the truth untold.
⚠️ // depression , cheating , trauma , toxic parents
sebenarnya, soonyoung tidak pernah berpikiran untuk kuliah di seoul. tidak sekali pun. apalagi, meninggalkan kekasihnya di kota ini sendiri.
namun, semenjak ia tahu bahwa ayahnya berada di seoul, soonyoung memutuskan untuk kuliah di sana. entah, rasanya ia ingin sekali bertemu dengan sosok ayah yang tidak pernah ia temui lagi sejak umur 4 tahun.
saat ia kecil, soonyoung selalu bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. mengapa ia bisa terlahir jika tidak punya ayah? bagaimana bisa, hanya ia yang tidak mempunyai ayah.
sampai pada saat ia tidak sengaja mendengar percakapan bunda dengan tante harin. mereka membicarakan tentang ayahnya yang menghubungi bunda kembali, tetapi tidak pernah bunda balas dan soonyoung tidak tahu apa alasannya.
di sinilah ia berada, rumah dua tingkat dengan taman besar. persis seperti impian bunda. namun, soonyoung ingat sekali bahwa bunda juga ingin ada ayunan di sana, sebagai tempat soonyoung bermain. tetapi di rumah ini kosong, hanya ada tanaman dan bunga yang mengisi.
ting tong
dengan tekad yang sekecil telapak tangan jihoon, soonyoung memberanikan diri untuk memencet bel.
tidak ada jawaban.
padahal di garasinya terdapat dua buah mobil yang terparkir dengan rapih, tidak lupa dengan motor ninja hitam di sebelahnya. lagi, soonyoung memencet bel untuk kedua kalinya sembari memasang senyum lebarnya.
cklek
sosok lelaki dengan rambut pirang menyembulkan kepalanya di pintu, keningnya mengkerut ketika melihat soonyoung, “nyari siapa, ya?”
senyuman soonyoung luntur, ikut mengkerutkan kening. walau ia tidak pernah betemu, soonyoung yakin bahwa sosok lelaki di hadapannya ini bukanlah ayahnya. karena dilihat dari segimanapun, ia terlihat masih muda, sekitar umur 30 an ke atas.
“kwon.. in su?” tanya soonyoung dengan ragu. namun, terlihat sekali bahwa lelaki di hadapannya ini terkejut dan sesegera mungkin menutup pintu untuk menghampirinya.
lelaki berambut pirang itu memiringkan kepalanya, meneliti wajah soonyoung dan lagi-lagi mengkerutkan keningnya. “kamu.. kwon soonyoung?”
soonyoung mengangguk pelan, pada detik itu pula lelaki berambut pirang membuka mulutnya lebar-lebar dan menaruh tangannya di depan mulut, “KAMU KWON SOONYOUNG? OH MY GOD ... aku harus telfon insu.. insu insu mana kontaknya”
sungguh, soonyoung sangat bingung sekarang. tetapi ia tdiak bisa melakukan apapun selain berdiam diri dan memperhatikan lelaki di depannya yang berusaha menelfon ayah soonyoung.
“OOH, KAMU. MASUK DULU aduh gimana malah biarin dia di luar MASUK SOONYOUNG eh kok teriak maaf maaf, ayo masuk.. masuk..” dan lelaki sipit itu bertambah bingung sekarang.
namun, ia tetap mengikuti lelaki di hadapannya ini dan duduk di ruang tamu—yang sungguh, benar-benar interior yang bunda sukai. alias, melihat rumah ini dari sisi luar dan dalam seperti melihat bunda. sama persis.
“kamu mau minum apa, soonyoung? teh mau? eh atau sirup? cola? beer? wine? cocktail? eh umur kamu berapa sih? udah boleh minum belum?” benar-benar. lelaki di hadapannya ini sama sekali tidak bisa berhenti berbicara, sangat meledak-ledak, dan lagi-lagi persis seperti bunda. bunda yang dulu.
soonyoung menggelengkan kepala, “ngga usah, mas(?)” jawabnya. lelaki itu menggelengkan kepala juga, “no no, aku harus sambut kamu dengan baik.. jadi, mau minum apa?” ujarnya dengan tersenyum.
