The Only One
“halo, bunda.. assalamu-”
“pulang.”
“bunda.. gabisa. aji belum bisa pulang sekarang, bunda.”
“oh? apa karena cowo mu itu?”
“bun, bunda tau bukan itu maksud aji.”
“yasudah kalo gitu ya pulang!”
“bunda.. dengerin aji dulu, oke? aj- halo? bunda?”
tut tut tut..
aji mematung. lelaki mungil itu terduduk lemas di bangku halte yang kala itu cukup ramai, membuat orang-orang di sekitarnya menatap bertanya. namun, lelaki itu terlalu lemas untuk menjawab.
ia mengusap kasar wajahnya, sesekali aji menjambak rambut, dan menimang-menimang apa ia harus menemui ibunya atau justru menyelesaikan semuanya dulu dengan uyon? sungguh, aji sangat bingung sekarang.
tin! tin!
suara klakson mobil mengalihkan perhatiannya, aidan—sahabat aji, sekaligus bos tempatnya bekerja—menatapnya dari dalam mobil, “ji? kok gajadi pulang lo?”
lagi-lagi, lelaki mungil itu terlalu lemas untuk berbicara, hanyalah gelengan kepala yang ia berikan sebagai jawaban. melihat ada yang salah dengan sahabatnya itu, aidan pun turun dari mobil dan menghampirinya.
“ji? aji? ryon aji purnama!”
yang dipanggil itu pun tersentak, menoleh secara perlahan dengan air mata yang menggenang di matanya, “bunda ... bunda, dan..” seperti orang linglung, itulah kondisi aji saat ini, “iya, ji. bunda kenapa? pelan-pelan coba ngomongnya..”
dari awal pertemanan mereka sampai sekarang, baru kali ini aidan melihat aji seperti orang panik, linglung, dan sedih secara bersamaan—dalam kata lainnya, berantakan.
“she knows..”
“about what, ji?”
“she knows, dan. what should i do.. what should i do..”
“... ji, liat gue.”
lelaki mungil itu pun menoleh, “ELOO KALO NGOMONG YANG BENER JANGAN NGANG NGONG NGANG NGONG! gua kaga paham, nyet! sama apa yang lo omongin daritadi.”
seharusnya, di situasi saat ini aidan malu karena teriak di depan umum dan dilirik sinis oleh orang sekitarnya. seharusnya juga, ia menghibur aji bukan justru meneriakinya. memang, aidan berani beda.
aji mengerjapkan matanya, terlampau kaget sehingga air matanya berhenti secara tiba-tiba. namun, hanya untuk beberapa detik, karena di detik selanjutnya lelaki mungil itu menangis dengan deras.
“buset susah bener ngomong sama ni orang..”
masih dengan air matanya yang mengalir deras, aji mengangkat tangannya menuju wajah aidan dan menamparnya pelan. namun, tentu saja tidak berasa apa-apa. tangan aji terlalu lemah sekarang.
aidan terkekeh, “lu kalo lagi lemah kaga usah sok-sok an galak ke gua” ujarnya yang mendapat tatapan sengit dari empunya.
lelaki itu pun menyerah, memutuskan untuk menarik aji ke dalam mobilnya. karena bagaimana pun juga, aidan tahu bahwa aji butuh waktu untuk menceritakan semuanya. maka dari itu, entah kemana tujuannya, aidan tidak tahu, yang penting mereka pergi jauh dulu.
“udah selesai narik ingusnya?”
berbeda dengan tadi, kali ini aidan mendapat pukulan cukup keras di lengannya. aji sudah tenang sekarang, tidak menangis dengan alasan tidak jelas seperti tadi.
kemungkinan, dikit lagi lelaki itu akan menceritakan apa yang tengah mengganggu pikirannya.
“bunda tau, that im gay.”
aidan termangu, menatap aji dengan tatapan bingungnya, “... apa coba ulang?”
“bunda tau?”
“BUKAN ITU!!”
