “buat apasih?”
“biar aku punya memori habis ke jeju lagi..” lirihnya pelan.
lelaki sipit itu pun mengusap kasar wajahnya dan menganggukan kepala, “ya, boleh.” ucapnya dengan terpaksa.
“YESSSHHH!!”
“jangan pasang caption aneh-aneh, awas aja kamu.”
“bawel.”
“bocah satu..”
“THANK YOU KAKAK DADAAAAH!!”
dan punggung kian pun menghilang di balik pintu. perempuan itu sudah masuk rumah dengan selamat.
“sekarang ... tinggal chat jiwu lagi.” gumam soonyoung, “dibales nggak, ya?”
“bismillah..”