Menunggu.

“berhenti.”

“APAA??? KENAPA KAMU NGOMONG APA??”

“... berhenti.”

“AKU GA DENGERRR”

aji, lelaki yang duduk di belakang uyon pun memukul kepalanya pelan. “gue tau lo denger. mau berhenti atau gue loncat dari sini?” ujar aji.

seketika, uyon meminggirkan motornya dan memberhentikannya di sana. lelaki itu menghela nafas, lalu menahan tangan aji yang berada di pinggangnya. “jangan pergi, aku mohon.” lirih uyon

berkali-kali aji berusaha menarik tangannya, namun apa daya lelaki di hadapannya ini memiliki tenaga yang lebih besar darinya. “sakit.” ujar aji dengan memasang wajah menahan tangis. dengan itu, uyon langsung melepaskannya dan mengalihkan pandangan. “... maaf, aku ga maksud nyakitin kamu.”

setelah itu, aji turun dari motor dan berjalan menjauhi uyon. mendudukan diri di bangku trotoar lalu mengalihkan pandangan dari lelaki yang menatapnya sedari tadi.

entah mengapa, aji merasa sangat sial hari ini. diawali dengan dikelilingi orang berpasangan dan bau rokok, lalu terjebak berjam-jam di pantai tidak bisa pulang, dan sekarang bertemu orang yang sangat ia hindari namun ia rindukan. aji tidak pernah menyangka bahwa keputusannya untuk memisahkan diri membuatnya seperti ini, harusnya tadi ia tetap bersama yang lainnya bukan?

“ah.. aw, shh..” suara ringisan mengalihkan perhatian aji, ternyata suara tersebut berasal dari uyon. lelaki itu tengah memegangi kaki kanannya yang terluka, entah terkena apa yang jelas itu cukup parah.

dua menit, tiga menit, dan di menit kelima aji tidak tahan. ia berdiri mendekati lelaki sipit itu, menangkis tangannya yang hampir saja memegang luka tersebut. “gila lo ya?! kalo jadi infeksi ini gimana?! main pegang-pegang aja, bodoh banget sih jadi orang? lagian kok bisa lo jatoh gini, ceroboh dasar!” omelan aji ternyata tidak membuatnya takut, justru lelaki itu tersenyum dengan sangat lebar sekarang.

“apa?!” uyon menunduk, kembali meniupi lukanya. “kamu lucu kalo marah, suka liatnya.” ujar lelaki sipit itu dengan senyum kecil di wajahnya. aji berdeham, menampar pipinya berkali-kali agar terlihat merah karena tamparannya—bukan karena merona.

uyon meraih tangan aji, berusaha menghentikan lelaki mungil itu untuk menampar diri sendiri. “kenapa ditamparin gitu sih? ga sakit?” kini tangannya naik ke bongkahan pipinya, mengelus pelan bagian yang terlihat memerah. “apaan sih?! ngapain pegang-pegang?” serunya dengan wajah marah

kini aji bergerak menjauhi lelaki itu, kembali duduk di bangku tadi dan memegangi telepon genggamnya. uyon yang melihat itu hanya bisa tersenyum kecut, ia tahu alasan aji berubah adalah karena dirinya. karena itulah ia akan memahami perubahan sikap yang ia dapatkan saat ini.

walaupun terasa sedikit sulit, uyon turun dari motornya dengan berjalan pincang. aji yang melihat itu memutuskan mengalihkan pandangannya, berusaha terlihat sibuk dengan telepon genggamnya yang mati total. padahal dalam hati terdalamnya, ia ingin sekali membantu.

“aku udah kabarin milan sama anak kembang, mereka tau kamu udah sama aku.” ujar uyon sembari mendudukkan dirinya di bangku yang sama.

lelaki sipit itu merasa sangat canggung sekali sekarang, sedari tadi hanya memainkan jarinya. “jatoh dimana?” tanya aji membuka pembicaraan. walaupun tidak terlihat, namun uyon sangat senang ketika lelaki mungil itu menanyakan lukanya. sangat.

“oh, ini? haha tadi ketabrak tukang bakso.” dalam sekian detik aji langsung berdiri dengan heboh, menatapnya khawatir.

