sooniehamchi

satu menit, lima menit, sepuluh menit. tidak ada yang memulai percakapan terlebih dahulu, hanyalah suara angin yang sedari tadi berbicara dengan berisik. bahkan, menatap lawan bicaranya saja tidak. tidak berani, sebenarnya.

“mau ngomong apa?” jihoon menundukkan kepalanya, memainkan jari agar terlihat sibuk. “bentar, belum siap denger jawabannya.” balas soonyoung yang langsung menghela nafasnya.

sepertinya semua orang pun tahu, apa yang akan soonyoung katakan padanya. terlihat sekali, bahwa lelaki satu itu sangatlah gugup sekarang. nafasnya yang tidak teratur, kaki yang tidak berhenti bergerak, serta mata yang terus menerus melirik jihoon.

setelah seminggu tidak bertemu—kurang lebih—soonyoung tampak sangat berantakan sekarang. di bawah matanya terdapat lingkaran hitam yang cukup besar, pipi nya sudah tidak mengembung sebesar dulu, serta rambut dan bajunya yang tidak terurus. karena biasanya, jihoon lah yang menyisir rambut dan juga menyetrika baju milik soonyoung.

“jangan lama-lama, masih banyak kerjaan.” ujar jihoon.

benar juga, walaupun soonyoung mengambil cuti dari pekerjaannya—jihoon tidak begitu. lelaki mungil satu itu, akan melampiaskan amarah dan semua emosinya ke dalam pekerjaan. yang tentu saja akan membuat hasilnya menjadi lebih cepat diselesaikan, walaupun berakibat mempengaruhi kesehatannya. namun, soonyoung tidak bisa seperti itu.

ia menjadi teledor, datang tidak tepat waktu, dan juga selalu salah dalam mengingat koreografi yang sudah ia siapkan berbulan-bulan lalu. maka dari itu, ia memutuskan untuk mengambil cuti.

“jadi ngomong gak? kalo nggak, gue mau pulang.” tambahnya lagi dengan wajah yang terlihat kesal.

soonyoung menjadi tambah tidak berani. “ya .. yaudah kalo gitu pulang aja, ji. gapapa kok.” ujar soonyoung seraya memaksakan senyumnya.

tidak percaya. sungguh. jihoon sangat tidak percaya kalau lelaki di hadapannya sangatlah pengecut. “lo serius, ngomong gitu?” tanyanya yang masih tidak percaya.

hening menyelimuti mereka, sampai akhirnya soonyoung memberanikan diri menatap jihoon. “nggak, sini dulu gue mau ngomong.” balasnya.

padahal, jihoon sudah sangat bersiap untuk pergi dari sana. handphone serta dompet yang berada di meja sudah berniat untuk ia bawa kembali. “yaudah, ngomong.” jawabnya sembari mengalihkan pandangannya.

“tapi gue mau minta satu hal.”

jihoon mengernyit. “apa?”

“bisa, lo liat gue dulu sebentar? kangen.”

semburat rona merah mendominasi warna pipi jihoon sekarang, ia menjadi gugup. “ngomong aja sih, kenapa harus liat-liatan.” balas lelaki itu yang masih mengalihkan pandangannya.

soonyoung memajukan tubuhnya—walaupun dibatasi oleh meja—lalu menyentuh dagu mantan kekasihnya itu. “liat gue dulu, sebentaar aja.” pintanya.

tidak ada yang bisa dilakukan oleh jihoon, selain mengedipkan matanya berkali-kali dengan wajah terkejutnya—seperti orang bodoh. “... hah?” soonyoung terkekeh, gemes banget pikirnya.

“ish, soonyoung! kenapa ketawa?!” rajuknya dengan kesal.

jihoon malu, kesal, dan senang bercampur menjadi satu. rasanya ia ingin menenggelamkan dirinya di antartika sana, karena sungguh pipinya terasa sangat panas sekarang. entah, mungkin ia demam.

“jadi ngomong gak sih?” lagi, jihoon bertanya dengan nada kesalnya.

lawan bicaranya masih tertawa, masih merasa gemas dengan mantan kekasihnya itu. “jadi haha, marah-marah mulu sih?” balasnya sembari terkekeh.

dengan tampilan yang berantakan—menurut jihoon—bagaimana bisa, lelaki satu itu masih saja terlihat sangat mempesona? senyumnya masih saja membuat jantung jihoon berdetak lebih kencang dari biasanya. sentuhan yang ia berikan masih membuat hatinya bergejolak. lagi, bagaimana bisa?

argh, sial. ternyata gue sama sekali gabisa move on dari manusia satu ini. batin jihoon.

harusnya, ia masih marah kepada soonyoung dan tidak mudah untuk digoyahkan seperti ini. iya, harusnya. namun, entah mengapa hal yang berhubungan dengan soonyoung selalu membuatnya lemah. ia akan terus memaafkan soonyoung, apapun kesalahannya.

ia jadi ingat, pertama kali lelaki itu membuatnya menangis adalah saat barang kesukaannya tidak sengaja dirusak oleh soonyoung. walaupun pada akhirnya langsung digantikan dengan yang baru.

/prang/

“sayang … maaf ini punya kamu rusak sama aku … marah ya?”

bagaimana jihoon ingin marah, kalau kekasihnya bertanya dengan wajah memelas serta paniknya. “nggak, gapapa. udah kamu di depan aja, gausah dibenerin belingnya nanti luka.”

yang pada malam harinya, tentu saja jihoon menangis diam-diam di dalam studio.

jihoon adalah orang yang sangat sensitif, sebenarnya. ia mudah menangis, tetapi ia berhasil menyembunyikan fakta itu dari orang lain. hanya dirinya dan juga bunda yang mengetahui hal itu, karena ia tidak ingin dianggap lemah oleh orang-orang—termasuk kekasihnya sendiri.

“jihoon..?” soonyoung memanggil jihoon yang membuatnya terperanjat.

“hah? iya kenapa?”

soonyoung tersenyum kecil. “mikirin apa?” tanya lelaki itu penasaran.

“... nggak, gaada.” jawabnya ragu.

“yaudah, aku mau ngomong dulu. boleh minta perhatiannya sebentar?” lelaki itu tersenyum manis, manis sekali—bagi jihoon—yang langsung membuatnya mengangguk otomatis. “iya, boleh.”

“how's life?”

jihoon tersenyum kecil. “been good.”

soonyoung mengangguk, lalu mengambil nafas dalam-dalam.

“pertama, aku mau bilang makasih ke kamu. karena kamu udah dateng dan mau ketemu sama aku,-” soonyoung gugup, sangat gugup ketika membuka pembicaraan ini. kakinya masih saja tidak bisa diam, serta tangannya yang sedikit basah.

