He Knows.
suara ketukan pintu terdengar memasuki pendengaran guan. lelaki itu tengah sibuk membuat makan malam untuk nya dan juga ican, makanan sederhana—tumis tempe kecap dan telur mata sapi kesukaan ican.
“yaa? siapaaa?”
suara ican terdengar dari balik pintu. “guan hehe, gue lupa bawa kunci!” serunya seraya terkekeh.
guan yang mendengar itu hanya bisa mendengus kesal, mematikan kompor lalu berjalan menuju pintu. di hadapannya saat ini ada wajah ican yang masih cengengesan dengan badan basah kuyup. “KOK LO GA BILANG KALO KEUJANAN? SANA COPOT BAJUNYA, MANDI. ABIS ITU GUE BUATIN TEH ANGET.”
yang diomeli justru masih cengengesan saat guan mendorongnya menuju kamar mandi. “nih! anduk, celana dalem, baju, celana. CEPET MANDI JANGAN LIATIN GUE?” banyak hal dari ican yang sering membuatnya marah, seperti ini contohnya.
lelaki satu itu, sangat suka sekali menerobos hujan. katanya sih, agar lebih cepat sampai dan tidak memakan waktu terlalu lama. walaupun pada akhirnya, ia akan menjadi basah kuyup dan demam keesokan harinya. tetapi, lelaki bernama ican itu akan tetap melakukannya. selalu.
“guan..” tangan ican yang terlihat sedikit mengkeriput itu naik menuju bongkahan pipi milik guan, mengelusnya pelan lalu mengusap air yang keluar dari ujung matanya. “... kenapa nangis?” tanya nya.
dan guan akan selalu seperti ini. rasa sayangnya kepada ican, membuatnya selalu khawatir berlebih jika saja lelaki itu sakit atau pun melukai dirinya sendiri. semua hal yang berhubungan dengan ican, akan selalu mempengaruhinya juga. apapun itu.
dulu, guan sangat membenci kacang-kacangan. terlebih lagi jika pada bubur motor yang sering dibelikan oleh ican tiap pagi. kadang lelaki itu lupa akan pesanan yang guan minta—tidak memakai kacang dan juga seledri—dan justru menyamakan seperti pesanannya. namun, selalu ada dua hal tersebut dalam bubur guan dan mau tidak mau, guan jadi menyukainya karena disebabkan kelupaannya lelaki itu.
lalu saat pertama kali guan melihat ican jatuh sakit yang bahkan membuatnya izin sekolah, lelaki berpipi gembil itu juga melakukan hal yang sama. bahkan, guan mendatangi rumah ican dan merawatnya seharian hingga lelaki itu pulih. ibaratnya, rasa sayang guan kepada ican akan membuat lelaki itu rela melakukan apa saja, demi ican.
“hah? oh, ini .. ngga, gak nangis. kelilipan.” gugup, suaranya terdengar bergetar karena menahan tangis. ican hanya bisa tersenyum kecil mendengar itu, lalu mengecup dahi milik guan. “im okay, no need to worry. alright?”
guan merasa jantungnya berhenti berdetak, kepalanya terasa memutar hanya karena satu kecupan yang ia terima. bahkan jawaban yang ia beri pada ican hanyalah anggukan gugup dan langsung mendorong lelaki itu ke kamar mandi.
kakinya tidak bisa berhenti bergerak, kukunya pun sedari tadi ia gigiti selagi menunggu ican selesai. “kan udah dibilang jangan gigitin kuku? ngeyel.” tangan ican langsung sesegera mungkin menangkis tangan guan menjauhi mulutnya.
“i … im sorry, ican.”
“say that to yourself, guan.”
lelaki itu hanya bisa menunduk dalam, lalu mengambil alih handuk yang berada di genggaman ican. menaruhnya di kepala lelaki itu, berdiri di belakangnya lalu menggosoknya pelan, berniat untuk mengeringkan. “lo kenapa sih? kalo gitu kapan kering, hm?” tanya ican.
tentu saja tidak ada jawaban, guan masih berdiri di belakang ican dengan handuk di tangannya. “do you love me, guan?” terlalu tiba-tiba dan to the point. pertanyaan yang juga selalu berada di pikiran guan, 'do i love him?' namun selalu tidak ada jawabannya.
“hm? nah.”
“you lied. you always do that to your feelings.” skakmat. pernyataan tersebut berhasil menghentikan tangan guan yang berada di kepala ican, benar-benar mengudara dan bingung. bingung jawab apa. “but i dont, ican.” jawaban guan membuat lelaki itu menengok ke arahnya dan memegang kedua tangan milik guan.
“then why’d you always cry when im hurt? lo selalu begitu, guan. perlakuan lo ke gue selama ini kaya acting that you hate me when you dont. you love me, did you?”
“and i said that i didn’t love you.”