“TERUS TUKANG BAKSONYA GIMANA? lagian juga ya KENAPA LO BISA NABRAK? lo ga mikir apa gimana nanti dia hidupin anak dan istrinya KALO GEROBAKNYA LO TABRAK?!” serunya dengan sangat lantang.

speechless. uyon tidak tahu harus bereaksi seperti apa sekarang, walaupun memang benar apa yang dikatakan aji. tetapi bagaimana bisa ia terlebih dulu mementingkan abang tukang bakso dibandingkan dirinya? tidak adil, batinnya. ingin rasanya uyon bertanya, 'kamu ga khawatir sama aku?' tapi pasti lelaki itu akan tambah murka dengannya.

aji menaikan satu alisnya, menagih jawaban atas pertanyaannya. “uyon! gimana abang baksonya?!” tanya nya lagi.

kalau diingat kembali, sebenarnya ia yang ditabrak bukan ia yang menabrak tukang baksonya. tapi, pasti lelaki itu tidak akan percaya. karena mana mungkin tukang bakso menabrakan diri ke motor orang bukan? “ah … anu gapapa. iya, abangnya gapapa.” jawab uyon dengan raut bingungnya.

tadi itu, uyon sedang menunggu lampu merah dan secara tiba-tiba ada gerobak bakso berjalan ke arahnya. entah kemana perginya si penjual, namun gerobak tersebut berjalan sendiri dan membuatnya kehilangan keseimbangan.

lantas, kaki kanannya tertimpa motor yang bobot badannya saja sudah sangat berat dan kakinya menahan itu selama kurang lebih 10 menit lamanya karena orang-orang pun juga mementingkan gerobak bakso yang jatuh dan tumpah kemana-mana. uyon merasa sangat sial.

sudah begitu, ketika ia kembali menjalankan motornya ada masalah lagi yang muncul. kali ini, ia hampir saja menabrak kucing. tentu saja uyon langsung mengambil rem secara mendadak dan lagi-lagi kehilangan keseimbangan—benar, ia sedikit mental jauh ke depan.

namun, di sini lah ia. masih hidup dan sehat walaupun penampilannya terlihat sangat berantakan serta badan yang terasa remuk dimana-mana. “lo tuh denger gak sih gue ngomong apa?” ujar aji dengan wajah yang masih terlihat marah—dan juga ia harus mendengar ocehan serta omelan dari lelaki yang sedari tadi ia cari.

uyon tersenyum, lalu meraih tangan aji dan menariknya untuk duduk. “iya, maaf udah ceroboh dan buat orang jadi rugi. tadi udah aku ganti gerobaknya terus juga abangnya gapapa.” untuk masalah ganti rugi, uyon benar melakukannya. karena ia merasa tidak enak hati kalau ia meninggalkannya begitu saja, sedangkan masa depan keluarga mereka berada di gerobak bakso itu.

aji menganggukan kepalanya paham, lalu bersedekap dada. “nah! bagus itu. jadi lelaki harus bertanggung jawab, yon. jangan kurang ajar ninggalin gitu aja, gaboleh itu!” dan uyon hanya mengiyakan perkataan aji.

“aku mau ngomongin perihal kemarin, udah boleh?” pertanyaan uyon barusan membuat aji terpaku sesaat. raut wajahnya mengatakan bahwa ia sama sekali tidak berniat membahas hal itu, tetapi kemudian ia berdeham mengizinkan.

“aku minta ma—” belum selesai lelaki itu menyelesaikan kalimatnya, aji sudah beranjak dari duduknya dengan mata terpaku pada gerobak siomay yang berjarak sepuluh langkah dari tempat mereka berdua. “bentar, gue laper banget.” ujar aji dengan mengangkat tangan kirinya ke udara.

“ABAANG! MASIH ADA GAK SIOMAY NYAA?” tanya lelaki mungil itu seraya melangkahkan kaki mendekat ke gerobak itu. kini, uyon hanya bisa menghela nafas untuk kesekian kalinya. semoga stock kesabarannya masih tersisa banyak. “MASIH BANYAAK, MAS!” jawab tukang siomay.

aji menganggukan kepalanya dan mengacungkan ibu jari ke udara, “TUNGGU BENTAR YA!” lalu lelaki mungil itu memberi tepukan pelan pada pundak uyon dan berjalan menjauhinya. “lo diem sini dulu.” tandasnya.

lima menit kemudian, aji kembali dengan menenteng dua kantong plastik berisi siomay. di tangan kanannya adalah milik aji dan di tangan kirinya belum ia sentuh sama sekali. “nih, makan.” aji menyodorkan siomay tersebut kepada uyon yang langsung diterima dengan senang hati.

