sooniehamchi

⚠️ // depression , cheating , trauma , toxic parents

sebenarnya, soonyoung tidak pernah berpikiran untuk kuliah di seoul. tidak sekali pun. apalagi, meninggalkan kekasihnya di kota ini sendiri.

namun, semenjak ia tahu bahwa ayahnya berada di seoul, soonyoung memutuskan untuk kuliah di sana. entah, rasanya ia ingin sekali bertemu dengan sosok ayah yang tidak pernah ia temui lagi sejak umur 4 tahun.

saat ia kecil, soonyoung selalu bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. mengapa ia bisa terlahir jika tidak punya ayah? bagaimana bisa, hanya ia yang tidak mempunyai ayah.

sampai pada saat ia tidak sengaja mendengar percakapan bunda dengan tante harin. mereka membicarakan tentang ayahnya yang menghubungi bunda kembali, tetapi tidak pernah bunda balas dan soonyoung tidak tahu apa alasannya.

di sinilah ia berada, rumah dua tingkat dengan taman besar. persis seperti impian bunda. namun, soonyoung ingat sekali bahwa bunda juga ingin ada ayunan di sana, sebagai tempat soonyoung bermain. tetapi di rumah ini kosong, hanya ada tanaman dan bunga yang mengisi.

ting tong

dengan tekad yang sekecil telapak tangan jihoon, soonyoung memberanikan diri untuk memencet bel.

tidak ada jawaban.

padahal di garasinya terdapat dua buah mobil yang terparkir dengan rapih, tidak lupa dengan motor ninja hitam di sebelahnya. lagi, soonyoung memencet bel untuk kedua kalinya sembari memasang senyum lebarnya.

cklek

sosok lelaki dengan rambut pirang menyembulkan kepalanya di pintu, keningnya mengkerut ketika melihat soonyoung, “nyari siapa, ya?”

senyuman soonyoung luntur, ikut mengkerutkan kening. walau ia tidak pernah betemu, soonyoung yakin bahwa sosok lelaki di hadapannya ini bukanlah ayahnya. karena dilihat dari segimanapun, ia terlihat masih muda, sekitar umur 30 an ke atas.

“kwon.. in su?” tanya soonyoung dengan ragu. namun, terlihat sekali bahwa lelaki di hadapannya ini terkejut dan sesegera mungkin menutup pintu untuk menghampirinya.

lelaki berambut pirang itu memiringkan kepalanya, meneliti wajah soonyoung dan lagi-lagi mengkerutkan keningnya. “kamu.. kwon soonyoung?”

soonyoung mengangguk pelan, pada detik itu pula lelaki berambut pirang membuka mulutnya lebar-lebar dan menaruh tangannya di depan mulut, “KAMU KWON SOONYOUNG? OH MY GOD ... aku harus telfon insu.. insu insu mana kontaknya”

sungguh, soonyoung sangat bingung sekarang. tetapi ia tdiak bisa melakukan apapun selain berdiam diri dan memperhatikan lelaki di depannya yang berusaha menelfon ayah soonyoung.

“OOH, KAMU. MASUK DULU aduh gimana malah biarin dia di luar MASUK SOONYOUNG eh kok teriak maaf maaf, ayo masuk.. masuk..” dan lelaki sipit itu bertambah bingung sekarang.

namun, ia tetap mengikuti lelaki di hadapannya ini dan duduk di ruang tamu—yang sungguh, benar-benar interior yang bunda sukai. alias, melihat rumah ini dari sisi luar dan dalam seperti melihat bunda. sama persis.

“kamu mau minum apa, soonyoung? teh mau? eh atau sirup? cola? beer? wine? cocktail? eh umur kamu berapa sih? udah boleh minum belum?” benar-benar. lelaki di hadapannya ini sama sekali tidak bisa berhenti berbicara, sangat meledak-ledak, dan lagi-lagi persis seperti bunda. bunda yang dulu.

soonyoung menggelengkan kepala, “ngga usah, mas(?)” jawabnya. lelaki itu menggelengkan kepala juga, “no no, aku harus sambut kamu dengan baik.. jadi, mau minum apa?” ujarnya dengan tersenyum.

“kalo gitu, air putih aja?” dengan cepat, lelaki itu mengangguk dan memberinya jempol, lalu pergi menuju dapur meninggalkan soonyoung sendiri.

kali ini, ia bisa melihat seluruh isi rumah ayahnya tanpa terganggu. pintu yang berwarna putih, sofa beludru, dan juga karpet besar di bawahnya ini sangatlah ciri khas bunda. entah mengapa, soonyoung selalu terpikir akan bunda ketika melihat rumah ini. seleranya sama.

hingga, matanya menangkap sebuah bingkai foto yang menampakkan dua laki-laki berpegangan tangan. tidak romantis, hanya berpegangan. yang satu, terlihat seperti lelaki yang menyambutnya dengan heboh sedari tadi.

dan yang satu lagi, tersenyum dengan lebar sekali sembari menolehkan kepala,

itu ayahnya.

soonyoung lemas. sangat. belum lagi, ketika ia membalik bingkai tersebut yang terdapat tulisan tangan,

“i'll love you forever, haneul.” — love, insu.

jatuhlah air mata soonyoung. tangannya bergetar dengan hebat, penglihatannya buram karena penuh dengan air mata yang menutupi.

jadi, ini adalah alasan mengapa bunda sangat membenci hubungannya dengan jihoon. ini, adalah alasan mengapa bunda sangat menentangnya.

bagaimana tidak? anak kandungnya sendiri mempunyai hubungan seperti suaminya, yang meninggalkannya hanya untuk bersama lelaki. membuatnya berjuang habis-habisan untuk bertahan.

bunda melanjutkan perusahaan ayahnya yang ditinggalkan oleh insu dengan membawa anak setiap ia ke kantor. heeyoung—bunda soonyoung—jatuh dan bangkit sendiri, tanpa adanya sosok penopang untuk membantu.

namun kini, anaknya justru membawa laki-laki dan meminta restu darinya. sungguh miris.