“-, mungkin, kalo kamu mutusin gamau dateng ke sini—ketemu aku—mungkin aku bakal bener-bener pergi dari kehidupan kamu.” bohong, lelaki itu tidak akan sanggup.

soonyoung mengadahkan kepalanya, takut menangis. “-, haha walaupun kayanya kamu tau, kalo aku gak bakal sanggup.” tambahnya.

jihoon, lelaki mungil yang berada di hadapan soonyoung saat ini masih diam. mendengarkan kata demi kata yang keluar dari orang yang pernah ia sayangi—mungkin masih—dengan seksama. ia tidak tega, melihat bagaimana soonyoung berusaha menahan air matanya. terlihat menyakitkan baginya.

“kedua, aku mau minta maaf. semua, dari awal sampai akhir—semua kesalahan yang udah nyakitin kamu.” kali ini, soonyoung tidak berani menatap kedua mata jihoon. ia merasa sangat bersalah. sangat.

lelaki sipit itu, baru saja mengetahui kalau sebenarnya—jihoon—banyak menangis karenanya. namun, jihoon berhasil menyembunyikan rapat-rapat rahasia itu.

“... dika?” tanya jihoon.

“jangan dimarahin! dia ngasih tau aku biar kita cepet baikan … katanya dia cape harus ngurusin kita berdua,” imbuh soonyoung dengan panik.

jihoon kembali mengangguk, menandakan untuk meminta lelaki itu melanjutkan. “ketiga, aku mau bilang makasih lagi—karena masih milih aku. kamu harus tau, kalo aku seneng banget pas dapet jawabannya.” ujar soonyoung dengan senyum kecilnya.

“dan terakhir,-”

“mau.”

“hah?”

soonyoung mengedipkan matanya berkali-kali. “aku mau.” ujar jihoon lagi.

jangan ditanya, sebenarnya lelaki sipit itu sangatlah senang sekarang. tapi di sisi lainnya, ia merasa khawatir—takut melakukan hal yang bisa menyakiti jihoon lagi kedepannya. “nggak, jihoon. aku ga minta kita buat balikan.” suaranya pelan, kepalanya menunduk dalam, sedangkan lawan bicaranya hanya bisa terdiam.

“maksud lo..?” memastikan, walaupun sebenarnya jihoon sudah mendengarnya dengan jelas.

soonyoung tersenyum, tapi bukanlah senyum yang jihoon sukai. yang ini, terlihat menyakitkan baginya. “kita … kayanya emang udah bener buat putus aja.” balasnya.

sia-sia. jihoon merasa sia-sia sudah merasa excited ketika ingin menemui lelaki itu, ia bahkan membeli baju baru. tidak hanya itu, jihoon bangun pagi-pagi sekali hanya untuk merapikan kamar dan studionya yang terlihat berantakan—untuk mereka pacaran nanti. tapi lihatlah, semua itu sia-sia.

lagi, bukan hanya itu. jihoon sudah memotong poninya yang terlihat memanjang—karena soonyoung tidak suka—sebelum ia berangkat. jihoon juga memakai parfum yang sangat soonyoung sukai dan sayangnya, semua sia-sia.

“haha”

“hahahaha.”

“oke.”

dengan itu, jihoon mengambil dompet serta handphone nya yang berada di meja. beranjak sesegera mungkin meninggalkan soonyoung yang masih meneriakkan namanya di belakang sana. sungguh, ia tidak peduli. mulai hari ini, jihoon sudah tidak peduli lagi.


entah sudah keberapa kali, dika menginjakkan kakinya ke studio jihoon. karena sebenarnya, laki-laki yang selalu dianggap rusuh oleh jihoon itu tidak pernah boleh masuk ke dalam. biasanya, ia hanya menunggu di luar karena ada soonyoung saat itu. tapi sekarang, sudah berbeda.

“gak mau makan lagi?” tanya dika ke manager jihoon yang terlihat sangat lelah.

roan—manager jihoon—hanya menggelengkan kepala, seraya menunjuk meja di ruang tengah.

di meja kecil sana, terdapat makanan cepat saji yang sama sekali belum tersentuh. bahkan, cola kesukaan jihoon masih utuh. bayangkan, jihoon tanpa cola. dika saja tidak pernah membayangkannya. “ji.” panggil dika.

tidak ada jawaban, lelaki mungil itu masih saja sibuk dengan lagu-lagu yang ia kerjakan. di sampingnya, terdapat tumpukan kertas yang ia yakini sebagai tugas kuliahnya. “jio.” lagi, dika masih berusaha mengambil perhatian sahabatnya itu.

jihoon yang terkenal dengan rapi, terlihat sangat berantakan sekarang. bahkan studio yang ia selalu jaga menjadi tetap bersih, terlihat seperti kapal pecah akibat perang. sampai kapan dika harus menghadapi dua sahabatnya itu?

“lo mau makan atau gue aduin ale?”

tangan yang bergerak di atas keyboard itu berhenti selama beberapa saat, lalu kembali menari di atasnya. “dia udah ga peduli. gausah repot-repot.” balas jihoon.

rasanya, dika ingin melempar handphonenya kepada jihoon yang memampangkan percakapannya dengan ale sedari tadi. jelas sekali, bahwa lelaki sipit itu masih sangat mengkhawatirkan jihoon. semenjak ia mengabari bahwa akan mengecek keadaan jihoon, soonyoung langsung menyerbunya dengan berbagai pertanyaan dan permintaan.

untuk kali ini, sepertinya dika tahu siapa yang salah. jelas sekali, jihoon. “lo tuh udah denger ale sampe selesai gak sih?” tanya dika.

“ngapain? udah jelas dia mau ngomong apa.”

selamat datang di narasi tatang badrul yang dimana kamu bisa menyaksikan ke-frustasian dika. kalau ia tahu, bahwa bersahabat dengan mereka berdua akan sangat seribet ini—dika tidak akan mau.

“kenapa ya, gue mau sahabatan sama lo berdua?”

“karena lo gapunya temen.” speechless. walaupun menang benar adanya.

dika menarik kursi yang berada di pojok ruangan, memutar kursi milik jihoon agar bisa menghadapnya. “ji, lo yakin habis ini gak nyesel lagi buat kedua kalinya?” jihoon hanya bisa menatap kosong, tidak berniat menjawab.

“lo tuh bucin tolol banget anjing, emosi gue.” terkutuklah kalian yang pacaran dan buat ribet sahabatnya padahal dia jomblo.

satu-dua tetes air mata kembali membasahi pipi milik jihoon. biasa, cengeng. “tuh kan ih anak aneeh malah nangis, gue nanyaa itu dijawaab. bukan malah lo tangisin gini aduhh.” omel dika yang sebenarnya panik. karena biasanya, saat jihoon menangis akan memicu penyakit asmanya. mau tidak mau, dika membawa jihoon ke dalam pelukannya. menepuk punggung lelaki mungil itu untuk menenangkannya.

