The Overthinker
“its cold outside, kak. kenapa gak pake jaket?”
suara milan memasuki pendengarannya, sudah tidak sedingin kemarin. namun, masih terasa asing baginya yang sering mendengar sapaan hangat dari milan. arya belum terbiasa, sebenarnya.
lelaki itu tersenyum. “hm? gapapa, ga dingin hehe.” ujarnya yang mengundang helaan nafas berat lawan bicaranya. untung saja, tadi ia memutuskan menggunakan jaket tebal. berpikiran kalau pujaan hatinya itu akan melakukan hal ini.
“ini, kamu pake. nanti masuk angin, siapa yang ngerjain skripsi kamu?” asing. arya masih terasa asing. biasanya lelaki jangkung di hadapannya ini akan langsung memakaikan jaket miliknya pada arya, tetapi kali ini hanya memberikannya saja. bahkan, membuang muka dan tidak menatap matanya.
hanya bisa tersenyum masam, arya mengambil jaket tersebut lalu memakainya. benar, sudah terasa hangat sekarang. “makasih, ya?” milan hanya mengangguk dalam diam, masih menciptakan jarak serta tembok tinggi di antara mereka.
“i just wanted be clear with you, mil. i wanna talk about all the things that stucked in my head, that makes me sick everyday. the reasons … why i rejected you when i have a feelings for you.” kepalanya menunduk, mengusap tangannya yang terasa dingin sekarang. merasa gugup sebenarnya.
arya tidak berani menatap milan sekarang, takut. akan reaksi yang akan ia dapatkan ketika ia mengatakan semuanya—alasan yang membuat hubungan mereka tidak berjalan. berhenti di tempat. tidak tahu akan kemana jadinya.
“you know, we are different, mil.” milan hanya mendengus, bertanya-tanya dimana letak perbedaan mereka yang membuatnya seperti ini? tapi lelaki itu hanya diam, masih mempersilakan arya untuk melanjutkan.
arya berdeham pelan. “age. our difference is in age, milan. iya, umur bukan masalah dalam hubungan and i know that too. tapi permasalahan yang kita hadapin, itu berbeda.” lanjutnya merasa frustasi. namun, sedikit merasa lega karena apa yang menjadi pikirannya selama setahun belakangan berhasil ia keluarkan.
dahinya mengkerut, menghela nafas panjang sebelum melanjutkan. “tiap harinya aku selalu ditanya 'kapan nikah? kapan punya anak? mana pacarmu?' and we also different in this matter, milan. your parents not questioning your love relationship everyday, but not with mine...” suaranya terdengar terengah-engah, bahkan dari matanya terlihat berkaca-kaca.
milan terdiam, matanya terkatup rapat seraya menggenggam erat lengan arya. menariknya pelan menuju dekapannya, menepuk punggung serta mengelus pucuk kepala lelaki itu dengan kasih sayang. “they wanna have a grandchild, from me. i wish i could give birth, tho .. so i won't be separate from you.” lanjutnya lirih.
terlalu berat. arya merasa persoalan serta latar belakang yang membuat hubungan mereka tidak bisa, terlalu berat. tidak pernah sedikit pun, arya berpikir bahwa suatu hari nanti ia akan dihadapkan dengan masalah seberat ini. perihal mencintai kadang terasa lucu, sepertinya. banyak yang menghalangi, bahkan hampir semuanya.
kalau saja dulu ia hanya menjalin hubungan dengan haha hihi, maka untuk sekarang banyak yang harus diselesaikan maupun dipertimbangkan berulang kali. sebenarnya, milan adalah lelaki pertama baginya. ia tidak pernah jatuh cinta dengan lelaki sebelumnya, tidak satu pun. hingga ia bertemu dengan milan. lelaki pertamanya.
berawal dari acara reuni dengan alumni sekolah yang mempertemukan mereka berdua, bertukar informasi hingga bercakap hingga tidak tahu waktu dan batas. sampailah mereka pada saat ini, masa yang tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya.
tangan milan ia bawa menuju pelipis arya, mengusapnya pelan seraya membenarkan poni yang menutupi pandangannya lalu terkekeh pelan. “yaudah, kawin lari aja yuk?” satu pertanyaan, lima kata, namun berhasil mengundang emosi arya.
“KAMU TUH GILA YA?!”
“MILAAANNN ?($!#(#!#(#(”
“AKU GAMAU KALO KAWIN LARI”
hap. tangan arya berhasil milan dapatkan, lelaki itu tertawa pelan lalu kembali membawa arya ke dalam pelukannya. “yaudah kalo gitu, kita come out ke orang tua kak gib? gimana?” niatnya memberi solusi, tetapi terdengar seperti membawa ke kandang singa. “... i've never done that, before ...”
“no, you did it before, didn't you?” wajah arya terlihat bingung, sejak kapan ia melakukan hal itu? karena seingatnya, teman-temannya tidak ada yang mengetahui rahasia terdalamnya. “ke bu ida, uyon, guan, dan juga ican. kamu bilang ke mereka waktu dikasih tau peraturan kostan ga boleh bawa cewe dan kamu nyeletuk, 'saya gasuka cewe, bu.' begitu aja di depan mereka. inget, gak?” lanjutnya menjelaskan.
ia teringat sekarang, hal itu sudah cukup lama sebenarnya, sekitar satu setengah tahun yang lalu. tetapi, persoalan tersebut sangat berbeda bukan dengan yang sedang di bahas. “beda, milan. they are just strangers to me and it will not affect my life that much. if I tell my parents that I like men and they won't accept me, they're gonna kick me out.. like? forever, milan. where should i live, then?” jawabnya.