“aduh soonyoung aku gabisa kalo kasih kamu air putih doang.. nih, aku buatin sirup rasa sirsak, suka ngg-”

“sayang! soonyoung ke sini? serius kamu? mana anaknya ASTAGA AKHIRNYAA..”

prang

bingkai yang soonyoung pegang sedari tadi pun jatuh menyentuh lantai. kaca yang menjadi pelindung foto tersebut telah hancur berkeping-keping, tidak menyisakan apapun.

insu, ayah soonyoung melihat ke arah soonyoung dan berjalan mendekat, “soonyoung.. nak, ayah bisa jelasin semuanya.”

dengan air mata yang terus menerus menjatuhi pipinya, soonyoung menaikkan tangannya. mengisyaratkan untuk menjauh dan berhenti berbicara. lelaki sipit itu jatuh terduduk, meremas kencang surai hitamnya.

“ARGGHHHHHHH!!”

“KENAPA, AYAH?! KENAPA AYAH NGELAKUIN INI KE BUNDA?”

“BUNDA KURANG APA BUAT AYAH? BUNDA KURANG KASIH APA UNTUK AYAH? KENAPA AYAH TEGA NINGGALIN BUNDA DAN NGEBIARININ BUNDA NGERAWAT AKU SENDIRIAN?”

“DI SAAT AKU SAKIT, TERIAK TERIAK MINTA AYAH UNTUK DATENG AYAH KEMANAA?!!”

“ayah.. ayah gaada.”

insu berjongkok di hadapan soonyoung, berusaha memegang pundak anaknya walau ditepis berkali-kali. “ayah.. ayah salah. ayah tau, nak.. ayah minta maaf.” lirihnya.

soonyoung terkekeh, mendesis sinis dan mengangkat wajahnya. menatap haneul yang tengah menatapnya khawatir sedari tadi, “ayah ... selingkuh sama dia?” tanyanya dengan menunjuk haneul.

dengan perlahan, insu menurunkan tangan soonyoung, “soonyoung, dengerin ayah dulu mau, ya?”

tentu saja, lelaki sipit itu menggelengkan kepalanya dengan cepat, “dia ngegoda ayah kaya gimana sampe bisa dapetin ayah?”

plak

cetakan tangan membentuk pipi soonyoung yang basah. sakit, perih, dan panas menyampur menjadi satu.

suasana ruang tamu pagi hari itu, terasa sangat mencekam. terlalu dingin. terlalu suram.

soonyoung mendengus, memegangi pipinya yang terasa sangat panas sekarang, “kamu boleh hina saya, caci maki saya, bahkan kamu boleh pukul saya sekarang juga, soonyoung. tapi jangan pernah hina orang yang saya cintai, kamu keterlaluan.”

dengan itu, insu meninggalkan soonyoung dan pergi menuju kamarnya. tersisa haneul dan soonyoung yang bertatapan. soonyoung dengan amarahnya dan haneul dengan air mata di pipinya.


srak srak srak

kelopak mata itu terbuka, menampakan mata yang sembab. suara tadi membangunkan soonyoung dari tidurnya, yang bahkan ia sendiri tidak sadar kalau tertidur.

terdapat sebuah perban yang melilit jari telunjuk soonyoung, dan ia juga tidak tersadar apa yang melukainya.

srak srak srak

suara itu kembali mengalihkan perhatiannya, di luar sana, terdapat haneul yang sedang menyapu halaman. bajunya sudah diganti, tangannya juga terdapat perban yang sama seperti dirinya.

tuk

“udah bangun kamu?” itu ayahnya. lelaki berkepala 4 itu tengah membaca koran, di hadapannya terdapat kopi hitam yang baru saja ia minum tadi, “udah mau denger penjelasan ayah?”

soonyoung membuang muka, kembali memperhatikan haneul yang kali ini sedang menyirami tanamannya.

“namanya kang haneul. ayah ketemu sama dia pas masih kuliah, jauh sebelum ketemu ibu kamu.” walau sebenarnya soonyoung tidak ingin tahu, ia tetap mendengarkannya.

insu yang melihatnya pun tersenyum, “anaknya baik, nak. pembawaannya selalu riang dan ceria, ayah selalu senang kalau dengar dia bercerita.” kali ini, ia menaruh korannya di meja dan kembali menyesap kopi hitamnya. “sekali dia membuka mulutnya, gaakan pernah habis yang bakal dia omongin. cerewet. berisik.”

“kami mutusin untuk berpacaran saat ayah semester tiga dan dia di semester dua.”

“awalnya, ayah cuman berpikir kalau 'yaa mungkin hubungan sesaat aja'. tapi nggak, nak. perasaan ayah kepada haneul tidak pernah habis.”

sebelum melanjutkan, insu mengambil nafas panjang, “hingga pada tahun ketiga kami berpacaran, nenekmu, tahu tentang hubungan kami. padahal ayah berusaha sekali untuk menutup rapat hubungan ini, nak.” ujarnya sembari tersenyum masam.

“mau tahu apa yang dilakukan oleh nenekmu? beliau mendatangi keluarga haneul dan memintanya untuk memutuskan hubungan dengan ayah. yang parahnya, seperti di drama drama itu.” soonyoung menoleh, mengkerutkan kening. “bawa sekoper uang terus bilang, 'jauhi anak saya!' begitu?”

insu tertawa, mengangguk-anggukkan kepalanya. “iya, begitu.” ia pun bangkit dan duduk di samping soonyoung, ikut memperhatikan haneul yang masih sibuk mengurusi tanamannya. “habis itu dijodohin.” tambahnya.

soonyoung tercengang. alurnya sama persis akan apa yang ia alami. “tapi kenapa bunda mirip banget sama haneul?” tidak peduli dengan gengsi, ia merasa tertarik sekarang dengan ceritanya.