“no, you did. jangan buat semuanya jadi rumit cuman karena lo denial bertahun-tahun, guan. i knew you love me since we were twelve.”
bingung ingin mengelak seperti apalagi sekarang, karena memang itu benar adanya. guan menghela nafas berat, lalu membalikkan tubuh ican menghadap depan dan melanjutkan sesi mengeringkan rambut lelaki itu. “... ada masalah ya? terakhir kali kita ketemu, lo ga denial kaya gini.” tanya ican
“no.”
ican kembali menghadap guan. “bisa gak sih lo jujur tentang perasaan lo, apa yang lo rasain sebenarnya ke gue? gue juga mau coba buat mahamin lo, guan. gue pengen jadi tempat lo bersandar!” untuk pertama kali setelah sekian tahun, ican membentak guan dan membuatnya kaku diam di tempat.
lelaki bernama ican itu kalut, langsung berdiri untuk memeluk guan dan menenangkannya. ia lupa, bahwa yang berada di dekapannya ini sama sekali tidak bisa dibentak dan ia baru saja melakukan hal itu kepadanya. “maaf, maaf, maaf, maafin aku.. guan? hey hey, maaf ya? liat aku, guan liat aku. im sorry..” dan guan hanya bisa mengangguk dengan tubuh yang bergetar.
dulu ketika guan dibentak oleh papah nya karena nilai jelek, ican selalu di sana. memberinya sebuah pelukan dan usapan di punggung, serta bisikan kalimat seperti mantra yang mengatakan, ‘you did well, guan. no need to worry, i’ll be here. i always be there for you.’ dan dalam sekejap lelaki itu akan tenang dan tidur dalam pelukannya.
“papah tau .. papah tau, ican. im scared.” lirihnya berkali-kali. entah apa yang papah seungkwan ketahui, ican hanya tau bahwa itu adalah pertanda buruk bagi mereka berdua. “its okay, im here guan. im here.” dan juga satu hal yang ia ketahui, bahwa ia hanya bisa menenangkan lelaki itu di dalam pelukannya.
guan mendongak, menatap kedua mata ican dan mengecupnya pelan. “i love you.” ican terpaku, mengedipkan matanya berkali-kali dan menampar pipi serta mencubit dirinya—memastikan kalau ini bukanlah mimpi. “you’re not dreaming.. stop that will you? nanti sakit.” ucap guan dengan mempautkan bibir dan menghentikan tangannya.
“YOU SAID YOU LOVE ME?!”
“yes, i did.”
ican membuka mulutnya lebar-lebar, lalu menutupnya dengan tangan. lelaki itu benar-benar terkejut yang bahkan membuatnya terlihat seperti orang stress. “YOU LOVE ME, GUAN. YOU. LOVE. ME.” seru ican seraya menunjuk guan, membentuk hati, dan terakhir menunjuk dirinya sendiri. guan yang melihat itu hanya terkekeh, lalu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher ican. pipinya merona. “iyaaa, ih stop it icann.. maluu!”
katakan ia terlalu heboh, tapi mendengar kata tersebut dari guan setelah sekian lama adalah hal yang sangat ia nantikan. ican menunggu hari dimana mereka berdua menyatakan perasaannya masing-masing dan ini adalah harinya. ia bahagia. “KALO GITU AKU BAKAL BILANG KE PAPAH BUAT GA HALANGIN KITA.” ujar ican.
guan memiringkan kepalanya, bingung. “kenapa papah halangin kita?” tanya nya yang justru membuat ican ikut bingung. “tadi..? kata kamu papah tau? tau kalo kita saling suka kan?” guan terkekeh. tidak, terlalu senang jika disebut terkekeh. lelaki itu tertawa terbahak-bahak sembari memegang perutnya.
“NOOO HAHAHAHAHA, he doesn't know about that, but he won't disagree about us either, he likes you ican HAHAHAHAHA.” dan sekarang ican seperti orang bodoh. sedari tadi ia pikir, papah nya mengetahui tentang mereka dan tidak menyetujuinya.
setelah puas tertawa, guan mengusap ujung matanya. “papah tau kalo nilai gue turun lagi, udah itu aja. but still, im scared.” ujarnya dengan senyum masam yang membuat ican kembali menarik lelaki itu ke dalam pelukannya.
awalnya, hanyalah ketakutan anak kecil terhadap omelan orang tuanya. tetapi entah mengapa, hal itu memunculkan dampak yang cukup besar dan berlanjut hingga saat ini. siapapun yang membentaknya, akan muncul reaksi pada tubuh guan.
terakhir kali guan dibentak adalah saat lelaki itu mempunyai hubungan dengan adik kelasnya—deon—hanya karena ia melihat guan diantar jemput tiap hari oleh ican, bukan deon. maka dari itu, ican sangat membenci adik kelas tidak punya sopan santun bernama deon hingga saat ini.
“maaf, tadi aku bentak kamu”
“hm? iya.”
guan mendorong pelan tubuh ican. “bentar … kamu? sejak kapan kita aku-kamu an?” ican yang mendengarnya hanya terkekeh, lalu kembali menarik lelaki itu ke dekapannya. “sekarang? kamu udah jadi pacarku soalnya.” ujarnya yang mendapat cubitan.
“ih anjir sejak kapan?! lo nembak gue emangnya, hah? NGGAK. mana ga romantis lagi APAAN SIH INI KAGA MAU AH!”
tidak peduli, ican hanya terkekeh sembari sesekali mengecup dahi guan di dekapannya. bahkan menggoyangkan tubuh mereka ke kanan dan kiri, seperti anak kecil. “i love you.”
“nice info”
ican mempautkan bibir. “ih? JAWAAAB ‘love you too’ gitu” guan menggelengkan kepala. “dont wanna, wlee” ujarnya meledek.