“with me, of course.” seperti kebanyakan pemuda pemudi di luar sana, di awal masanya menjadi berkepala dua. terkadang masih berpikiran simple dan tidak mau rumit akan memecahkan masalah yang ada, itu menurut arya. karena saat ini lelaki itu hanya diam terperangah dengan jawaban yang milan berikan padanya. terlalu mudah baginya untuk menjawab.
“semudah itu?”
“iya, semudah itu.”
milan mengambil nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. “kakak, kamu terlalu banyak mikirin sesuatu yang bahkan belum kejadian sama sekali.” ujarnya pada arya. matanya menatap dalam ke dua netra yang juga sedang menatapnya, memfokuskan semua dunia dan atensi hanya kepada lelaki di hadapannya.
“kamu bilang, mereka pengen punya cucu. of course, who didn't want it right? tapi apa benar mereka bilang harus anak kamu? aku yakin nggak. karena kamu selalu menambahkan satu dua kata yang menjadi permasalahan di pikiran kamu, kak.” lanjutnya.
“,– aku emang cuma baru kenal kamu setahun dua tahun belakangan ini. but i know about you, more than yourself.”
“,– and i know your parents, too. they are the most open minded person that i've ever met. aku pernah ngobrol sama mereka, even they ask how can i not have a girlfriend when i look like this.” lanjutnya dengan menyombongkan wajah serta penampilannya. “so .. what did you say?” arya penasaran, karena terlihat dari wajah milan lelaki itu tidak bercanda saat ini.
milan terkekeh. “im just saying that im not into girls. that i like men ... that i like you.” terperangah, wajah arya berubah merah padam sekarang. “... bohong kan?” arya sudah niat untuk tertawa, namun sepertinya lelaki di hadapannya saat ini tidak berbohong. sama sekali. “you're not lying …”
sebenarnya, milan sudah bisa menebak apa yang akan arya katakan padanya. namun, ia biarkan karena ingin mendengarkan semua keluh kesah dan segala pikiran yang menghantui lelaki itu belakangan ini. ia ingin menjadi pendengar serta senderan bagi arya.
karena sudah bukan rahasia umum, kalau yang paling tua akan menjadi pendengar bagi adik-adiknya. selalu menjadi tempat bersandar dan berkeluh kesah, hingga ia lupa bahwa dirinya juga membutuhkan hal itu. memutuskan untuk memendam semuanya, hingga terkadang membuatnya menjadi sakit. tidak jarang lelaki itu mengeluhkan kepalanya atau pikirannya.
tetapi jika ditanya, ia tidak akan membuka mulut. memutuskan untuk menjauh dan lagi-lagi memendam semuanya. berusaha bersikap baik-baik saja, layaknya tempat bersandar yang tidak memiliki perasaan. seperti robot. tidak bernyawa.
“,– and you know what, kak? they said kalo perasaan aku ke kamu ga salah. karena itu masih menjadi hak ku. but they also told me, that i can't force your feelings.” selama ini, kekhawatiran arya sebenarnya tidak ada. tidak akan terjadi. hanya menjadi sebuah bayangan-bayangan buruk yang bersarang di kepalanya. selama ini, ia salah.
tentang gengsinya yang selalu ia bangun tinggi, terkadang membuat dirinya orang di sekitarnya terluka bahkan dirinya sendiri. tidak mau mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan dan juga tidak berani untuk bertanya mengenai kekhawatirannya selama ini. karena itu, ia hampir membuat orang yang sangat ia sayangi ini pergi darinya. bodoh, pikirnya.
milan merenggut, menarik dagu arya lalu menatap kedua matanya. “mikirin apalagi kamu, kak..? gak cape? otaknya diistirahatin dulu coba, ya..?” tanyanya lirih. tidak suka ketika lelaki kesayangannya yang satu ini terlalu sering membuat dirinya sendiri terluka dengan pikiran-pikirannya.
baru kali ini, ia menemukan orang seperti arya. overthinker. namun sudah di-fase yang sangat parah. tidak bisa tersaring sedikit pun, ibarat keranjang bolong. tidak berguna.
bukannya ilfeel atau sebagainya, entah mengapa milan jadi ingin melindungi lelaki itu. ingin menemani di kala sedihnya, senangnya, kecewanya, di semua emosi yang ia rasakan—milan ingin di sana, untuk menemaninya.
“berarti … berarti aku salah, milan?”
“kamu ga salah, kamu cuma bingung dan mempertanyakan segala hal yang buat pikiran kamu berkecamuk. coba untuk sehari, kamu berhenti untuk mikirin hal-hal tersebut. aku yakin, kamu ga akan kaya gini kak.”
bibir arya terpaut, lalu menjatuhkan kepalanya di bahu milan. mengeluarkan isakan tangis yang selama ini ia keluarkan sendirian, tidak mempunyai teman. namun kali ini, ia mempunyai milan sekarang. ia tidak sendiri lagi, ia mempunya tempat bersadar juga—seperti yang lainnya.
milan tersenyum, lalu mengeratkan dekapannya pada arya. “im so glad that i met you, milan.” suaranya terpendam, tapi cukup terdengar dengan jelas bagi milan. senang sekali mendengarnya, hingga menciptakan sebuah senyuman lebar pada wajah lelaki itu.
“kakak?”
“hm, iya?”
“ayo come out ke mama papa ya? aku temenin. aku janji beneran bakal temenin kamu, gabakal ninggalin kamu pergi sedetik pun.”
“...”
“... kalo kamu gamau gapapa, gausah dipaksa”
“okay.”
“SERIOUSLY? ARE YOU SURE ABOUT THAT? YOU CAN'T TAKE IT BACK, OKAY?”
“yeah, i'm sure milan.”
“,– and milan, i have one more that i should tell you.”
baru saja ia ingin membuka mulutnya, sebuah kecupan di dahi milan dapatkan. disertai bisikan, “i love you, milan.”