“karena nenekmu mencari sosok yang benar-benar mirip dengan haneul. niatnya, biar ayah cepat melupakan haneul dan hidup bahagia dengan bundamu.” jawab insu.

“padahal, dengan kemiripan mereka berdua yang sangat persis membuat ayah jadi stres setiap harinya.” insu menoleh ke arah soonyoung, lalu kembali melihat haneul.

senyuman kecil tercetak di wajahnya setiap melihat haneul. “ayah harus neguk pil tiap saatnya biar ga terbayang sama haneul.” insu menghela nafas, “itu hari-hari terburuk yang pernah ayah alamin.” tambahnya.

soonyoung berpangku dagu, “emang habis disamperin nenek, mas-eh, kak haneul beneran menghilang?” mendengar itu, insu tertawa. “iya, beneran menghilang tanpa jejak sama sekali.”

lelaki sipit itu meringis, membayangkan jihoon pergi dari dirinya saja sudah sakit. apalagi ketika jihoon hilang tanpa jejak sama sekali. soonyoung tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sakit itu.

“terus, kok ayah bisa balik sama kak haneul? katanya menghilang tanpa jejak?” tanya nya dengan penasaran, “ya kamu kira, 6 tahun itu bukan waktu yang lama buat ayah cari haneul?” balas insu

“oh, iya juga..”

“sebenernya, ayah..” insu menoleh, menaikkan alisnya. “hm, kenapa?” terlihat sekali bahwa lelaki itu merasa excited untuk mendengarnya bercerita.

soonyoung menggeleng pelan, “ngga deh, gajadi.” ucap nya yang membuat insu tersenyum masam kemudian.

cklek

pintu terbuka menampakkan haneul dengan baju yang setengah basah, ia terlihat terkejut ketika melihat soonyoung yang sedang menatapnya juga. “halo .. kak.” sapa soonyoung.

haneul—lelaki berambut pirang itu mengedipkan matanya berulang kali. merasa tidak percaya akan apa yang baru saja ia dengar. “kamu ... manggil aku kak..?” tanya nya yang dibalas anggukan oleh soonyoung.

“um, kak haneul.”

matanya beralih melihat insu, terlihat berkaca-kaca sekaligus berbinar. “mas..” lirihnya, kemudian berjalan mendekat untuk memeluk insu.

“aduh, jangan pacaran di depan aku dong.” protes soonyoung yang dibalas kekehan keduanya, soonyoung pun ikut tersenyum melihat itu.

kini, soonyoung tahu mengapa alasan bunda dan ayahnya berpisah. bukan karena salah bunda atau ayahnya, hanya saja mereka memang tidak ditakdirkan untuk bersama.

memang, soonyoung tahu bahwa ayahnya salah dengan meninggalkan bunda begitu saja. tapi yang namanya perasaan tidak pernah bisa diatur sesuka hati, apalagi perasaan orang lain.

ayah mencintai orang lain, yang dimana itu bukan bunda. ayah tidak menyelingkuhi bunda, hanya mencari cinta lamanya yang hilang. pergi tanpa jejak dan hebatnya ayah bisa menemukan kembali.

ini juga bukan salah bunda yang memperlakukan soonyoung dengan tegas. karena pada dasarnya sakit hati lah yang membentuk bunda seperti itu. soonyoung paham sekarang.

atau mungkin ini salah nenek, tapi jika saja nenek tidak menjodohkan ayah dengan bunda, maka soonyoung tidak akan ada di dunia ini, bukan?

entah, soonyoung terlalu bingung untuk menyalahkan siapa atas semua yang sudah terjadi ini. atau mungkin, memang tidak ada yang harus disalahkan. karena dari awal, semua sudah berjalan sesuai porosnya.

“yaudah ayah, kak, aku pamit pulang, ya? udah sore, aku ada kuliah pagi besok..” ujar soonyoung sembari mengambil kunci mobil di atas meja. “hati-hati ya, nak. kapan-kapan main lagi ke sini, tapi jangan bilang-bilang bunda.” sahut insu sembari menaruh telunjuknya di depan bibir.

dengan tertawa, soonyoung pamit dan meninggalkan rumah itu. bebannya terasa terangkat sekarang.

terakhir. sisa satu permasalahan yang belum ia temui jalan keluarnya. hubungannya dengan jihoon, harus ia apakan setelah ini?

nyam nyam nyam

“... kenapa sih lo liatin gue gitu banget?” jihoon yang tengah menggigiti sayap ayam itu pun berhenti. menatap sinis ke arah mingyu yang sedari tadi menatapnya tanpa henti, berpangku dagu dengan memasang senyum bodoh andalannya.

lelaki jangkung itu terkekeh, mengusak rambut jihoon dan beranjak dari duduknya, “ish, dasar orang aneh!”

mingyu—atau yang kerap dipanggil mogu—sedang berdiri di samping pantry, menuang dua gelas cola sembari sesekali melirik ke arah jihoon. beneran aneh ni orang batin jihoon.

sepertinya kesabaran lelaki mungil itu telah habis, karena di detik mingyu mendudukkan dirinya di samping jihoon—jihoon menodong mingyu dengan tulang ayam.