“soonyoung tuh masih sayang sama lo.” ujar dika.

sebelum melanjutkan, dika melirik ke arah jihoon. “dia bilang gitu, karena belum siap buat balikan sekarang. katanya siih, dia mau perbaikin diri dulu.” tambahnya.

“ya tapi kenapa … apa gak bisa kita perbaikin dirinya tuh bareng-bareng aja gitu?” bibirnya terpaut, raut wajahnya semakin menyendu.

demi apapun, kalo mereka masih saling bucin begini kenapa pada milih misah dah anjiing gua heran banget capek ya Tuhan batin dika.

“dika … gue gamau liat soonyoung sama yang lain nantinya..” suara jihoon terdengar sangat sendu sekarang, membuat sahabatnya ingin ikut menangis. tidak tega.

sebenarnya, tidak perlu dijelaskan dika sudah sangat tahu bagaimana perasaan jihoon selama ini. lelaki mungil itu, sangat sangat mencintai sahabatnya. bertahun-tahun ia memerjuangkan soonyoung, hanya karena satu dua masalah tidak akan melenyapkan perasaannya begitu saja. “terus lo maunya gimana?” tanya dika.

jihoon mengadahkan wajahnya, dengan mata yang bengkak serta pipi yang basah. “lo mau gak, bantuin gue buat balikan sama si bego itu?” akhirnya, kata yang tidak pernah dika bayangkan keluar dari mulut jihoon hari ini. tanpa paksaan, dengan sendirinya.

dika tersenyum, tanpa menjawab lelaki itu mengeratkan dekapannya pada jihoon. sesekali memberikan kecupan serta tepukan di punggungnya—karena sebenarnya lelaki mungil itu masih belum selesai menangis. “iya, pasti.” dengan begitu air mata jihoon semakin deras, turun tanpa seizin dari empunya.


ruang latihan menari saat ini terlihat sangat mencengkam. dengan lampu yang tidak menyala dan hanya diiringi lagu kesukaannya dengan jihoon—soonyoung berada di sana. rambutnya basah karena keringat, bajunya terlihat sangat berantakan. lelaki satu itu beristirahat merebahkan tubuhnya dengan menaruh satu tangan di atas kepalanya.

“soonyoung?”

lelaki sipit itu terperanjat, duduk dengan tegak seraya menatap lelaki di hadapannya. “jihoon..? kok kamu ada di sini?” yang ditanya justru tidak menjawab, jihoon mempautkan bibirnya dengan mata yang berair.

“LO ANJIING KENAPA MILIH PUTUS AJA DARIPADA BALIKAN SAMA GUE?!”

“IYA TAU GUE GALAK, GUE ORANGNYA JUTEK, DAN NYEBELIN. TAPI LO TUH UDAH HIDUP BERTAHUN-TAHUN SAMA GUE HARUSNYA UDAH KEBIASA DONGGG SOONYOUNG ANJIING”

soonyoung hanya bisa diam, ketika jihoon menghampirinya sembari memukul keras dadanya. Terlampau keras, sepertinya. “hey, sakit sayang..” ujarnya seraya berusaha menangkis pukulan jihoon.

ah, muka jihoon masih kaya ikan pari.. Batin sooyoung.

dug

lagi, soonyoung dipukul kembali. namun, kali ini adalah kepalanya. “sayaang, sakiit. kamu belajar kasar dari siapa sih? mainnya sama dika terus kan di studio..” bukannya dikasihani, soonyoung justru kembali dipukuli. “lo tau gue ada di studio, ga pernah makan, ga keluar sama sekali, tapi ga nyamperin gue?” tanya jihoon.

soonyoung mengamit tangan jihoon, menggenggam serta mengelusnya perlahan. “Aku … gamau ganggu.” wajahnya terlihat sangat sedih sekarang, membuat jihoon tidak tega untuk memukulnya lagi—walau sebenarnya ia belum puas.

“aku mau duduk.”

“hm? Iya sini sampingku.”

“maunya dipangku.”

Tuhan, tolong ingatkan jihoon bahwa di luar ruang latihan ada sahabatnya—dika—yang masih menunggu dan mendengarnya di luar sana. “wah anjing, harusnya kaga usah gua iyain pas dia minta ditemenin..” itu dika, yang tidak sengaja mengintip ke dalam.

“JIHOON ANJING, GUE TINGGAL YAA!” itu masih dika.

“YAUDAH SANA, GUE MAU PACARAN.” dan ini jihoon.

sungguh, dika tidak membayangkan jawaban yang ia akan dapatkan adalah pengusiran. sepertinya tidak lagi-lagi ia membantu lelaki mungil itu. “YAUDAH YA JING GUE TINGGAAL!”

“BACOT MONYET SONO LO PERGI!”

soonyoung hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah mantan kekasihnya itu. “bilang makasih dulu, dong?” ujarnya.

Jihoon hanya tersenyum masam lalu menghela nafas. “DIKAA! MAKASIIH YAA!” lalu lelaki itu merebahkan tubuhnya di pangkuan soonyoung, mengalungkan tangannya di leher, dan memeluknya erat.

“yang kaya gini cuman dilakuin sama orang pacaran tau, ji.”

tidak ada jawaban, hanya ada cubitan di pinggang dan juga gigitan di lehernya. “heh, kamu vampir?” tanya soonyoung.

“abisnya lo ngeselin.”

hening menyelimuti ruangan itu, tidak ada yang memulai percakapan. hanya suara deru nafas masing-masing. “aku..” sebenarnya, niat jihoon menghampiri soonyoung karena ingin mengatakan semua yang ia simpan. tapi lidahnya terasa sangat kelu sekarang.

soonyoung hanya diam, menunggu dengan sabar sembari mengusap-usap punggung jihoon. “aku gamau..” kalimat yang ambigu sebenarnya, tapi soonyoung tahu apa maksud dari lelaki yang berada di pangkuannya ini.

Jangan lagi kau sesali keputusanku~ Ku tak ingin kau semakin 'kan terluka~

“lo mau matiin lagunya atau hp lo gue injek?”

gelak tawa soonyoung menggema di ruangan itu, bagaimana bisa tiba-tiba terputar lagu kerispatih di saat yang tepat seperti ini. “haha gamau wle.” lagi dan lagi, lelaki sipit itu terus menggoda jihoon. walaupun pada akhirnya ia mendapatkan jeweran di telinga.