“lanjut.”

baru saja ia ingin menyuap, namun ia urungkan. “... aku minta maaf, untuk semua—semua yang aku lakuin dan sekiranya nyakitin kamu, aku minta maaf.” siomay yang tadinya ia pegang, uyon pindahkan pada bangku sebelahnya dan memainkan jarinya. gugup.

aji berdeham. “hm, terus?” sebenarnya nada bicara aji terdengar santai dan biasa saja. namun, entah mengapa ia justru terintimidasi dengan itu. bahkan aji sedang memakan siomay dengan lahap.

uyon menunduk dalam, rasa takutnya menambah ketika aji memfokuskan pandangan kepadanya. “perihal jeje, aku dan dia udah benar-benar selesai. aku tau kalo udah gaada yang bisa dilanjutin lagi, tapi dulu aku belum berniat ngelakuinnya. sekali lagi, maaf.” lanjutnya.

“lo masih sayang?”

“sama siapa?”

“jeje.”

uyon tersenyum masam. “no. percuma juga perasaan yang aku kasih udah ga dia terima, untuk apa? lagian gak baik terlalu lama stuck di masa lalu.” sebenarnya aji merasa kasihan, nada yang ia gunakan saat membahas jeje selalu terdengar menyedihkan. selain menyakiti uyon, itu juga menyakiti dirinya.

“bagus deh.” ujar aji seraya beranjak dari duduknya dan membuang plastik bekas siomay yang ia makan tadi. “you have to move on, yon.”

lelaki bermata sipit itu mendongak dan menatap aji. “aku udah selesai sama jeje, iyon. bisa kita ulang dari awal?” mendengar itu, rasanya aji ingin tertawa terbahak-bahak. bahkan kalau bisa, ia akan tertawa dengan pengeras suara dan berdiri di tengah jalan.

bagaimana bisa lelaki sipit itu berpikir untuk kembali padanya, sedangkan baru saja ia memantapkan hati untuk move on? kalau boleh berbicara jujur, ia tidak akan mau. karena aji tahu, pada bahwasanya proses untuk move on membutuhkan waktu yang lama.

di dalam proses tersebut pula, akan ada masa dimana seseorang tersebut akan mengingat dan mengungkit tentang masa lalunya serta membandingkan antara masa lalunya dengan seseorang yang berada bersamanya.

aji tidak akan mau, jika suatu saat nanti akan keluar kalimat yang menyakitinya dari mulut uyon hanya karena lelaki itu belum sepenuhnya move on. setidaknya, tidak secepat ini.

sebenarnya, tidak menutup kemungkinan juga kalau lelaki di hadapannya saat ini hanyalah merasa bersalah karena masalah tempo hari. bisa saja ia berlaku seperti itu hanya karena ingin mendapat permintaan maaf bukan?

move on pun, tidak dengan menggunakan orang baru. kalau seperti itu bukankah namanya hanyalah pelampiasan sesaat? dan ketika sudah bosan akan dihempas dan dilupakan. untuk ini, aji juga belum siap. walau inti dari semuanya adalah aji tidak ingin tersakiti, terlebih dengan uyon

aji kembali mendudukkan diri di bangku. “what if i say, i cant and i dont want to?” pertanyaan yang mengandung beribu jarum di dalamnya, namun aji sampaikan dengan senyum manis. “gue pindah kosan, udah bilang sama bu ida and she's fine with that. walau uang gabisa dibalikin, gapapa.”

ibaratnya sudah jatuh tertiban tangga pula. kini uyon hanya bisa memasang wajah bodoh andalannya dengan mulut yang terbuka lebar, sangat tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

you lied.” ujar uyon yang membuat aji terkekeh. “im not. rencana dua minggu lagi sih, pindahnya. sekarang masih sibuk dan banyak kerjaan, susah ngaturnya.” jawabnya dengan tenang.

berkali-kali, uyon menggelengkan kepalanya dengan wajah tidak percaya. tangannya berusaha meraih aji, yang tentu saja lelaki mungil itu terus berusaha untuk menghindar.