“mata lo nih, kalo ga berhenti liatin gue masang muka mesum gitu GUE COLOK MAKE TULANG AYAM, MAU?” namanya juga mingyu, bukannya takut, lelaki itu justru tertawa terbahak-bahak.

pada akhirnya, jihoon menyerah. karena mau seberapa besar usahanya untuk terlihat galak di depan mingyu, lelaki itu akan terus menganggapnya seperti panda yang marah. buntalan yang menggemaskan. “ish! nyebelin banget sih lo?!” gerutu jihoon.

lagi-lagi, mingyu tertawa kencang. namun kali ini, sembari memegangi perutnya yang dimana semakin ia tertawa, akan semakin sakit. “cil, HAHAHAHAHAHAHAHA ADUH..” menyebalkan sekali, bukan?

hilang sudah nafsu makan jihoon, dengan kesal lelaki mungil itu melempar tulang ayam—yang ia todong pada mingyu tadi—ke dalam kerdusnya lagi. setelah itu, ia beranjak dari duduknya dan pindah ke kursi yang lain. intinya, menjauhkan diri dari sosok yang bernama kim mingyu.

bertahun-tahun berteman dengan mingyu, ada kalanya membuat ia bersyukur dan ada kalanya ia merasa sangat ingin membuat lelaki jangkung itu menjadi kerdil dalam satu detik. yang tentu saja, jihoon lebih sering merasakan ingin membuat mingyu menjadi kerdil. tiap saatnya.

mereka bertemu pertama kali saat masih duduk di bangku sekolah dasar. bukan pertemuan yang menyenangkan bagi jihoon, tetapi kenangan yang akan selalu mingyu ingat dan ia simpan baik-baik.

saat itu, mereka diminta untuk baris di depan kelas, mingyu menjadi ketua. hal yang ia lakukan sebelum masuk kelas adalah menghitung anak murid dan menyiapkan barisan. namun, setiap kali ia menghitung selalu kurang satu dalam hitungannya.

padahal, jika wali kelasnya yang menghitung, jumlahnya sudah sesuai dengan anak per-kelasnya. tentu saja, mingyu akan tetap menjadi mingyu, lelaki jangkung itu terus menghitung sampai berpuluh-puluh kali, hingga semua orang mengeluh bosan dan lelah.

pada hitungan ke-32, akhirnya ia menghitung dengan benar. karena kali ini, ia menghitung satu kepala yang hilang sedari tadi, “nah, anak-anak, sekarang masuk ya!” titah wali kelasnya—bu lala—sembari memasang senyum terpaksanya.

satu persatu anak pun masuk ke dalam kelas, tapi karena mingyu adalah ketua, lelaki itu akan masuk di barisan paling belakang. saat itulah mereka bertemu. jihoon—lelaki mungil yang sedaritadi memakai jaket, topi, dan juga masker.

“hei, kamu kan pendek, kenapa ada di belakang? terus kenapa make jaket dan masker terus menerus? apa kamu tidak gerah? aku saja gerah sekali karena upacara tadi, nih liat keringatku sudah membasahi seluruh baju!” benar-benar bukan kesan pertama yang bagus. karena setelah mingyu berbicara, jihoon jatuh pingsan.

hari itu sebenarnya jihoon sedang demam. namun, karena hari pertama sekolah, ia memaksakan untuk masuk dan mengikuti upacara. tetapi siapa sangka, kalau ia akan berdiri kurang lebih 15 menit lamanya hanya untuk masuk kelas?

sudah begitu, ia dicecar pertanyaan oleh ketua kelasnya yang sangat menyebalkan itu. bagaimana ia tidak tumbang, bukan?

namun, sejak saat itu jihoon selalu ditempatkan di barisan paling depan. kalau mingyu melihat jihoon berada di belakang, lelaki itu akan menarik jihoon dan menempatkannya di barisan paling depan. sungguh merepotkan.

sejak saat itu pula, sosok yang bernama kim mingyu ini akan mengikuti jihoon kemana pun ia pergi. orang-orang bahkan menyebut mereka seperti tokoh kartun yang berasal dari malaysia itu

“sumpah kim mingyu, awas aja! gue aduin ke mama lo abis ini.” gerutu jihoon sembari mengotak-atik komputernya.

kali ini, mingyu berhenti tertawa, “aduin aja, paling chat lo ga dibales sama mama. doi kan orang sibuk banget.” balasnya.

jihoon terdiam, merasa salah berbicara. “makanya kan, mama baru tau kalo orang yang gue suka itu elo. padahal yaa, kita udah deket dari sd.” tambahnya.

“eh tapi, mama juga gatau sih temen sd gue siapa.” jihoon lupa, kalau topik 'ibu' adalah topik yang cukup sakral untuk dibahas, terutama mama mingyu.

dengan perlahan, jihoon membalikkan kursinya dan menatap mingyu, “i'm sorry... gue ga maksud bahas mama lo..” lirihnya.

mingyu tersenyum, menghampiri jihoon yang tengah menunduk dan memainkan jari jemarinya. “gapapa, cil. kenapa lo selalu minta maaf tiap bahas mama gue, sih?” ujarnya sembari terkekeh. lelaki jangkung itu tengah berjongkok di hadapan jihoon sekarang.

“gue ... itu ... ngerasa gaenak aja” lagi-lagi mingyu tersenyum, bangkit dari posisinya dan mengusak pelan rambut jihoon, “udah ah, gapapa. santai aja cil, sama gue mah.”

mingyu pun berjalan menjauh, kembali duduk di sofa dan menyamankan diri di sana, “nah, sekarang gue mau denger lagu kelima buatan lo.” ujarnya

karena kunjung tak mendapat jawaban, mingyu berdeham. “halo, atas nama lee jihoon boleh saya minta perhatiannya?” yang dipanggil pun terkekeh, “gajelas lo.”

mingyu bersedekap dada, “ayo, cepat! gimana sih kan lagu kamu bakal diserahin ke pusat jam 3.” ucapnya sembari sok melihat jam tangan, “apaan, yang denger lagu gue dari dulu cuman lo doang.”