“kalo gitu, air putih aja?” dengan cepat, lelaki itu mengangguk dan memberinya jempol, lalu pergi menuju dapur meninggalkan soonyoung sendiri.
kali ini, ia bisa melihat seluruh isi rumah ayahnya tanpa terganggu. pintu yang berwarna putih, sofa beludru, dan juga karpet besar di bawahnya ini sangatlah ciri khas bunda. entah mengapa, soonyoung selalu terpikir akan bunda ketika melihat rumah ini. seleranya sama.
hingga, matanya menangkap sebuah bingkai foto yang menampakkan dua laki-laki berpegangan tangan. tidak romantis, hanya berpegangan. yang satu, terlihat seperti lelaki yang menyambutnya dengan heboh sedari tadi.
dan yang satu lagi, tersenyum dengan lebar sekali sembari menolehkan kepala,
itu ayahnya.
soonyoung lemas. sangat. belum lagi, ketika ia membalik bingkai tersebut yang terdapat tulisan tangan,
“i'll love you forever, haneul.” — love, insu.
jatuhlah air mata soonyoung. tangannya bergetar dengan hebat, penglihatannya buram karena penuh dengan air mata yang menutupi.
jadi, ini adalah alasan mengapa bunda sangat membenci hubungannya dengan jihoon. ini, adalah alasan mengapa bunda sangat menentangnya.
bagaimana tidak? anak kandungnya sendiri mempunyai hubungan seperti suaminya, yang meninggalkannya hanya untuk bersama lelaki. membuatnya berjuang habis-habisan untuk bertahan.
bunda melanjutkan perusahaan ayahnya yang ditinggalkan oleh insu dengan membawa anak setiap ia ke kantor. heeyoung—bunda soonyoung—jatuh dan bangkit sendiri, tanpa adanya sosok penopang untuk membantu.
namun kini, anaknya justru membawa laki-laki dan meminta restu darinya. sungguh miris.
“aduh soonyoung aku gabisa kalo kasih kamu air putih doang.. nih, aku buatin sirup rasa sirsak, suka ngg-”
“sayang! soonyoung ke sini? serius kamu? mana anaknya ASTAGA AKHIRNYAA..”
prang
bingkai yang soonyoung pegang sedari tadi pun jatuh menyentuh lantai. kaca yang menjadi pelindung foto tersebut telah hancur berkeping-keping, tidak menyisakan apapun.
insu, ayah soonyoung melihat ke arah soonyoung dan berjalan mendekat, “soonyoung.. nak, ayah bisa jelasin semuanya.”
dengan air mata yang terus menerus menjatuhi pipinya, soonyoung menaikkan tangannya. mengisyaratkan untuk menjauh dan berhenti berbicara. lelaki sipit itu jatuh terduduk, meremas kencang surai hitamnya.
“ARGGHHHHHHH!!”
“KENAPA, AYAH?! KENAPA AYAH NGELAKUIN INI KE BUNDA?”
“BUNDA KURANG APA BUAT AYAH? BUNDA KURANG KASIH APA UNTUK AYAH? KENAPA AYAH TEGA NINGGALIN BUNDA DAN NGEBIARININ BUNDA NGERAWAT AKU SENDIRIAN?”
“DI SAAT AKU SAKIT, TERIAK TERIAK MINTA AYAH UNTUK DATENG AYAH KEMANAA?!!”
“ayah.. ayah gaada.”
insu berjongkok di hadapan soonyoung, berusaha memegang pundak anaknya walau ditepis berkali-kali. “ayah.. ayah salah. ayah tau, nak.. ayah minta maaf.” lirihnya.
soonyoung terkekeh, mendesis sinis dan mengangkat wajahnya. menatap haneul yang tengah menatapnya khawatir sedari tadi, “ayah ... selingkuh sama dia?” tanyanya dengan menunjuk haneul.
dengan perlahan, insu menurunkan tangan soonyoung, “soonyoung, dengerin ayah dulu mau, ya?”