“BERAKHIRLAH SUDAH SEMUA KISAH INI DAN JANGAN KAU TANGIII~SIII~LAAGIII~.” kali ini, soonyoung ikut menyanyikan lagu itu dengan dramatis. tangan kiri di dada, serta tangan kanannya yang berada di pipi jihoon. “SOONYOUNG ANJINGG IHH MATIIN GAAK!” itu jihoon.

wajah jihoon saat ini sangat lucu bagi soonyoung, dengan mata yang masih terlihat berair dan juga pipi yang merah. “cocok tau lagunya sama kita.” ujarnya sembari terkekeh.

mendengar itu pun, jihooon terdiam sembari merenggut. merasa tidak setuju dengan yang dikatakan lelaki itu barusan—ralat, sangat tidak setuju. “lo beneran mau putus?” tanya jihoon yang langsung membuat soonyoung menatapnya. “untuk sekarang, iya.” tandasnya.

“udah gak sayang sama gue?”

“masih, jihoon. masih dan akan selalu sayang sama jhoon.”

“terus kenapa ngelepasin? bukannya kalau sayang bakal dijaga teus-terusan? bukannya kalau sayang gak akan buat orang itu nangis? Bukan-” belum selesai jihoon melanjutkan pertanyaannya, soonyoung menangkup pipi milik jihoon.

soonyoung tersenyum seraya menatap kedua mata jihoon. “itu, jihoon. kalau sayang, aku gak akan buat kamu sedih. tapi pada nyatanya, aku selalu buat kamu sedih.” lirihnya.

“-, kalau lebih dari ini, aku bakal nyakitin kamu. aku gamau kamu nangis dan alasannya adalah karena aku, jihoon. we do love each other, but we also hurt each other.”

“-, emangnya kamu mau kalau kita kaya gini? Kalau aku engg-”

kali ini, jihoon yang memotong omongan soonyoung dengan mencuri kecupan di pipi lelaki itu. “selama itu kamu, aku gak peduli.” tandasnya.

benar adanya jika soonyoung membuatnya menangis. tapi, itu karena dirinya yang terlalu sensitif dan jihoon sangat membenci sifatnya yang satu itu. sangat benci. “aku nangisin kamu cuma tiga kali. jadi, kamu gak salah.” ujar jihoon.

“jihoon.. dengerin aku dulu ya?”

tidak ada hal yang lebih menakutkan—bagi jihoon—selain kehilangan orang yang sangat ia sayangi. baik orang tuanya maupun soonyoung, ia tidak ingin kehilangan mereka. tidak ingin ditinggal dan tidak akan pernah siap untuk ditinggal. “kamu masih kekeh minta putus, aku nangis sekarang.” ancamnya.

berhasil. soonyoung langsung menutup rapat-rapat mulutnya. lelaki satu itu sangat tidak suka melihat jihoon menangis, apalagi alasannya karena dirinya sendiri.

“aku gamau putus.. jadi udahan ya bahasnya?”

“kan kamu yang mutusin duluan..” hening. jihoon tidak menjawab. “lain kali, kalau ada masalah lagi yang diselesaiin masalahnya, ya? hubungan kita kan gak salah apa-apa, okay?” ujar soonyoung seraya membenarkan poni milik jihoon. “kamu potong poni?” jihoon kembali merenggut, merasa kesal mengingat alasannya memotong poni. “haha kenapa bibirnya maju gitu?” tanya soonyoung meledek.

jihoon yang masih berada di pangkuan lelaki itu pun langsung menyembunyikan wajahnya di ceruk leher soonyoung. “aku motong pas kamu minta ketemu … aku kira kamu bakal suka, ternyata malah minta putus..” lirihnya.

soonyoung termangu. “... cantik.” pujinya.

satu pukulan di dada didapatkan oleh soonyoung, jihoon malu rupanya. “apaan sih … sampis” ujarnya.

“jihoon.”

“hm?”

“maaf ya? udah buat kamu nangis.”

jihoon berdeham pelan, lalu mengangguk. “hm, maaf juga udah childish dan mutusin kamu..”

“habis ini jangan putus lagi, oke?”

“hm baweel, aku ngantuk mau bobo.”

soonyoung terkekeh, lalu menepuk pelan punggung jihoon. “yaudah tidur dulu, nanti aku bangunin.”

sebelum lelaki mungil itu benar-benar terbang ke alam mimpi, ia mendongak dan mencuri ciuman dari kekasihnya. “love you.”

soonyoung memanglah sangat bahagia saat ini, tapi tidak bisa menghapus sepenuhnya hal-hal yang ia khawatirkan. ia masih takut, akan kembali menyakiti jihoon lagi. akan kembali membuat lelaki mungil itu menangis karenanya.

namun, satu hal yang kali ini ia tanamkan adalah tidak akan lagi membuat orang yang ia sayang menangis. tidak ada janji, karena ia akan melakukannya sepenuh hati.

“aku sayang banget sama kamu, ji. makasih udah mau maafin aku.”

jihoon yang masih belum tertidur sepenuhnya hanya bisa tersenyum kecil, menyembunyikan wajahnya lebih dalam ke ceruk leher sooonyoung. kalau saja dika melihat ini, sudah dipastikan bahwa lelaki satu itu akan meledeknya habis-habisan.

tak lama, terdengar sebuah lagu nina bobo yang diputar. sudah dipastikan kalau pelakunya adalah soonyoung. “.. ganti lagu atau aku gigit lagi leher kamu?” ancam jihoon setengah sadar.

soonyoung terkekeh. “kok masih bangun? tidur lagi aja.”

“aaa soonyoungg.. ganti lagunyaa” rajuk jihoon.

mau tidak mau, lelaki sipit itu mengalah sembari mengganti dengan lagu lainnya. “iyaa maaf yaa, tidur lagi sini aku pukpuk.” imbuh soonyoung.

sore itu, soonyoung harus merasakan keram pada kakinya karena berjam-jam memangku kekasih mungilnya. tetapi, melihat wajah tertidur jihoon adalah hal yang paling ia sukai. jadi bukanlah masalah besar baginya, selama ia bisa melihat wajah jihoon walaupun kakinya tidak bisa bergerak.

mereka kembali ke kostan jihoon saat jam menunjukkan pukul delapan malam. tidak banyak yang dilakukan selain bermanja dan saling memberikan afeksi semalaman penuh.

tw // child abuse

suasana ruang tamu saat ini begitu hening, baik jihoon maupun dirta tidak ada yang berani memulai percakapan. dirta—yang lebih muda—memasang wajah kesal bercampur sedih. atau lebih tepatnya kecewa.

bagaimana tidak? semua orang pun akan kecewa jika ternyata orang yang sangat kamu sayangi—membohongimu. walau dirta tahu, bahwa abangnya melakukan itu karena merupakan hal yang terbaik untuk mereka berdua. tetapi tetap saja bukan, ia berhak untuk sedikit marah dan kecewa kepada abangnya satu itu.