“aji, kamu boleh hukum aku. tampar, pukul, tonjok, dari sekian banyaknya pilihan kenapa milih dengan ninggalin aku?” lirihnya, suaranya terdengar parau dengan air mata yang perlahan menghiasi pipinya.

uyon mengusap air matanya dengan kasar. “aku udah berhasil hadepin proses perpisahan untuk pertama kalinya, apa aku harus hadepin yang kedua dengan kamu?” dengan suara yang bergetar, uyon berhasil membuat aji terdiam dengan matanya yang terpejam rapat-rapat. ia menangis, juga.

“aku mohon, jangan kamu. dalam hidup aku, ada dua orang yang masuk ke dalam list perpisahan gak akan sanggup aku hadepin. selain ibu, ada kamu di sana.” tangan uyon bergetar di genggaman aji, terasa dingin.

lalu mereka diam. tidak ada yang mengeluarkan suara sama sekali. yang gaduh pada malam itu hanyalah angin, berlari kesana kemari dengan senang dan riang.

jogja pada malam itu pun, menjadi terasa lebih dingin dibanding biasanya. mungkin ini alasan mengapa tangan uyon dingin sejak tadi. “tangan lo dingin, ayo pindah.” ujar aji beranjak dari duduknya.

“yon? ayo?”

“kok lo tidur sih? si anjir lagi mellow malah tidur aneh banget orang-orang.”

aji terkekeh, lalu berjongkok di hadapan uyo yang tengah memejamkan matanya erat. untung saja di sampingnya ada tiang yang bisa menjadi sandaran—sehingga aji bisa memindahkan kepala lelaki itu supaya terasa nyaman.

“... yon kok badan lo panas? yon? hey! bangun, yon! uyon?!”

kalut. aji sangat bingung harus melakukan apa sekarang, tangannya bergetar ketika mengecek suhu tubuh uyon—panas. lelaki mungil itu mengedarkan pandangannya, mencari seseorang untuk membantu karena ia pun tidak bisa kalau membopong uyon seorang diri dengan tubuh kecilnya itu.

‘aduh anjir harusnya gue ga ikut sarannya milan …’ batinnya

kalau ada orang yang harus aji salahkan saat ini tentu saja orangnya adalah milan. orang yang menyarankan untuk memberi pelajaran ketika lelaki sipit ini kembali. namun, tidak pernah ia bayangkan akan menjadi seperti ini.

seharusnya, aji menaruh perhatian sedikit saat pertama kali ia melihat uyon dengan tubuh luka-luka. bukannya berusaha tidak peduli hanya karena gengsi yang menyelimutinya. aji menyesal.

lelaki mungil itu kembali duduk di bangku, memindahkan kepala uyon ke pangkuannya dan mengusap surai hitam miliknya. “jangan sakit.. jangan sakit, aku mohon. hang on, okay hm?” aji menggenggam tangan uyon dan mengecupnya berkali-kali.

di tangan kirinya, aji sedang berusaha untuk menghubungi milan dengan telepon genggam milik uyon—yang untung saja tidak dikunci—dan meminta lelaki itu untuk datang menjemput mereka. untung saja, kali ini semesta berpihak dengannya karena dalam dering ketiga milan mengangkat telfon dari aji.

“...”

“kenapa telfon? selamat lu kaga jatoh naik moge? syukur dah kirain jatoh. kalo jatoh niatnya mau gua yassin-in malem ini haha”

“... milan”

“...”

“halo? milan?”

“KAK JI? EH KAK LO GAPAPA KAN? KENAPA BELOM PULANG?”

“milan … uyon, uyon lan”

“kak … tenang coba tenang, uyon kenapa?”

“… lo bisa jemput gue sama uyon? naik mobil ya, tolong. nanti gue jelasin di jalan.”