“ih orang aneh ngapain sih teriak-teriak! terus apa?!”
aidan menggaruk kepalanya, menaruh tangan di depan mukutnya. ia terlihat sangat bingung sekarang, “you're gay?”
mendengar itu aji tertegun. ia lupa, kalau aidan tidak pernah tahu mengenai seksualitasnya. karena sedari dulu, aji tidak pernah mempunyai hubungan dengan siapa pun baik laki-laki maupun perempuan.
jadi, hari ini ia baru saja came out secara tidak langsung? dan bukan hanya satu tetapi ke dua orang? bunda, serta aidan.
crap. i'm doomed. batin aji.
lelaki mungil itu memijat dahi, merasa sangat bodoh sekarang, “... aji?”
“sorry. gue ga maksud nge-judge lo, sama sekali nggak, serius! gue cuman.. kaget? karena lo ga pernah cerita..”
aidan menepuk pundak lelaki itu, “lagian ya, kita hidup di zaman modern. banyak kali nemuin orang kaya gitu.. jadi, yaa? yaudah, gitu.”
“terus tadi gimana? bunda tau?” tanya nya
“hm”
“you're doomed, ji.”
“i know.”
baik aidan maupun aji, menghela nafas berat secara bersamaan. entahlah, rasanya hidup sedang sangat keras kepada keduanya, “jia juga.. nolak gue.”
“itu sih mampus.”
toyoran kepala aji dapatkan, “lu juga mampus”
“dan”
“ha”
“anterin gue pulang”
baru saja aidan ingin memutar balik mobil, aji menghentikannya, “gausah muter, lurus aja. anterin gue ke rumah bunda”
“assalamu-”
“ini pacar kamu?”
aji memutar matanya malas, “bun, orang belum ucap salam udah ditodong pertanyaan gajelas gini, sih?”
bunda aji pun tersenyum masam, “waalaikumsalam, masuk.” tandasnya yang langsung masuk ke dalam rumah.
aji yang melihat itu hanya bisa mendengus kesal, menoleh ke arah aidan yang masih terkejut dengan tuduhan barusan. “maaf, bunda emang gak jelas. ayo masuk dulu.”
dan lelaki mungil itu pun meninggalkan aidan yang masih berdiri mematung di depan pintu, “AIDAAAN! MASUK!”
“IYA!”
suasana di ruang tamu itu terasa sedikit mencekam, baik aji maupun bunda nya tidak ada yang mau membuka pembicaraan. aidan pun juga begitu, bahkan ia tidak berani untuk membuka ponselnya walau mendapatkan telfon sedari tadi.
“angkat aja, gapapa.” ujar aji yang langsung mendapat gelengan dari empunya, “hah? ng-nggak gapapa, ga penting.”
“dan, itu jia yang telfon”
seketika, lelaki itu langsung berdiri dan pamit untuk menerima telfon. aji pun hanya menggelengkan kepala melihatnya.
“cowo itu,” ucap bunda sembari menunjuk aidan dengan dagunya, “bukan pacarmu?” tambahnya melanjutkan.
“nggak. bukan.” tandasnya.
bunda aji—lia—langsung terdiam mendengarnya. bersedekap dada, memandang ke arah lain selain anaknya. ayah aji—ryan—pun hanya bisa menggaruk kepala melihat keduanya. bingung ingin melakukan apa.
“bun, udah lah jangan marah-marah begitu? anakmu jauh-jauh kemari, masa kamu cuekin gini?” ryan yang sudah lelah pun berusaha untuk ikut turun tangan.
lia mendelik, “siapa yang nyuekin?” frustasi. sungguh, ryan sangat frustasi menghadapi dua orang keras kepala ini.
“yaudah terserah bunda. ayah cuman bilang kasian sama anakmu yang jauh-jauh ke sini, tapi kamu malah begini ke dia. apapun masalahnya, gak seharusnya kamu berlaku kaya gini ke aji, bun.”
“di antara kamu sama aji, yang paling dewasa itu kamu. harusnya lebih tenang untuk ngadepin masalah, bun.”
baik lia maupun aji, keduanya langsung menundukkan kepala. mereka berdua sudah tidak tahu harus menjawab apa ketika ryan sudah berada di puncak kesabarannya. karena sebenarnya, ryan adalah tipe yang sangat jarang marah. namun, ketika sekalinya ia marah akan sangat menyeramkan.
