the best ending.

“habis dari mana?”

mingyu yang baru saja membuka pintu kamarnya terkejut dan memegang dadanya seketika. di meja belajarnya, terdapat jihoon yang tengah memainkan figura doraemonnya.

“kok lo ada di sini?” ucapnya balik bertanya, “orang nanya tuh dijawab.” kali ini, jihoon memutar tubuh menghadap mingyu. bersedekap dada, menatap dengan sengit.

lelaki jangkung itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. tidak pernah terpikir bahwa jihoon akan mendatangi rumahnya seperti ini. “anu ...”

“apa? anu lo copot?”

mingyu tersenyum masam, “yakali, ji..”

jihoon bangkit dari duduknya, berjalan ke hadapan mingyu masih dengan bersedekap dada, “yaudah jawab, habis dari mana?”

“... mancing?”

“sangking gabisa boongnya otak lo nge-blank, ya?” jihoon terkekeh pelan, “sejak kapan lo mancing, gu.. mancing emosi gue iya.” lanjutnya sembari menghela nafas panjang.

lelaki mungil itu pun menyerah dan memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di kasur mingyu. memejamkan mata dengan satu tangan berada di atas kepalanya, “bisa gak, jangan ilang tanpa aba-aba gitu..”

“gue udah gak punya siapa-siapa lagi, mogu..”

mingyu yang melihat itu hanya terdiam, menatap iba terhadap jihoon yang tengah menahan tangisnya, lagi.

sebenarnya, mingyu sangat kesal. bukan kepada jihoon, tapi kepada dirinya sendiri. karena tidak bisa menghilangkan rasa sedih yang terus menyelimuti lelaki mungil itu.

ia kesal, pada bahwasanya tidak ada kebahagiaan jihoon yang ia pegang sama sekali.

ia kesal, pada bahwasanya harus melihat orang yang disayanginya terus menerus menangisi orang lain dan ia tidak tahu harus apa—selain berusaha menenangkannya.

mingyu tahu, ia tidak pernah bisa jadi bahagianya jihoon.

mingyu tahu, kalau ia hanyalah 'pengganti' yang selalu ada untuk jihoon.

mingyu tahu, kalau ia tidak akan pernah menjadi yang pertama untuk jihoon.

menjadi alasannya bahagia,

menjadi orang yang bisa membuatnya tertawa,

bahkan menjadi alasan air mata berharga itu turun di pipinya.

tapi bagaimana lagi, bukan?

kita, tidak punya kuasa atas orang lain—terutama terhadap perasaan.

memaksakan kehendaknya untuk memilih mingyu dan melupakan soonyoung, adalah hal ter-egois yang pernah mingyu pikirkan.

lagipula, apa rasanya jika mingyu memiliki raga jihoon namun hatinya tidak pernah ada padanya?

kalau hatinya, tidak pernah sekali pun memilih mingyu.

buruk.

rasanya akan sangat buruk.

maka dari itu, mingyu berusaha untuk menahan dirinya tidak menjadi orang egois. berusaha waras.

untuk kebaikan dirinya sendiri dan juga jihoon.

“lo tau, gu?” jihoon mengigit bibirnya pelan, “... entah kenapa, walaupun sakit gue ga pernah nyesel milih ending yang kaya gini.”

because... i think it's the best ending for me and him

mingyu duduk di ujung kasur, menatap jihoon yang masih setia pada posisinya, “i don't want to hurt bunda more than this, gu. rasanya, kaya nyakitin ibu sendiri juga and i don't want that.”

he always said that we were meant to be, but i think that he's wrong. about us. gue ngerasa kita cuman ditakdirin untuk bertemu aja, bukan untuk bersatu.”

jihoon mendengus kecil, “ya even though gue juga sempet mikir gitu.” matanya terbuka secara perlahan, “emang ya, orang kalo jatuh cinta rasanya ga mikir apapun. dunia serasa milik berdua aja pikirannya.”

“orang jatuh cinta itu kebanyakan jadi bodoh. walau kadang ga masuk akal, tapi karena lagi jatuh cinta ya iya iya aja jawabnya. setuju aja, gitu. padahal mah ya.. ga mungkin,”

“,– kaya apa yang dia bilang.”

for infinity, halah.”

mingyu terkekeh, mendengar cerita jihoon tidak pernah gagal menghiburnya. karena ekspresi yang lelaki mungil itu tunjukkan sangatlah beragam. lucu, pikirnya.

“terus, lo masih mau kuliah di seoul? atau masih tetep di sini aja, di busan?”

jihoon mendelik, “lo pikir aja deh, gu?” mingyu mengedipkan matanya berkali-kali, “ya gatau? makanya ini nanya elo..”

lelaki mungil itu pun berdecak, “ya ngapainn gue kesana? udah gak ada tujuannya. hidup di seoul keras.” tukasnya.

“lagian.. gue gamau ninggalin kota kelahiran gue.”

mingyu menyolek pelan lengan jihoon, “gamau ninggal kota kelahiran atau gamau ninggalin gue?” ujarnya meledek

“ngapain amat mikirin lo!”

lelaki jangkung itu tertawa dengan lebar, puas sekali mengganggu jihoon.