“kak, sebenernya—”

dalam sekejap, telpon langsung terputus meninggalkan aji yang terpaku di tempat. tadi, milan mengatakan kalau sebenarnya setelah tahun lalu—uyon tidak pernah menggunakan motor. kejadian yang membuatnya hampir jatuh dengan jeje, membuat dirinya sedikit trauma dan memutuskan untuk tidak pernah lagi mengendarainya. terlebih lagi, menggunakan motor besar.

rasanya aji ingin menangis, mengapa sedari tadi ia tidak sadar ketika lelaki itu mengendarai dengan kecepatan yang tidak terlalu cepat? bahkan terlampau lambat. berkali-kali juga uyon ngerem mendadak dan oleng setiap berdampingan dengan truk besar.

kalau saja, ia tidak mementingkan ego dan gengsinya—mungkin tidak akan seperti ini bukan? mungkin mereka sedang minum wedang ronde yang ada di depan mereka saat ini dan segala kemungkinan lain yang tidak akan terjadi—jika aji tidak egois.


“aji.. maafin aku. jangan pergi, aku minta maaf..”

“tetep di sini sama aku, jangan pergi..”

rsud jogja, kamar kemboja—di sana lah uyon dirawat. pagi itu, terdengar suara lirihan dan membangunkan lelaki mungil yang sedang duduk di samping kasurnya. rambutnya berantakan, belum mandi, dan juga tidak pindah dari tempatnya sejak malam tadi—ia adalah aji.

sebenarnya milan sudah membawakan peralatan mandi juga baju ganti untuknya, tetapi aji tidak ingin beranjak dari sisi uyon dan meninggalkannya barang sedetik saja. baik milan maupun arya sudah lelah dan kembali ke kembang.

‘uyon gapapa, pasti gapapa. jangan terlalu khawatir dan put ur self first, kak ji. gue pulang dulu, besok kesini lagi.’ kata milan sebelum ia kembali.

deringan telpon dari telepon genggam uyon mengalihkan pandangannya, ‘ibu’ adalah nama yang tertera di sana. setelah dering ke lima, aji memutuskan untuk mengangkat telpon tersebut.

“assalamualaikum, le? kamu toh dimana… ini ibu ditinggal di rumah raden, kamu ndak kabarin ibu juga. milan juga tak telpon ndak dijawab, pada kemana toh yo.. yo..”

“...”

“abi??? ibu ki nanya lho kok kamu ndak sopan gak bales ibu? mbok yo seenggaknya ngabarin kalo ndak jadi bawa ibu ketemu aji.. kamu berantem toh le, karo aji?”

“... ibu maaf, ini aji.”

“LHOO NAK AJI? INI KAMU? abi nya kemana nak.. lagi keluar cari sarapan tah? tak kira ndak jadi ngajak ibu ketemu kamu, ternyata malah lagi pacaran berdua hehehehe”

“nggak bu, ini abinya—”

“wisss, ndak apa kalo mau pacaran dulu! ibu bakal ngertiin kok, met pacaran yo le.. baik-baik ya kalian.”

“tap—”

“aji, ibu ngerti kok. kaya e juga, si abi kangeeunn pol sama kamu makanya sampe buru-buru. oh ya, nanti kalo abi udah balik bilang jemput ibu ya? nanti aja kalo pacarannya sudah selesai..”

“ibu aji sama ab-”

“sudah.. sudah.. assalamualaikum nak aji..” dan telpon terputus.

aji tertegun. lelaki itu sudah tidak tahu lagi harus menjelaskan seperti apa kepada ibu uyon. namun, sepertinya juga tidak mungkin jika ia memberitahu kondisi uyon saat ini bukan?

rintihan kecil dari uyon mengalihkan perhatiannya. “ibu … ibu telfon?” tanyanya dengan berusaha mendudukkan diri. “tiduran aja sih? kenapa pake duduk? tidur.”

uyon terkekeh lalu menggeleng pelan. “pusing, aku mau duduk.” yang tentu saja hanya dibalas helaan nafas oleh aji, tetapi kemudian ia membantunya untuk duduk. “mau nanya sesuatu.” ucap aji yang langsung membuat uyon diam seketika.

“... iya, tanya aja.”

lelaki mungil itu memiringkan tubuhnya menghadap uyon, matanya mendelik membuat uyon memundurkan tubuhnya. takut. “lo gak bilang sama ibu, kalo gue gamau ketemu sama beliau?” pertanyaan yang aji lontarkan membuat lelaki sipit itu gugup.