“iya, maaf.” ujar lia.
ryan mengusap wajahnya kasar, “... maaf juga ayah bentak bunda.” dengan begitu, lia langsung memeluk ryan dengan pautan di bibirnya.
dan di sana, aji melihat adegan mesra kedua orang tua nya dengan tatapan menghina, “udah selesai belom pelukan teletubbies nya?” tanya nya meledek
lia berdeham, “ehem! udah. sana kamu yang, ngapain di sini?” usirnya kepada ryan, “kalo aku gak di sini, kalian ga ngomong-ngomong dari tadi, tau gak?” belanya.
lagi-lagi, aji memutar malas matanya, “kita jadi rapat paripurna gak sih? aku gajadi disidang ini?” tanya nya.
“kamu gaada takut-takutnya sama bunda, ji.” ujar ryan, “ngapain takut, bunda aja lebih takut sama ayah.” jawab aji sekenanya.
lemparan bantal pun aji dapatkan, “awas kamu, bunda cari beneran pacar kamu ini ya.” ancamnya kepada aji.
lelaki mungil itu pun menghendikkan bahunya, “terserah, toh dia bukan pacarku.”
“kasian ya..”
ryan mengangguk, “iya, kasian ya, bun?”
aji mendengus kesal, “kayanya juga dia ngga suka sama aku, gatau deh, aneh.”
walau sebenarnya lia ingin menertawakan kisah cinta anaknya itu, tetapi tidak bisa membohongi perasaan khawatirnya juga, “kamu suka sama laki-laki, kenapa ga pernah bilang ke bunda, aji?”
“apa kamu pikir, bunda dan ayah nggak akan nerima kamu? kita bakal ngebenci kamu, iya?”
bunda pun menepuk pundak anaknya itu, “mana mungkin kami ngebenci anak semata wayang kami, aji?”
“mau jadi apapun kamu nanti, kamu tetap jadi anak bunda dan ayah, sayang..”
aji tersenyum dalam sesi menunduknya, sebenarnya ia tahu kalau ayah dan bunda tidak akan pernah bisa membencinya. namun, hanya saja ia tidak bisa mengatakan hal itu kepada mereka. takut.
takut mereka kecewa.
elusan di pipi pun aji rasakan, itu tangan bunda. sedang menangkup pipi jihoon dengan senyum di wajahnya, “kami, akan selalu sayang sama kamu, aji.”
senyuman di wajah aji pun semakin lebar, lelaki itu mengangguk-anggukan kepalanya berkali-kali, serta mengucap 'terima kasih' berkali-kali pula.
ia merasa berterima kasih, karena selalu diterima akan jadi apapun ia nanti.
ia merasa berterima kasih, karena walau akan ada orang yang membencinya nanti, ia akan selalu mempunyai tempat untuk berpulang.
untuk sekedar meminta pelukan atau pun kasih.
“nanti, kalo udah jadi pacar ajak dia ke sini, ya?” ujar lia sembari membenarkan poni anaknya itu, “bunda dan ayah mau kenalan, sama orang yang udah buat anak bunda misuh-misuh ke bunda”
aji terkekeh, memukul pelan lengan wanita itu, “ish si bunda mah..”
“ryon aji purnama anak bunda.. terima kasih udah jujur sama bunda ya, nak? aji jangan takut untuk jujur sama bunda.. selama aji nggak ngelakuin hal jahat, bunda nggak akan marah,”
“um.. nggak deh. sekali pun kamu ngelakuin hal jahat, bunda akan selalu jadi orang yang nggak akan benci kamu, nak.”
runtuh sudah pertahanan aji sedari tadi, air mata yang ia tahan pun keluar deras kali ini. ia merasa sangat amat beruntung mempunyai orang tua seperti bunda dan ayahnya.
ia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau bunda dan ayah membenci dirinya. ia tidak tahu harus apa dan bagaimana.
ia juga tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang yang berusaha came out namun tidak mendapat respon baik dari orang sekitarnya. ia yakin, kalau itu akan sangat menyakitkan.
aji merasa beruntung, sangat amat beruntung.