“... tapi gue kan ga kuliah dulu” lirihnya, “ibu kayanya gabisa kalo gue kuliah tahun depan.”

seketika, mingyu menghentikan tawanya. ikut merebahkan diri di samping jihoon dan menarik lelaki itu ke dalam pelukannya.

“gapapa, nanti kerja bareng gue. i'll be here.” ujarnya seraya menepuk-nepuk punggung jihoon. “kok sama lo? kan lo bisa kuliah..”

tidak menjawab, mingyu masih sibuk menepuk-nepuk punggung jihoon. “mingyu! jawab gue? kenapa lo ga kuliah? lo tuh..!”

“ya kan bisa tahun depannya lagi, tenang aja”

“tapi lo tuh bisa langsung, mingyu.. kenapa pake nunda segala sih?!”

semakin kencang omelan jihoon, semakin kencang pula dekapannya terhadap lelaki itu, “MINGYU GUE SESEK!!!”

“makanya diem”

“... lo ngikutin gue?”

“nggak”

“terus kenapa?”

lagi-lagi mingyu tidak menjawab, “bisa gak jangan korbanin masa depan lo cuman buat orang kaya gue, mingyu..”

“lo tuh..” ucapannya terhenti, memukul pelan dada lelaki jangkung itu, “lo tuh pinter, mingyu. kampus mana pun nunggu lo di sana..”

“lo harus bisa milih yang lebih penting, mingyu.. dan itu bukan gue.”

mingyu melonggarkan dekapannya, menatap jihoon yang tengah memainkan tali hoodie miliknya, “kenapa lo nentuin apa yang penting buat gue? i know what i've to do, jihoon. you don't have to worry about that.

“dengan ngorbanin masa depan lo?” ujarnya seraya mendongak, “masa depan gaada yang tau. gue langsung kuliah tahun depan kan bukan berarti gue bisa sukses? semua ada jalannya.”

“lagian ya, dengan gitu kan gue bisa nabung. kuliah pake duit gue sendiri tanpa minta ortu, ini baru sukses.”

jihoon mengkerutkan dahinya, “terus yang kuliah pake duit ortu ga sukses?” mingyu terkekeh, menjawil hidung lelaki mungil itu. “gak gitu ya, cil..”

“maksud gue, orang yang gak langsung kuliah tahun depan itu bukan berarti dia ngorbanin masa depannya dan jadi orang gak sukses,”

“kan gak ada yang tau, selama dia gak kuliah apa yang bakal dia dapetin? semua orang itu, punya porsinya masing-masing..”

“gue tau kok lo selama ini nangis bukan cuman karena matahari, tapi karena mikirin kuliah juga kan? gapapa, jihoon. it's okay to take a break. untuk gak kuliah dulu, ya gapapa.”

“kalo pun lo ngeliat temen lo bisa sukses dan dapetin universitas yang mereka mau dan lo iri itu juga gapapa,”

“tapi jangan lupa dijadiin rasa iri itu sebagai motivasi menjadi lebih baik.”

“lagian ya, kenapa juga lo iri? kita tuh gak harus tau, ngejar pencapaian orang lain. mending buat pencapaian sendiri yang buat mereka mikir, 'oh gue harus kaya gitu juga' nantinya.”

“definisi sukses tiap orang itu berbeda-beda, jihoon. dan elo, harus buat versi diri lo sendiri.” ujarnya seraya mengusap pelan pucuk kepala lelaki mungil itu.

mendengar itu, jihoon tambah menenggelamkan wajahnya di dekapan mingyu. berusaha menahan tangis yang ingin ia keluarkan sedari tadi, “ih nangis lagi.. cengeng banget sih, cil” ujar mingyu yang mendapat pukulan dari sang empunya.

“mingyu..”

“hm? iya, cil?”

“lo mau gak, nunggu gue.. dikit lagi aja.”

lelaki itu tersenyum, memilih kecupan di dahi sebagai jawaban, “... kok ga di jawab”

“mingyu? gamau ya..”

mingyu terkekeh mendengarnya, tambah mengeratkan dekapannya terhadap jihoon. “mingyu uhuk bisa gak kalo ga uhuk mau gausah NYEKEK GUE KAYA GINI MINGYU GUE MATI LAMA-LAMA!”

kamar itu didominasi oleh tawa mingyu sekarang, walau diberi beribu macam cubitan lelaki itu sama sekali tidak gentar.

entah mengapa, mingyu tidak ingin menjawab 'iya' padahal di dalam hati ia berteriak kegirangan.

entah mengapa juga, mingyu tetap senang mendengarnya walau ia tidak tahu akan sampai kapan ia harus menunggu. yang penting, ia harus senang dulu.

bagaimana akhirnya nanti, mingyu tidak akan menyesal menghabiskan waktu hanya untuk menunggu jihoon.

karena sungguh, berada di dekat lelaki itu saja sudah terasa seperti anugrah.

walau diberi kehidupan lagi dan dihadapkan dengan pilihan, mingyu akan selalu memilih pilihan yang sama.

karena meskipun bahagia jihoon tidak ada padanya, bahagia mingyu tetaplah jihoon. dan akan selalu begitu