tentu saja, lelaki sipit itu menggelengkan kepalanya dengan cepat, “dia ngegoda ayah kaya gimana sampe bisa dapetin ayah?”
plak
cetakan tangan membentuk pipi soonyoung yang basah. sakit, perih, dan panas menyampur menjadi satu.
suasana ruang tamu pagi hari itu, terasa sangat mencekam. terlalu dingin. terlalu suram.
soonyoung mendengus, memegangi pipinya yang terasa sangat panas sekarang, “kamu boleh hina saya, caci maki saya, bahkan kamu boleh pukul saya sekarang juga, soonyoung. tapi jangan pernah hina orang yang saya cintai, kamu keterlaluan.”
dengan itu, insu meninggalkan soonyoung dan pergi menuju kamarnya. tersisa haneul dan soonyoung yang bertatapan. soonyoung dengan amarahnya dan haneul dengan air mata di pipinya.
srak srak srak
kelopak mata itu terbuka, menampakan mata yang sembab. suara tadi membangunkan soonyoung dari tidurnya, yang bahkan ia sendiri tidak sadar kalau tertidur.
terdapat sebuah perban yang melilit jari telunjuk soonyoung, dan ia juga tidak tersadar apa yang melukainya.
srak srak srak
suara itu kembali mengalihkan perhatiannya, di luar sana, terdapat haneul yang sedang menyapu halaman. bajunya sudah diganti, tangannya juga terdapat perban yang sama seperti dirinya.
tuk
“udah bangun kamu?” itu ayahnya. lelaki berkepala 4 itu tengah membaca koran, di hadapannya terdapat kopi hitam yang baru saja ia minum tadi, “udah mau denger penjelasan ayah?”
soonyoung membuang muka, kembali memperhatikan haneul yang kali ini sedang menyirami tanamannya.
“namanya kang haneul. ayah ketemu sama dia pas masih kuliah, jauh sebelum ketemu ibu kamu.” walau sebenarnya soonyoung tidak ingin tahu, ia tetap mendengarkannya.
insu yang melihatnya pun tersenyum, “anaknya baik, nak. pembawaannya selalu riang dan ceria, ayah selalu senang kalau dengar dia bercerita.” kali ini, ia menaruh korannya di meja dan kembali menyesap kopi hitamnya. “sekali dia membuka mulutnya, gaakan pernah habis yang bakal dia omongin. cerewet. berisik.”
“kami mutusin untuk berpacaran saat ayah semester tiga dan dia di semester dua.”
“awalnya, ayah cuman berpikir kalau 'yaa mungkin hubungan sesaat aja'. tapi nggak, nak. perasaan ayah kepada haneul tidak pernah habis.”
sebelum melanjutkan, insu mengambil nafas panjang, “hingga pada tahun ketiga kami berpacaran, nenekmu, tahu tentang hubungan kami. padahal ayah berusaha sekali untuk menutup rapat hubungan ini, nak.” ujarnya sembari tersenyum masam.
“mau tahu apa yang dilakukan oleh nenekmu? beliau mendatangi keluarga haneul dan memintanya untuk memutuskan hubungan dengan ayah. yang parahnya, seperti di drama drama itu.” soonyoung menoleh, mengkerutkan kening. “bawa sekoper uang terus bilang, 'jauhi anak saya!' begitu?”
insu tertawa, mengangguk-anggukkan kepalanya. “iya, begitu.” ia pun bangkit dan duduk di samping soonyoung, ikut memperhatikan haneul yang masih sibuk mengurusi tanamannya. “habis itu dijodohin.” tambahnya.
soonyoung tercengang. alurnya sama persis akan apa yang ia alami. “tapi kenapa bunda mirip banget sama haneul?” tidak peduli dengan gengsi, ia merasa tertarik sekarang dengan ceritanya.
“karena nenekmu mencari sosok yang benar-benar mirip dengan haneul. niatnya, biar ayah cepat melupakan haneul dan hidup bahagia dengan bundamu.” jawab insu.