“bagus, keep it that way, oke?” dan lagu kelima yang berhasil jihoon selesaikan memenuhi ruangan studio itu. dari nada, melodi, dan suara jihoon yang merdu selalu membuat mingyu ingin memberikan sepuluh ibu jari untuknya.

mingyu merasa bangga menjadi satu-satunya yang mendengar lagu buatan jihoon, bahkan menemaninya dari awal. untung saja, dulu laptop ayahnya mempunyai aplikasi garage band yang bisa membuat lagu.

dan juga untung saja, kerja kelompok pada saat itu menggunakan laptop ayah mingyu. kalau tidak, mungkin jihoon tidak akan menemukan bakatnya.

kalau ditanya bagaimana bisa jihoon membuat lagu dari aplikasi itu—padahal jihoon sama sekali tidak mengerti bagaimana cara kerjanya—jawabannya hanya Tuhan dan jihoon yang tahu. intinya, semua ini karena keingintahuan jihoon yang sangat besar.

mingyu hanya berharap, semoga suatu saat jihoon berani untuk menunjukkan karyanya pada dunia. walau sebenarnya mingyu hanya ingin dia yang tahu, tapi terasa tidak adil jika karya sebagus ini, tidak mendapat apresiasi yang sepantasnya.

lelaki mungil itu menghela nafas, sesekali memeluk dirinya untuk menghangatkan diri. duduk di bangku kayu rooftop rumahnya pada pukul 11 malam ini, cukup membuatnya kedinginan.

namun, ketika ia mendengar langkah kaki menaiki tangga, jihoon dengan segera mungkin menghampiri seseorang itu. senyuman manis tercetak di wajahnya, tangan lelaki itu terbuka lebar, meminta jihoon masuk ke dalam pelukannya.


brr dinginn, kamu mau aku buatin hot choco gak, kak?” tanya jihoon.

soonyoung—yang masih melepas sepatunya di depan pintu—menggelengkan kepalanya, “nggak usah, sayang.”

mendengar jawaban itu, jihoon—yang berada di dapur—menyembulkan kepalanya untuk mengintip, “ish, kamu gak kedinginan apa gimana? kulit badak, ya?” gerutu lelaki mungil itu.

soonyoung terkekeh, lalu menghampiri jihoon dan memeluknya dari belakang. sesekali, lelaki itu mengecup pipi gembil kesukaan soonyoung. setelah itu, ia mengistirahatkan kepalanya di pundak kekasihnya itu.

“kamu kenapa?” tangan kiri jihoon yang bebas, mengusap pucuk kepala soonyoung, “istirahat di sofa situ lho, kak. aku buatin teh aja, ya?” dan lagi, soonyoung menggelengkan kepalanya. justru sekarang lelaki itu mengeratkan dekapannya pada jihoon.

lelaki mungil itu bingung, sangat bingung. sebenarnya ia merasa curiga kalau ada yang berbeda dengan kekasihnya. namun, melihatnya seperti ini membuat kecurigaannya sedikit menguap, walau tidak sepenuhnya hilang.

jihoon mengusap pelan tangan soonyoung yang berada di perutnya, “ini dilepas dulu bisa gak, kak? aku susah gerak jadinya..” tanya jihoon, yang tentu saja dibalas gelengan kepala.

lagi-lagi, jihoon menghela nafas berat. dengan terpaksa, ia berjalan menuju rak penyimpanan dengan soonyoung di belakang yang terus menempelinya. sedikit berat, tapi bagaimana lagi bukan? kekasihnya satu ini, agak keras kepala.

lelaki sipit itu terkekeh, “aku kaya tuyul yang nempelin kamu..” ucapan soonyoung membuat jihoon berhenti sejenak, mengambil sendok, lalu memukulnya pelan dengan itu, “aww! sakit, sayang..” jihoon tidak peduli, kembali melanjutkan kegiatannya yang terhenti tadi.


“kak, tadi kamu bilang mau kesini karena mau mastiin sesuatu, kan? mastiin apa?”

soonyoung yang sedang menyesap teh buatan jihoon pun tersentak. melirik lelaki mungil itu, yang juga sedang melirik ke arahnya. dengan perlahan, lelaki sipit itu pun menaruh kembali cangkirnya.

sunyi. soonyoung masih tidak menjawab pertanyaan jihoon—yang membuat pikiran lelaki mungil itu tambah berkecamuk, “kamu gak mau jawab aku, kak?”

bukannya menjawab, soonyoung justru menundukkan kepalanya, menggigit bibir, dan menghela nafas berat. terlihat sekali bahwa ia tengah menghindari pertanyaan tersebut.

jihoon pun sedari tadi memang diam, tetapi ia memperhatikan semua gerak-gerik kekasihnya, dan menandakan bahwa lelaki itu sedang gelisah sekarang.

menyerah. soonyoung tidak kunjung memberinya jawaban. maka dari itu, jihoon bangkit dari duduknya dan berjalan ke kamar. meninggalkan soonyoung yang menatap punggungnya menjauh.


lelaki mungil itu sudah berada di kasur, tidur dengan pulas dengan selimut yang berantakan.

soonyoung memperhatikan dari jauh—di ambang pintu—melihat kekasihnya menggaruk perut yang membuat kaus digunakan oleh lelaki itu tersingkap ke atas, memperlihatkan perut mungilnya yang menyembul.

senyuman simpul tercetak di wajah soonyoung, ia berjalan mendekat, dan duduk di tepi kasur. membenarkan kaus jihoon, lalu menarik selimut untuk menutupi lelaki mungil itu sampai dada.

kekasihnya terlihat sangat lucu sekarang, dengan badan mungil yang ditutupi oleh selimut itu, membuat jihoon seperti lemper. sangat lucu.