“abang minta maaf.”

itu jihoon. lelaki mungil satu itu memberanikan dirinya untuk meminta maaf, karena ia sangat tahu bahwa hal tersebut tidak sepatutnya untuk disembunyikan. terlebih lagi, dirta sudah bukanlah anak kecil. ia mempunyai hak untuk mengetahui hal-hal tersebut, ia sudah cukup besar untuk menerima fakta menyakitkan itu.

jihoon menundukkan kepalanya, berusaha menahan tangis yang sedari tadi minta dikeluarkan. “abang cuma … gamau kamu tau hal kaya gitu.” lanjutnya.

dirta, masih menatap lurus ke arah abangnya—jihoon. sebenarnya, sebelum jihoon datang dirta sudah mengetahui semua hal yang disembunyikan oleh abangnya itu. ia tahu, bahwa pada nyatanya kehadiran dirta di dunia ini tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya. bahwa pada nyatanya, ia dibuang oleh mereka.

alasan dirta tinggal bersama abangnya dan tidak berada di panti adalah karena abangnya yang baik hati ini. di umurnya yang masih sepuluh tahun, jihoon memutuskan hubungan keluarganya dan membesarkan dirta seorang diri—dengan bantuan saudara-saudaranya.

dirta kira, yang jahat adalah abangnya. namun ternyata, lelaki itulah yang menyelamatkannya, membesarkannya, seorang diri di umur yang masih belum cukup. dirta memang merasa bersalah karena sudah salah memahami abangnya, tetapi ia masih ingin mendengar penjelasan langsung dari jihoon.

“kenapa abang gak kasih tau aku?” jihooon semakin menunduk, tidak berani menatap ke arah adiknya itu. “abang, aku udah bukan anak kecil lagi. abang bisa kasih tau aku semuanya, aku janji gak bakal nangis..” tambahnya.

dirta berjalan menghampiri jihoon, membuka lebar-lebar tangannya yang meminta jihoon untuk masuk ke dalam dekapannya. “a-abang gg-gak ma-u k-kam-kamu se-dih d-dengernya..” pertahanan jihoon hancur ketika adik kecil yang ia sayangi itu memeluknya dengan erat.

dirta tersenyum, lalu mengusap air mata jihoon. “gapapa abang.. kan dirta punya abang di sini yang bisa nemenin dirta..” ujarnya.

jihoon pun menceritakan semua kepada dirta, yang membuatnya kembali mengingat bagaimana orang tua mereka memperlakukan adiknya itu. bagaimana sakitnya, ketika melihat bunda terus menerus memukul dan mencubit adiknya itu ketika ia menangis. ia pikir, bunda adalah malaikat. namun, pikirannya saat itu langsung berubah seketika.

ayah dan bunda jihoon, terobsesi dengan memiiki keluarga yang sempurna. mereka hanya ingin memiiki dua anak, yang terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan. karena dengan itu, mereka tidak perlu bingung ketika harus memberikan perusahaannya nanti—jelas kepada anak laki-lakinya pertamanya.

namun, ekspektasi mereka yang terlalu besar membuat harapannya terlalu tinggi. kecewa langsung nampak pada wajah ayahnya ketika dirta lahir. jelas sekali, ayah tidak menginginkan dirta. setelah adiknya dibawa pulang ke rumah, bunda sama sekali tidak ingin menyentuh dirta dan menyewa pengasuh untuknya.

bahkan, jihoon tidak diizinkan walau hanya bermain atau sekadar untuk bertemu dengan dirta. pembicaraan mengenai adiknya, merupakan larangan besar bagi keluarga hunggalika. seakan-akan, tidak ada yang ingin mengakui keberadaan bayi mungil itu.

hingga dirta berumur dua tahun, anak itu masih saja tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tuanya. dengan berbekal nekat dan nyali yang kuat, jihoon membawa adiknya pergi—sejauh mungkin dari orang mereka. walaupun pada akhirnya, ia harus merelakan mimpi terbesarnya.

“halo?”

“jul, bisa samperin gue ga?”

“hah? lo kenapa kok suaranya gitu? abis nangis? lo kenapaaa anjritt”

“jul,”

“ya?”

“gue putus”

“...”


kini soonyoung dan juli sedang berada di taman, entah di daerah mana — soonyoung tidak tahu. motornya membawa dirinya untuk sampai ke sini dan terjadi begitu saja.

namun, satu hal yang ia ingat mengenai taman ini adalah tempat yang sering jihoon dan soonyoung kunjungi, dulu. biasanya mereka melakukan piknik di sana, walaupun hanya melihat matahari terbenam bersama.

“mata lo bengkak banget dah, serem.” ujar juli memecah keheningan sore itu.

tawa miris diiringi isak tangis keluar dari diri soonyoung. “gue bego banget, jul. gue orang terbego dan pacar terburuk yang pernah ada” ujarnya.

jujur, juli belum tahu sepenuhnya mengenai akar masalah mengapa mereka berdua putus. maklum, ia baru saja balik dari pertukaran pelajar yang dijalaninya.

“bisa ceritain ke gue ini masalahnya apa? gue bener-bener gatau lo sama jio kenapa..”

“jadi gini ... ”

juli terdiam, sedikit takjub dengan kebodohan dan kesalahan yang soonyoung lakukan terhadap jihoon. “ternyata lo lebih bego dari gue ya.” tandasnya.

soonyoung kembali menangis yang membuatnya berdecak pelan. “terus udah minta maaf?”

“udah, tapi ya gitu..”

juli mengernyit. “gitu gimana?”

soonyoung mengulum bibirnya, sedikit ragu untuk memberitahu juli. karena kemungkinan respon yang akan ia dapatkan adalah sebuah cacian dan cubitan. “a-anu .. itu loh, ya begitu ..”

“ona anu ona anu, anu lo sini gue potong mau?” ancamnya pada soonyoung

lelaki sipit itu mau tidak mau menceritakannya pada juli, detail tanpa terlewatkan sedikit pun.

“betul, lo bego.” ujar juli seraya mengangguk-anggukan kepalanya.

lagi dan lagi, soonyoung mempautkan bibirnya. sedikit merasa sia-sia menceritakan hal ini kepada juli, karena sedari tadi yang ia dapatkan hanyalah juli yang membenarkan perkataannya bahwa ia bodoh.