“padahal, dengan kemiripan mereka berdua yang sangat persis membuat ayah jadi stres setiap harinya.” insu menoleh ke arah soonyoung, lalu kembali melihat haneul.
senyuman kecil tercetak di wajahnya setiap melihat haneul. “ayah harus neguk pil tiap saatnya biar ga terbayang sama haneul.” insu menghela nafas, “itu hari-hari terburuk yang pernah ayah alamin.” tambahnya.
soonyoung berpangku dagu, “emang habis disamperin nenek, mas-eh, kak haneul beneran menghilang?” mendengar itu, insu tertawa. “iya, beneran menghilang tanpa jejak sama sekali.”
lelaki sipit itu meringis, membayangkan jihoon pergi dari dirinya saja sudah sakit. apalagi ketika jihoon hilang tanpa jejak sama sekali. soonyoung tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sakit itu.
“terus, kok ayah bisa balik sama kak haneul? katanya menghilang tanpa jejak?” tanya nya dengan penasaran, “ya kamu kira, 6 tahun itu bukan waktu yang lama buat ayah cari haneul?” balas insu
“oh, iya juga..”
“sebenernya, ayah..” insu menoleh, menaikkan alisnya. “hm, kenapa?” terlihat sekali bahwa lelaki itu merasa excited untuk mendengarnya bercerita.
soonyoung menggeleng pelan, “ngga deh, gajadi.” ucap nya yang membuat insu tersenyum masam kemudian.
cklek
pintu terbuka menampakkan haneul dengan baju yang setengah basah, ia terlihat terkejut ketika melihat soonyoung yang sedang menatapnya juga. “halo .. kak.” sapa soonyoung.
haneul—lelaki berambut pirang itu mengedipkan matanya berulang kali. merasa tidak percaya akan apa yang baru saja ia dengar. “kamu ... manggil aku kak..?” tanya nya yang dibalas anggukan oleh soonyoung.
“um, kak haneul.”
matanya beralih melihat insu, terlihat berkaca-kaca sekaligus berbinar. “mas..” lirihnya, kemudian berjalan mendekat untuk memeluk insu.
“aduh, jangan pacaran di depan aku dong.” protes soonyoung yang dibalas kekehan keduanya, soonyoung pun ikut tersenyum melihat itu.
kini, soonyoung tahu mengapa alasan bunda dan ayahnya berpisah. bukan karena salah bunda atau ayahnya, hanya saja mereka memang tidak ditakdirkan untuk bersama.
memang, soonyoung tahu bahwa ayahnya salah dengan meninggalkan bunda begitu saja. tapi yang namanya perasaan tidak pernah bisa diatur sesuka hati, apalagi perasaan orang lain.
ayah mencintai orang lain, yang dimana itu bukan bunda. ayah tidak menyelingkuhi bunda, hanya mencari cinta lamanya yang hilang. pergi tanpa jejak dan hebatnya ayah bisa menemukan kembali.
ini juga bukan salah bunda yang memperlakukan soonyoung dengan tegas. karena pada dasarnya sakit hati lah yang membentuk bunda seperti itu. soonyoung paham sekarang.
atau mungkin ini salah nenek, tapi jika saja nenek tidak menjodohkan ayah dengan bunda, maka soonyoung tidak akan ada di dunia ini, bukan?
entah, soonyoung terlalu bingung untuk menyalahkan siapa atas semua yang sudah terjadi ini. atau mungkin, memang tidak ada yang harus disalahkan. karena dari awal, semua sudah berjalan sesuai porosnya.
“yaudah ayah, kak, aku pamit pulang, ya? udah sore, aku ada kuliah pagi besok..” ujar soonyoung sembari mengambil kunci mobil di atas meja. “hati-hati ya, nak. kapan-kapan main lagi ke sini, tapi jangan bilang-bilang bunda.” sahut insu sembari menaruh telunjuknya di depan bibir.
dengan tertawa, soonyoung pamit dan meninggalkan rumah itu. bebannya terasa terangkat sekarang.
terakhir. sisa satu permasalahan yang belum ia temui jalan keluarnya. hubungannya dengan jihoon, harus ia apakan setelah ini?