“masih ada, jihoon. masih ada.” lirihnya sembari membenarkan poni yang menutupi mata jihoon.

soonyoung menelusuri bentuk wajah jihoon. wajah yang mungil itu membuat telapak tangan soonyoung terlihat besar ketika sedang menangkup wajah jihoon, mata nya yang sipit namun cantik itu selalu membuat soonyoung jatuh hati, kerutan halus yang membentuk ketika lelaki itu tersenyum juga selalu memikat soonyoung.

tahi lalat yang berada di bawah matanya, juga selalu membuat fokus soonyoung teralihkan. bahkan, ketika lelaki itu tersenyum—walau terlihat seperti ikan pari—bagi soonyoung adalah pikatan tersendiri. intinya, tidaklah mungkin perasaan soonyoung hilang begitu saja.

ia percaya, pada bahwasanya ia hanyalah bosan sementara dengan hubungan mereka yang hampir menginjak umur dua. karena sebelumnya, soonyoung tidak pernah menjalin hubungan sampai bertahun-tahun lamanya. paling lama hanya setengah tahun, itu pun bukan dia yang memutuskan hubungannya.

maka dari itu, soonyoung memutuskan untuk ke rumah jihoon. selain memastikan perasaannya masih ada, ia juga ingin menghabiskan sisa waktu di kota ini hanya berdua dengan kekasihnya. tanpa omelan bunda, hanya berdua.

“berhenti.”

“APAA??? KENAPA KAMU NGOMONG APA??”

“... berhenti.”

“AKU GA DENGERRR”

aji, lelaki yang duduk di belakang uyon pun memukul kepalanya pelan. “gue tau lo denger. mau berhenti atau gue loncat dari sini?” ujar aji.

seketika, uyon meminggirkan motornya dan memberhentikannya di sana. lelaki itu menghela nafas, lalu menahan tangan aji yang berada di pinggangnya. “jangan pergi, aku mohon.” lirih uyon

berkali-kali aji berusaha menarik tangannya, namun apa daya lelaki di hadapannya ini memiliki tenaga yang lebih besar darinya. “sakit.” ujar aji dengan memasang wajah menahan tangis. dengan itu, uyon langsung melepaskannya dan mengalihkan pandangan. “... maaf, aku ga maksud nyakitin kamu.”

setelah itu, aji turun dari motor dan berjalan menjauhi uyon. mendudukan diri di bangku trotoar lalu mengalihkan pandangan dari lelaki yang menatapnya sedari tadi.

entah mengapa, aji merasa sangat sial hari ini. diawali dengan dikelilingi orang berpasangan dan bau rokok, lalu terjebak berjam-jam di pantai tidak bisa pulang, dan sekarang bertemu orang yang sangat ia hindari namun ia rindukan. aji tidak pernah menyangka bahwa keputusannya untuk memisahkan diri membuatnya seperti ini, harusnya tadi ia tetap bersama yang lainnya bukan?

“ah.. aw, shh..” suara ringisan mengalihkan perhatian aji, ternyata suara tersebut berasal dari uyon. lelaki itu tengah memegangi kaki kanannya yang terluka, entah terkena apa yang jelas itu cukup parah.

dua menit, tiga menit, dan di menit kelima aji tidak tahan. ia berdiri mendekati lelaki sipit itu, menangkis tangannya yang hampir saja memegang luka tersebut. “gila lo ya?! kalo jadi infeksi ini gimana?! main pegang-pegang aja, bodoh banget sih jadi orang? lagian kok bisa lo jatoh gini, ceroboh dasar!” omelan aji ternyata tidak membuatnya takut, justru lelaki itu tersenyum dengan sangat lebar sekarang.

“apa?!” uyon menunduk, kembali meniupi lukanya. “kamu lucu kalo marah, suka liatnya.” ujar lelaki sipit itu dengan senyum kecil di wajahnya. aji berdeham, menampar pipinya berkali-kali agar terlihat merah karena tamparannya—bukan karena merona.

uyon meraih tangan aji, berusaha menghentikan lelaki mungil itu untuk menampar diri sendiri. “kenapa ditamparin gitu sih? ga sakit?” kini tangannya naik ke bongkahan pipinya, mengelus pelan bagian yang terlihat memerah. “apaan sih?! ngapain pegang-pegang?” serunya dengan wajah marah

kini aji bergerak menjauhi lelaki itu, kembali duduk di bangku tadi dan memegangi telepon genggamnya. uyon yang melihat itu hanya bisa tersenyum kecut, ia tahu alasan aji berubah adalah karena dirinya. karena itulah ia akan memahami perubahan sikap yang ia dapatkan saat ini.

walaupun terasa sedikit sulit, uyon turun dari motornya dengan berjalan pincang. aji yang melihat itu memutuskan mengalihkan pandangannya, berusaha terlihat sibuk dengan telepon genggamnya yang mati total. padahal dalam hati terdalamnya, ia ingin sekali membantu.

“aku udah kabarin milan sama anak kembang, mereka tau kamu udah sama aku.” ujar uyon sembari mendudukkan dirinya di bangku yang sama.

lelaki sipit itu merasa sangat canggung sekali sekarang, sedari tadi hanya memainkan jarinya. “jatoh dimana?” tanya aji membuka pembicaraan. walaupun tidak terlihat, namun uyon sangat senang ketika lelaki mungil itu menanyakan lukanya. sangat.

“oh, ini? haha tadi ketabrak tukang bakso.” dalam sekian detik aji langsung berdiri dengan heboh, menatapnya khawatir.