“gue tau lo friendly, orangnya gak enakan. tapi masa iya lo ngebantu hao buat jadi pacar boongannya selama sebulan dan lo ga bilang ke jihoon?”

juli menghela nafas. “lo tuh bego. hubungan itu butuh komunikasi, alenova.” tambahnya.

dulu, yang mengalami hal seperti ini adalah dirinya sendiri dan juga chan — pacarnya. mereka yang memiliki komunikasi nol persen membuat hubungan mereka hampir tidak bisa diselamatkan lagi.

karena bagaimanapun, komunikasi dan juga kepercayaan merupakan hal yang sangat penting di dalam sebuah hubungan. tanpa kedua itu, entah apa jadinya. sama seperti hubungan soonyoung dan jihoon saat ini.

sudah pula di ambang kehancuran, sama-sama keras kepala, tidak adanya kepercayaan serta komunikasi yang tepat pula. hampir tidak bisa diselamatkan, menurut juli.

“kalo gue bilang, udah seharusnya lo putus—marah ga?” tanya juli

tidak ada jawaban, soonyoung memilih untuk menyembunyikan wajahnya. kembali menangis, entah sampai kapan. “nangis lagi..” lirih juli.

“kalian itu ... terlalu saling menyakiti, sebenernya,-”

juli menolehkan wajahnya menghadap soonyoung. “-, kok bisa hubungan lo tahan selama enam tahun ini?” tanyanya

kalau jawaban yang ia dapatkan berupa terlalu sayang, mungkin itu adalah jawaban yang paling bodoh dan memuakkan. mereka sama-sama tahu, setiap kali bertengkar tidak akan ada yang mau mengalah. keduanya keras kepala.

akhirnya? entah juli yang akan ditelfon tiba-tiba seperti ini atau dika yang menggantikannya selama ia tidak ada.

hubungan soonyoung dan jihoon terlihat sangatlah manis bagi orang-orang yang tidak mengenal mereka, tapi bagi juli dan dika hal itu tidaklah sama. mereka tahu semuanya.

namun, hal yang tidak pernah juli bayangkan adalah jihoon yang pertama kali mengucapkan kata perpisahan. orang yang tidak kenal lelah akan soonyoung, orang yang rela mempertaruhkan semuanya untuk mendapatkan soonyoung—itu adalah jihoon.

walaupun kalau ia boleh jujur, soonyoung pantas mendapatkan itu. ditambah pula, hubungan mereka sudah tidak lagi sehat. terlalu banyak hal yang bisa membuat mereka bertengkar tiap harinya.

“kalian berdua itu, harus punya waktu sendiri-sendiri dulu. sembuhin diri dari hal toxic yang bakal buat hubungan lo jadi ga sehat,-”

juli mengusap pundak soonyoung. “-, gausah lama-lama. seminggu mungkin cukup.” ujarnya

masih tidak ada jawaban, tetapi soonyoung sudah tidak menangis. lelaki itu hanya menatap jauh ke depan, entah melihat apa, entah memikirkan apa. namun, dari matanya sudah terlihat bahwa ia tidak baik-baik saja.

sebenarnya, tidak pernah ada di benak soonyoung kalau suatu saat nanti ia akan tidak lagi di sisi jihoon. kalau suatu saat nanti, mereka berdua akan saling menyakiti. tidak pernah.

satu yang pasti selalu di benaknya adalah, mereka akan tetap bersama. karena hampir seluruh hidupnya telah ia habiskan bersama si kecil satu itu. tidak satu tahun pun ia lewatkan tapi tidak ada jihoon di dalamnya.

soonyoung tidak ingin membayangkan, kalau nantinya jihoon akan lebih bahagia tanpa dirinya. tidak ingin, tidak mampu. memikirkannya saja membuatnya ingin menangis lagi.

“nangis aja gapapaa, nanti habis ini lo harus lebih kuat. gue yakin kok, kalian bakal baik-baik aja. cuman butuh waktu buat sendiri-sendiri. lo percaya kan sama gue?” tanya juli yang langsung diberi respon berupa anggukan.

juli tersenyum, setidaknya soonyoung sudah mau menjawab pertanyaannya. tidak lagi seperti orang linglung yang kehilangan separuh jiwanya. walaupun mungkin memang benar begitu adanya.

biasanya di kondisi seperti ini, juli akan menganggap soonyoung terlalu lebay dan alay. lihatlah laki-laki satu ini, mereka hanya putus tapi seperti soonyoung sudah cerai sepuluh kali dan ditinggal mati. tapi sepertinya untuk kali ini, ia akan berperan sebagai sahabat yang baik.

“lo sayang kan, sama jihoon?”

“sayang.”

“kalau gitu, kasih dia waktu. dengan lo ngasih dia waktu, siapa tau dia berubah pikiran? semua orang tau kok, jihoon suka buat keputusan seenaknya kalo lagi marah.”

soonyoung diam-diam membenarkan, memang benar adanya kalau jihoon selalu seperti itu. “tapi lo juga harus intropeksi diri. kalian sama-sama salah.” ujar juli menambahkan.

soonyoung tersenyum masam, lalu bangkit dari duduknya. “gue pulang ya, jul. makasih udah nemenin dan dengerin gue.” ujar soonyoung yang langsung diberi anggukan oleh juli.

motor milik soonyoung pun pergi dari taman itu, meninggalkan juli yang masih terpaku ketika sadar ia ditinggalkan. “ANJINGG ALENOVA BANGSAAT LO YANG BAWA GUE KE SINI TAPI GUENYA DITINGGALL!”

panik? tentu saja. ia sama sekali tidak tahu taman inu berada di mana, mau tidak mau ia harus meminta chan untuk menjemputnya.

sungguh menyebalkan, padahal ia berniat untuk memberi kejutan untuk chan—kalau ia sudah pulang. tapi sialnya soonyoung menghancurkan rencananya. alenova, terkutuklah kamu bangsat.

“sayang? halo chan, bisa jemput aku ga? hehe.”

“dik, gue mau keluar bentar lo bisa jagain dulu ga?”

dika yang sedang sibuk bermain game online pun menengadahkan wajahnya, keningnya mengkerut. “lu mau kemana?” tanyanya.

soonyoung diam, enggan menjawab. “yaudah pergi aja, lagian gue ga bisa nahan lu lama-lama buat seseorang yang udah bukan punya lu lagi kan?” ujar dika melanjutkan permainan gawainya.

walaupun ragu, soonyoung mengangguk dan berdehem. lalu mengambil jaket miliknya untuk ditaruh di samping jihoon, mengelus surai hitam lelaki yang tertidur pulas itu.

dika menyaksikannya tentu saja. ia tidak habis pikir dengan pasangan ini, sangat tidak habis pikir. kalau memang mereka bisa bersama dan masih saling menyayangi, kenapa memutuskan untuk saling menyakiti?

