Lantas, Siapa Yang Bisa Dipercaya?

tw // blood

bau anyir darah mendominasi ruangan itu. seungkwan—adik dari seungcheol yang juga merupakan room mate elang—terduduk lemas di samping tubuh lelaki yang tidak sadarkan diri.

berkat abangnya yang merupakan seorang dokter, membuat seungkwan jadi mengetahui sedikit demi sedikit cara menghentikan pendarahan. kini, lelaki itu sudah dibaluti oleh kain yang diikat. cukup berhasil untuk menghentikannya sementara.

rasanya ia ingin menangis keras, meneriaki dan mencaci maki dirinya yang terlalu penakut. bukan, melainkan hanya belum siap. itu yang ia yakini, karena seungcheol meminta untuk tidak menyalahkan diri sendiri lagi.

tangan seungkwan terangkat menuju perut elang yang terluka, mengelusnya pelan dengan diiringi air mata yang turun satu persatu. tanpa permisi, datang begitu saja.

toktok

walaupun sebenarnya ia tahu, kalau yang ada di belakang pintu itu adalah abangnya sendiri—seungkwan masih tidak bisa bergerak, hanya bisa berdiam diri dengan tubuh yang bergetar hebat. “adek, ini abang..” ujar lelaki itu di balik sana.

“gue .. boleh masuk?” lanjutnya bertanya, karena masih belum mendapatkan jawaban dari empunya.

lelaki berpipi tembam itu berjalan menuju pintu, membukanya perlahan yang langsung menampakan raut khawatir abangnya. tanpa bertanya lagi, seungcheol langsung membawa adiknya ke dalam pelukan. menepuk punggungnya dan membisikkan kalimat penenang, yang entah kenapa justru membuatnya tambah menangis.

sejak dulu, seungkwan adalah anak yang sangat perasa dan penyayang. adiknya itu selalu menempatkan orang lain terlebih dulu, tanpa peduli akan apa jadinya jika tidak mendahulukan diri sendiri. seungkwan, anak yang sangat menyayangi orang di sekitarnya. walaupun sebenarnya tidak terlihat begitu.

dengan sifat yang mudah menyayangi sesuatu dan seseorang, terkadang membuat seungkwan menjadi kesulitan. kadang kala, mereka akan pergi. kadang juga, kita yang meninggalkannya. inti dari semua adalah tidak ada yang benar-benar tinggal.

namun, lelaki tembam itu masih sangat kesulitan untuk mengontrol kebiasaannya. rasanya, ia ingin memberikan orang-orang di sekitarnya dengan afeksi yang cukup. tanpa menyakiti, tanpa membuat mereka terluka sedikit pun.

lantas bagaimana, jika pada akhirnya ia akan membuat orang terluka karenanya? karena kecerobohannya, karena ketakutannya—ia membuat orang yang ia sayangi terluka.

setelah puas menangis, seungkwan mengangkat wajahnya dari pundak seungcheol. lalu membawa lelaki itu masuk ke dalam, menggiringnya menuju elang.

“tolongin elang, abang..” lirihnya dengan sisa sisa air mata di pipi.

dengan gesit, seungcheol membuka peralatan medisnya. membersihkan luka dan juga mengambil peluru yang terdapat di perut lelaki itu. lalu, menutup lukanya kembali dengan kain kasa.

seungcheol menghela nafas, lalu tersenyum kecil. “jangan nangis, jelek.” ledeknya lagi. lelaki beralis tebal itu memang tidak bisa menenangkan seseorang dengan kalimat, lebih ke dalam tindakan. maka dari itu, yang keluar dari mulutnya adalah ledekan untuk adiknya.

tidak lain dan tidak bukan yang didapatkan seungcheol adalah balasan berupa cubitan di pinggang. “saaakitt??” protesnya. namun, seungkwan tampak tidak peduli. lelaki itu justru berusaha untuk menggendong elang, berniat untuk membawanya ke rumah sakit terdekat.

baru saja seungkwan menaruh lengan lelaki itu di pundaknya, pintu kostan mereka didobrak dengan keras oleh lelaki manis berkacamata—yang diyakini olehnya, adalah nu. sahabat sekaligus orang yang selalu elang sebut dalam mimpinya.

“anjing lo mah ga bales chat gue! lo tau gak sih gue nungguin di depan gerbang kaya orang tolol? lagian tumben minum ga ngajak gue, malesi—” ucapannya terpotong di kala lelaki itu menginjakan kaki di dalam kamar. mulutnya terbuka lebar, tangannya berpegangan pada pintu—berusaha menopang tubuhnya yang lemas—dan juga langkahnya yang tertatih menuju elang.

tangan ghanu bergetar hebat, menyisiri tubuh elang yang dibaluti oleh kain sudah berganti warna. matanya tidak pernah lepas dari wajah elang, memastikan penglihatannya sekali lagi. hingga hancur pertahanannya.

“l-lang.. lo.. l-lo ke-kenapa..”

seungkwan yang masih berada di sana memutuskan untuk melepaskan elang untuk sementara, membiarkan ghanu memeluk lelaki itu. terlalu sendu, terlalu menyedihkan, seungkwan tidak suka.

tatapan ghanu mengadah, berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang berkelebat di kepalanya saat ini. namun, tidak ada yang berani. mereka memutuskan untuk bungkam. “gaada satu pun dari kalian yang mau jelasin ke gue?” tanyanya.

sunyi. tidak ada yang menjawab. “GUE TANYA SEKALI LAGI GAADA YANG MAU JELASIN KE GUE?” lagi, ghanu masih berusaha mendapatkan jawaban. mencari alasan mengapa dan bagaimana bisa sahabatnya menjadi seperti ini.

“kita bawa dulu ke rumah sakit, nu.” seungcheol berusaha untuk membujuknya, walaupun terlihat dengan jelas bahwa lelaki itu—tidak percaya dengannya.

ghanu tersenyum miris, melayangkan tatapan sinisnya. “lo kira, setelah gaada yang mau jelasin ke gue elang kenapa—gue bakal percaya sama lo? hell no.” tandasnya.

dengan itu, ghanu mengusahakan dirinya untuk memapah elang. walaupun terasa sulit, walaupun kakinya terasa seperti jelly—ia tidak menyerah. elang, sahabatnya satu itu harus tetap hidup. ia tidak ingin membuat penyesalan seumur hidupnya, karena tidak pernah berhasil mengungkapkan cinta.