“TERUS TUKANG BAKSONYA GIMANA? lagian juga ya KENAPA LO BISA NABRAK? lo ga mikir apa gimana nanti dia hidupin anak dan istrinya KALO GEROBAKNYA LO TABRAK?!” serunya dengan sangat lantang.

speechless. uyon tidak tahu harus bereaksi seperti apa sekarang, walaupun memang benar apa yang dikatakan aji. tetapi bagaimana bisa ia terlebih dulu mementingkan abang tukang bakso dibandingkan dirinya? tidak adil, batinnya. ingin rasanya uyon bertanya, 'kamu ga khawatir sama aku?' tapi pasti lelaki itu akan tambah murka dengannya.

aji menaikan satu alisnya, menagih jawaban atas pertanyaannya. “uyon! gimana abang baksonya?!” tanya nya lagi.

kalau diingat kembali, sebenarnya ia yang ditabrak bukan ia yang menabrak tukang baksonya. tapi, pasti lelaki itu tidak akan percaya. karena mana mungkin tukang bakso menabrakan diri ke motor orang bukan? “ah … anu gapapa. iya, abangnya gapapa.” jawab uyon dengan raut bingungnya.

tadi itu, uyon sedang menunggu lampu merah dan secara tiba-tiba ada gerobak bakso berjalan ke arahnya. entah kemana perginya si penjual, namun gerobak tersebut berjalan sendiri dan membuatnya kehilangan keseimbangan.

lantas, kaki kanannya tertimpa motor yang bobot badannya saja sudah sangat berat dan kakinya menahan itu selama kurang lebih 10 menit lamanya karena orang-orang pun juga mementingkan gerobak bakso yang jatuh dan tumpah kemana-mana. uyon merasa sangat sial.

sudah begitu, ketika ia kembali menjalankan motornya ada masalah lagi yang muncul. kali ini, ia hampir saja menabrak kucing. tentu saja uyon langsung mengambil rem secara mendadak dan lagi-lagi kehilangan keseimbangan—benar, ia sedikit mental jauh ke depan.

namun, di sini lah ia. masih hidup dan sehat walaupun penampilannya terlihat sangat berantakan serta badan yang terasa remuk dimana-mana. “lo tuh denger gak sih gue ngomong apa?” ujar aji dengan wajah yang masih terlihat marah—dan juga ia harus mendengar ocehan serta omelan dari lelaki yang sedari tadi ia cari.

uyon tersenyum, lalu meraih tangan aji dan menariknya untuk duduk. “iya, maaf udah ceroboh dan buat orang jadi rugi. tadi udah aku ganti gerobaknya terus juga abangnya gapapa.” untuk masalah ganti rugi, uyon benar melakukannya. karena ia merasa tidak enak hati kalau ia meninggalkannya begitu saja, sedangkan masa depan keluarga mereka berada di gerobak bakso itu.

aji menganggukan kepalanya paham, lalu bersedekap dada. “nah! bagus itu. jadi lelaki harus bertanggung jawab, yon. jangan kurang ajar ninggalin gitu aja, gaboleh itu!” dan uyon hanya mengiyakan perkataan aji.

“aku mau ngomongin perihal kemarin, udah boleh?” pertanyaan uyon barusan membuat aji terpaku sesaat. raut wajahnya mengatakan bahwa ia sama sekali tidak berniat membahas hal itu, tetapi kemudian ia berdeham mengizinkan.

“aku minta ma—” belum selesai lelaki itu menyelesaikan kalimatnya, aji sudah beranjak dari duduknya dengan mata terpaku pada gerobak siomay yang berjarak sepuluh langkah dari tempat mereka berdua. “bentar, gue laper banget.” ujar aji dengan mengangkat tangan kirinya ke udara.

“ABAANG! MASIH ADA GAK SIOMAY NYAA?” tanya lelaki mungil itu seraya melangkahkan kaki mendekat ke gerobak itu. kini, uyon hanya bisa menghela nafas untuk kesekian kalinya. semoga stock kesabarannya masih tersisa banyak. “MASIH BANYAAK, MAS!” jawab tukang siomay.

aji menganggukan kepalanya dan mengacungkan ibu jari ke udara, “TUNGGU BENTAR YA!” lalu lelaki mungil itu memberi tepukan pelan pada pundak uyon dan berjalan menjauhinya. “lo diem sini dulu.” tandasnya.

lima menit kemudian, aji kembali dengan menenteng dua kantong plastik berisi siomay. di tangan kanannya adalah milik aji dan di tangan kirinya belum ia sentuh sama sekali. “nih, makan.” aji menyodorkan siomay tersebut kepada uyon yang langsung diterima dengan senang hati.

“lanjut.”

baru saja ia ingin menyuap, namun ia urungkan. “... aku minta maaf, untuk semua—semua yang aku lakuin dan sekiranya nyakitin kamu, aku minta maaf.” siomay yang tadinya ia pegang, uyon pindahkan pada bangku sebelahnya dan memainkan jarinya. gugup.

aji berdeham. “hm, terus?” sebenarnya nada bicara aji terdengar santai dan biasa saja. namun, entah mengapa ia justru terintimidasi dengan itu. bahkan aji sedang memakan siomay dengan lahap.

uyon menunduk dalam, rasa takutnya menambah ketika aji memfokuskan pandangan kepadanya. “perihal jeje, aku dan dia udah benar-benar selesai. aku tau kalo udah gaada yang bisa dilanjutin lagi, tapi dulu aku belum berniat ngelakuinnya. sekali lagi, maaf.” lanjutnya.

“lo masih sayang?”

“sama siapa?”

“jeje.”

uyon tersenyum masam. “no. percuma juga perasaan yang aku kasih udah ga dia terima, untuk apa? lagian gak baik terlalu lama stuck di masa lalu.” sebenarnya aji merasa kasihan, nada yang ia gunakan saat membahas jeje selalu terdengar menyedihkan. selain menyakiti uyon, itu juga menyakiti dirinya.