“um, kira-kira kalau nanti gue balik lagi…kehadiran gue diterima ga ya?” tanya soonyoung lirih

“sekarang gue tanya. lu tau ga kesalahan lu itu apa? alasan apa yang buat jio segitu marahnya sama lu, tau ga?”

soonyoung mengangguk. “gue bohong. ga jujur ​​tentang masalah hao.” jawabnya

dika mengangkat sebelah alisnya, merasa tidak puas dengan jawaban yang ia terima. “terus? cuman itu kesalahan lu?” heran.

“banyak. tapi intinya itu, ya kan?” tanyanya memastikan.

dika menghela nafas beratnya. “jio itu marah karena pertama, lu ga jujur. kedua, itu udah sebulan lebih dan lu sering ketemu dia tapi jio gatau. ketiga, masalah peluk. walaupun gue yakin yang terakhir bukan masalah utama sih”

karena tidak mendapati balasan dari soonyoung, dika bangkit dari duduknya lalu menepuk pundak sahabatnya itu. “jangan sampe nyesel, kaya gue.” tandasnya.

“yaudah sana pergi, biar gue yang jagain.” usirnya sembari mengayunkan tangan.

sebelum benar-benar pergi, soonyoung berbalik. “dik, tapi gue beneran sayang sama jio. gaada di pikiran gue sama sekali buat main-main doang sama dia,-”

soonyoung menunduk, meremat tangannya yang terdapat cincin pasangan mereka.

“-, enam tahun, dik. gue ga segila itu buat main-main sama anak orang selama enam tahun. gue bener-bener sayang sama jio, sampe gue mikir bakal gila kalo gaada dia,-”

“-, jujur, alay kalo gue bilang dia segalanya buat gue. tapi gapapa, gue rela dibilang alay karena emang pada nyatanya — jio itu segalanya buat gue,-”

soonyoung berjalan menuju jio, mengecup pipi dan juga kening mantan kekasihnya itu. “-, sekarang gue gabisa jagain dia. dia bakal marah kalo nemuin gue ada di sini, haha.” ujarnya sembari tertawa miris.

kulit putih susu dan juga wajah seperti ikan pari ini adalah yang akan ia rindukan nantinya. hal-hal sederhana yang jihoon punya dan jihoon berikan padanya hanya akan menjadi kenangan menyakitkan bagi soonyoung.

soonyoung mengambil jaket yang ia taruh di sebelah jihoon, menyelimutinya dengan itu “kamu inget? ini jaket yang kamu kasih ke aku pas aku ulang tahun. aku minta motif macan, tapi kamu kasih hitam polos haha.”

dika masih memperhatikan, berusaha untuk tidak hanyut dalam suasana menyedihkan di kamar itu.

“-, pas aku bilang ga suka, kamu langsung sedih dan mau buang jaket ini..” soonyoung mengusap pelan jaketnya, menerawang ke masa lalu.

“-, kalo dipikir-pikir, i don't deserve you, ji. aku ga bersyukur punya pacar kaya kamu, bener-bener ga bersyukur.”

seberapa besar ia berusaha, air mata yang soonyoung tahan akhirnya keluar juga. “k-kamu ng-ngelakuin s-semua bu-buat ak-ku, ta-tapi a-aku g-ga pernah b-bersyukur ak-kan hal i-tu...” pecah sudah, hal yang ia pertahankan sedari tadi .

“a-aku harap n-nanti ka-kamu b-bisa da-dapetin yang l-lebih baik d-dari aku..” berantakan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan soonyoung saat ini.

lelaki bermata sipit itu sedari tadi hanya bisa menggenggam jari manis milik jihoon — yang terdapat cincin mereka di sana — sembari sesekali mengusap air matanya.

menyedihkan, menurut dika. bahkan ia sangat kesal sebenarnya. mereka berdua — soonyoung dan jihoon — diberi kesempatan dan tidak akan ada perbedaan yang memisahkan mereka seperti hubungan dika.

tetapi mengapa mereka tidak menggunakan hal tersebut dengan baik? andai saja jisoo tidak akan segera menikah dan perbedaan itu tidak menghalangi mereka, mungkin dika sudah menghampiri lelaki itu saat ini. memintanya untuk kembali bersama.

setelah dipikir kembali, yang menyedihkan adalah dirinya. paling menyedihkan di antara mereka bertiga saat ini.

sudah akan ditinggal menikah, melerai hubungan sahabatnya, dan juga posisinya yang masih saja sendiri sampai saat ini. sungguh menyedihkan.

maka dari itu, kita sudahi membahas dika dan kembali dengan pasangan di depan matanya. walaupun masih sama, yang satu menangis seraya menggenggam tangan jio dan satunya lagi yang masih tertidur pulas. entah benar tidur atau ia hanya pura-pura tertidur.

soonyoung mengangkat tangannya dan membawa menuju bongkahan pipi jihoon. “pantes ya ... kamu raguin aku, ji.”

“-, aku bener-bener ga pantes jadi pacar kamu, jadi ... aku terima keputusan kamu buat kita udahan aja.” tandas soonyoung yang membuat dika terkejut

jujur, dika sangat-sangat-sangat ingin memukul wajah soonyoung dengan wajan. “heh apaan sih lo?! gua nyuruh lo ke sini buat minta maaf dan balikan sama dia, bukan nge-iya in minta putus. bego dasar!” omel dika

soonyoung menunduk, memainkan cincin di jari manis jihoon. “dia ga bahagia sama gue, dik. terus gue harus apa kalo dia emang pengennya putus dari gue..” ujarnya lirih

lagi dan lagi, dika menghela nafas beratnya. ia frustasi. “aslinya gua gaboleh ngebocorin ini tapi,-” ujarnya menggantung

“-, pertama, dia minta putus itu cuman ngegertak lo. tapi dia sama sekali ga nyangka, kalo lo bakal diem aja dan ga ngehubungin dia lagi habis itu. kedua, dia ikut demo & mc bukan cuman buat sertifikat atau apapun itu namanya,-”

“terus apa kalo bukan sertifikat..?” tanya soonyoung

kesal. dika sangat sangat kesal. “-, ITU KARENA DIA MAU NGE-DISTRACT PIKIRANNYA DARI LO ALENOVA SOONYOUNG HARSA ANJINGGG KAGA PEKA BANGET GUA CAP—”

soonyoung terkejut bukan main yang langsung membuatnya berdiri untuk menutup mulut dika, takut-takut jihoon bangun dan mengusirnya. “emang monyet lo ya.” bisiknya kepada dika

frustasi. sangat frustasi. dika mengusap-usap dadanya. “astaghfirullah..” soonyoung menoleh, mendorong kepala dika berkali-kali seraya mengucap, 'tolol.'