“h-hah? bi-bilang kok aku.” aji hanya bisa menopang dagu, pandangannya terus terpaku kepada lelaki di hadapannya. “kok ibu bilangnya ga begitu?” uyon yang mendengar itu hanya bisa menggaruk kepalanya.

lelah. aji menyandarkan kembali tubuhnya pada kursi. “terus kalo begini gue harus ketemu sama ibu?” sebenarnya, aji mau mau saja jika diajak untuk bertemu dengan ibu nya uyon. namun, hubungan antara mereka saja belum jelas akan seperti apa.

bagaimana jika nanti, ketika uyon sudah mengenalkan aji pada ibu nya—hubungan mereka justru kandas? jangankan kandas. bahkan sama sekali belum dimulai. lantas, aji harus bagaimana?

“aji, aku beneran sayang sama kamu.”

pengakuan secara tiba-tiba itu, membuat aji terdiam di tempat. ia tidak tahu harus mempercayainya atau tidak. ia pernah menaruh kepercayaan kepada lelaki itu dan disia-siakan begitu saja.

padahal, baru sekali uyon bertemu dengan mantan kekasihnya. namun, lelaki itu langsung goyah dan tidak punya pendirian akan perasaannya dan melupakan aji begitu saja. jika nanti, uyon bertemu lagi dan lagi dengan jeje saat menjalin hubungan dengannya—apakah ia akan tetap melakukan hal yang sama?

trust issues. aji mempunyai hal itu sejak bangku smp dulu. waktu itu, aji hanyalah sosok bocah kecil yang tidak tahu apa-apa dan percaya saja kepada temannya. hingga pada suatu hari, ia dikhianati begitu saja.

jadi, masuk akal bukan jika ia tidak mempercayai lelaki di hadapannya saat ini? yang ingin aji lakukan adalah melindungi diri. menjaga hatinya agar tidak lagi merasa tersakiti oleh siapa pun.

uyon tersenyum masam lalu menundukkan kepalanya. “kamu masih ga percaya sama aku ... gapapa.” ujarnya seraya memainkan jari. “ini aku belum boleh pulang?” lelaki sipit itu mengedarkan pandangannya, berusaha terlihat sibuk.

“uyon.”

“kamu kalo mau pulang, pulang aja gapapa. udah dari semalem kan di sini? gausah nungguin aku, bisa sendiri kok” ujarnya

aji mendengus. “lo tuh serius ga sih sama gue? kalo serius jelasin yang bener, jangan gampang nyerah kaya gini! lo kira dari semalem gue masih di sini tuh buat apa? ya nungguin penjelasan lo lah.” wajah lelaki mungil itu memerah, terlihat sekali menahan amarah.

“... maaf.”

lelaki mungil itu menghela nafas panjang dan beranjak dari duduknya. “kamu mau kemana?” dalam sekejap, uyon menahan tangan aji. wajahnya terlihat sangat panik sekarang.

“mau pipis. apa?! mau ikut lo?!” dengan canggung, lelaki sipit itu melepaskan genggamannya dan membiarkan aji ke toilet. lima menit kemudian, lelaki mungil itu keluar dan duduk di sofa—tengah berusaha menjauhkan diri dari uyon.

“... aji sini”

“apaan?”

“sini … duduk samping aku kaya tadi”

bukannya segera beranjak, aji justru merebahkan diri dan memejamkan matanya. “ngantuk. mending lo makan tuh sarapan, gue mau tidur.” tandasnya sebelum benar-benar ke alam mimpi.

mau tidak mau, uyon hanya mengiyakan perkataan aji. karena sedari tadi, terlihat sekali bahwa lelaki mungil itu menahan kantuknya.

dengan perlahan, uyon menurunkan kakinya dari kasur. berjalan ke arah aji sembari menggiring infusnya lalu berjongkok di samping lelaki mungil itu. “aku minta maaf karena terlalu cupu. sedikit lagi, kamu mau nunggu gak?” ujarnya dengan mengusap pelan rambut-rambut yang menghalangi matanya.

“aku … mau mastiin satu hal lagi dan aku harap kamu mau nunggu.” kini, uyon meraih jemari aji dan mengusapnya. “jangan pergi, iyon.” lelaki itu beranjak dan kembali pada kasurnya, meninggalkan aji yang berusaha menahan tangisnya sekali lagi.