“hehe kebiasa denger jisoo ngomong gitu dulu soalnya, maaf deh ya.” ujar dika

soonyoung mengernyit. “lo tuh putus enam tahun lalu. gila aja masih kebawa sampe sekarang?”

“ya namanya gamon mau berapa tahun udah kejadian juga berasanya baru kemarin.” ujar dika masam.

soonyoung bangkit, kembali ke posisinya dan menggenggam tangan jihoon lagi. “tangannya bisa copot bego lu pegangin terus.” ujar dika

“kata gua mending lu balik.”

“lah? lu aja sono pergi katanya tadi mau pergi, kaga jadi-jadi et dah.”

tidak peduli, soonyoung kembali menghadap jihoon. mengusap surainya, memperhatikan bulu mata jihoon yang terlihat sangat lentik. ia sangat menyukai ketika bisa melihat wajah damai milik jihoon, sangatlah indah.

“dik, kayanya gue gaakan hidup tenang kalo jihoon ga maafin gue..”

“-, hampir seluruh hidup gue, itu dijalanin sama jihoon. selalu ada jihoon. gue gamau mikirin apa jadinya kalo gaada dia di sana nanti, gamau.”

“-, it will be the worst thing that ever happened in my life dan gue gaakan maafin diri sendiri.”

soonyoung tidak menyadari, pada bahwasanya sedari tadi jihoon mendengarkan. dengan wajah sepenuhnya menghadap tembok, mampu menyembunyikan ekspresinya ketika mendengar itu semua dari mulut soonyoung.

meskipun sebenarnya, ia sudah tertangkap basah oleh dika tadi. namun, sepertinya lelaki itu menjaga baik rahasianya. terbukti dari ia yang sama sekali memberi tahu soonyoung, walau berupa kode sinyal.

“sayang, maafin soonyoung udah buat kamu kepikiran sampe sakit gini, ya? habis ini, kamu gaakan nangis-nangis sembunyi lagi karena aku. kamu gaakan kesusahan lagi untuk bikin lagu karena aku recokin,-”

“-, habis ini, kamu akan jadi lebih bahagia karena beban kamu sedikit terangkat — dengan gaadanya aku di hidup kamu.” soonyoung tersenyum samar, hampir tidak terlihat.

“-, aku sayang kamu dan akan selalu seperti itu. tapi jihoon, kalau kita lanjutin semua ini hubungan kita akan tambah ga sehat lagi. aku selalu buat kamu nangis diem-diem, tanpa aku tau sama sekali,-”

“-, jihoon, aku minta maaf karena nyerah akan kamu. aku minta maaf karena setuju akan keputusan kamu, aku minta maaf. tapi kamu harus tau, aku ngelakuin ini untuk kamu.” soonyoung mengecup tangan jihoon, mengusapnya dengan penuh kasih sayang.

“-, kamu harus inget, walaupun aku jauh — walaupun aku udah gaada di samping kamu. hati aku, perasaan aku akan tetap buat kamu.” lagi, soonyoung mengusap surai hitam jihoon yang sudah memanjang.

terakhir, ia tinggalkan sebuah kecupan di kening jihoon. “i love you and i always do.”

dengan begitu, soonyoung pergi meninggalkan jihoon. pamit kepada dika, lalu menutup pelan pintu kostan jihoon. berdiri membelakangi pintunya, lalu jatuh terduduk lemas. menangis keras di sana.

sedangkan di dalam sana, jihoon — membuka matanya yang langsung sesegera mungkin ia tutupi. air matanya mengalir deras, namun ia usahakan untuk tidak mengeluarkan suara.

dika terdiam, berjalan mendekati jihoon lalu merengkuhnya ke dalam pelukan. memberi tepukan-tepukan dan usapan yang sekiranya bisa menenangkan jihoon. tidak bisa dipungkiri, ini adalah masa terburuk bagi mereka — soonyoung dan jihoon.

“gamau keluar aja? samperin ale?” tanya dika sembari membenarkan poni jihoon yang terlihat berantakan.

jihoon mengangguk, lalu menggelengkan kepalanya bersamaan. lagi, dika frustasi. “maunya gimana, ji?” tanyanya

“g-gausah.. s-soonyoung ju-juga l-lagi na-nangis di d-depan..” ujarnya lirih yang membuat dika hanya tersenyum miris.

sungguh, rasanya ia ingin menarik soonyoung ke dalam lagi dan mengunci mereka berdua di dalam. masalah mereka ini, tidak akan bisa selesai jika tidak adanya komunikasi yang tepat. tidak akan.

lantas dika harus apa, jika dia hanyalah orang luar di dalam hubungan sahabatnya ini? ia tidak berhak ikut campur lebih dalam dan ia mengetahui hal itu. perlu mereka berdua yang melakukannya, hanya berdua.

“lo yakin ga akan nyesel?”

“lo yakin, rela liat orang yang lo kejar bertahun-tahun jatuh ke tangan orang lain? lo yakin bakal ngelepas dia kaya gini aja? kalo lo ga ngejar dia sekarang, gaada yang tau kapan lo bisa lakuin itu lagi.” tandas dika

namun, jihoon adalah jihoon. si kecil dengan ego yang sangat besar, keras kepalanya yang melebihi apa pun. itu adalah jihoon. “gapapa..”

kali ini dika melepaskan frustasinya dengan menggigit pipi jihoon, yang meninggalkan bekas gigitan dan juga ruam merah di sana. “gak elo, gak ale, sama aja gaada yang bisa dibela. gue kesel, jadi lo jangan marah pipinya gue gigit.”

mau tidak mau, jihoon hanya bisa mempoutkan bibirnya seraya menahan tangis. bagaimanapun juga, gigi milik dika bukanlah gigi bayi. tentu saja rasanya sangatlah sakit bukan main.

“sakit..” lirihnya seraya mengusap pipinya yang digigit.

dari dalam, terlihat bayangan soonyoung yang sedikit mengintip ke kamarnya dan membuat jihoon sesegera mungkin menjatuhkan tubuhnya ke kasur. lalu perlahan, suara langkah kaki yang menjauhi pintu kostan. menandakan bahwa laki-laki itu sudah sepenuhnya pergi, meninggalkan jihoon.

satu-dua tetes air mata kembali menjatuhi pipi jihoon. “kan, kelamaan sih lo. orangnya udah pergi tuh.” ujar dika yang justru membuat tangisan jihoon menjadi lebih kencang.

“DIKAA, GUE HARUS APAA HUHU HUEE SOONYOUNGG”

dika yang masih menemani jihoon sampai menuju malam itu, menerima segala macam ocehan dan teriakan yang jihoon lontarkan padanya. ia sebal, sebenarnya. tapi tak apa, itu jihoon — lain cerita kalau soonyoung.