“bagus deh.” ujar aji seraya beranjak dari duduknya dan membuang plastik bekas siomay yang ia makan tadi. “you have to move on, yon.”

lelaki bermata sipit itu mendongak dan menatap aji. “aku udah selesai sama jeje, iyon. bisa kita ulang dari awal?” mendengar itu, rasanya aji ingin tertawa terbahak-bahak. bahkan kalau bisa, ia akan tertawa dengan pengeras suara dan berdiri di tengah jalan.

bagaimana bisa lelaki sipit itu berpikir untuk kembali padanya, sedangkan baru saja ia memantapkan hati untuk move on? kalau boleh berbicara jujur, ia tidak akan mau. karena aji tahu, pada bahwasanya proses untuk move on membutuhkan waktu yang lama.

di dalam proses tersebut pula, akan ada masa dimana seseorang tersebut akan mengingat dan mengungkit tentang masa lalunya serta membandingkan antara masa lalunya dengan seseorang yang berada bersamanya.

aji tidak akan mau, jika suatu saat nanti akan keluar kalimat yang menyakitinya dari mulut uyon hanya karena lelaki itu belum sepenuhnya move on. setidaknya, tidak secepat ini.

sebenarnya, tidak menutup kemungkinan juga kalau lelaki di hadapannya saat ini hanyalah merasa bersalah karena masalah tempo hari. bisa saja ia berlaku seperti itu hanya karena ingin mendapat permintaan maaf bukan?

move on pun, tidak dengan menggunakan orang baru. kalau seperti itu bukankah namanya hanyalah pelampiasan sesaat? dan ketika sudah bosan akan dihempas dan dilupakan. untuk ini, aji juga belum siap. walau inti dari semuanya adalah aji tidak ingin tersakiti, terlebih dengan uyon

aji kembali mendudukkan diri di bangku. “what if i say, i cant and i dont want to?” pertanyaan yang mengandung beribu jarum di dalamnya, namun aji sampaikan dengan senyum manis. “gue pindah kosan, udah bilang sama bu ida and she's fine with that. walau uang gabisa dibalikin, gapapa.”

ibaratnya sudah jatuh tertiban tangga pula. kini uyon hanya bisa memasang wajah bodoh andalannya dengan mulut yang terbuka lebar, sangat tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

you lied.” ujar uyon yang membuat aji terkekeh. “im not. rencana dua minggu lagi sih, pindahnya. sekarang masih sibuk dan banyak kerjaan, susah ngaturnya.” jawabnya dengan tenang.

berkali-kali, uyon menggelengkan kepalanya dengan wajah tidak percaya. tangannya berusaha meraih aji, yang tentu saja lelaki mungil itu terus berusaha untuk menghindar.

“aji, kamu boleh hukum aku. tampar, pukul, tonjok, dari sekian banyaknya pilihan kenapa milih dengan ninggalin aku?” lirihnya, suaranya terdengar parau dengan air mata yang perlahan menghiasi pipinya.

uyon mengusap air matanya dengan kasar. “aku udah berhasil hadepin proses perpisahan untuk pertama kalinya, apa aku harus hadepin yang kedua dengan kamu?” dengan suara yang bergetar, uyon berhasil membuat aji terdiam dengan matanya yang terpejam rapat-rapat. ia menangis, juga.

“aku mohon, jangan kamu. dalam hidup aku, ada dua orang yang masuk ke dalam list perpisahan gak akan sanggup aku hadepin. selain ibu, ada kamu di sana.” tangan uyon bergetar di genggaman aji, terasa dingin.

lalu mereka diam. tidak ada yang mengeluarkan suara sama sekali. yang gaduh pada malam itu hanyalah angin, berlari kesana kemari dengan senang dan riang.

jogja pada malam itu pun, menjadi terasa lebih dingin dibanding biasanya. mungkin ini alasan mengapa tangan uyon dingin sejak tadi. “tangan lo dingin, ayo pindah.” ujar aji beranjak dari duduknya.

“yon? ayo?”

“kok lo tidur sih? si anjir lagi mellow malah tidur aneh banget orang-orang.”

aji terkekeh, lalu berjongkok di hadapan uyo yang tengah memejamkan matanya erat. untung saja di sampingnya ada tiang yang bisa menjadi sandaran—sehingga aji bisa memindahkan kepala lelaki itu supaya terasa nyaman.

“... yon kok badan lo panas? yon? hey! bangun, yon! uyon?!”

kalut. aji sangat bingung harus melakukan apa sekarang, tangannya bergetar ketika mengecek suhu tubuh uyon—panas. lelaki mungil itu mengedarkan pandangannya, mencari seseorang untuk membantu karena ia pun tidak bisa kalau membopong uyon seorang diri dengan tubuh kecilnya itu.

‘aduh anjir harusnya gue ga ikut sarannya milan …’ batinnya

kalau ada orang yang harus aji salahkan saat ini tentu saja orangnya adalah milan. orang yang menyarankan untuk memberi pelajaran ketika lelaki sipit ini kembali. namun, tidak pernah ia bayangkan akan menjadi seperti ini.

seharusnya, aji menaruh perhatian sedikit saat pertama kali ia melihat uyon dengan tubuh luka-luka. bukannya berusaha tidak peduli hanya karena gengsi yang menyelimutinya. aji menyesal.

lelaki mungil itu kembali duduk di bangku, memindahkan kepala uyon ke pangkuannya dan mengusap surai hitam miliknya. “jangan sakit.. jangan sakit, aku mohon. hang on, okay hm?” aji menggenggam tangan uyon dan mengecupnya berkali-kali.

di tangan kirinya, aji sedang berusaha untuk menghubungi milan dengan telepon genggam milik uyon—yang untung saja tidak dikunci—dan meminta lelaki itu untuk datang menjemput mereka. untung saja, kali ini semesta berpihak dengannya karena dalam dering ketiga milan mengangkat telfon dari aji.

“...”

“kenapa telfon? selamat lu kaga jatoh naik moge? syukur dah kirain jatoh. kalo jatoh niatnya mau gua yassin-in malem ini haha”

“... milan”

“...”

“halo? milan?”

“KAK JI? EH KAK LO GAPAPA KAN? KENAPA BELOM PULANG?”

“milan … uyon, uyon lan”

“kak … tenang coba tenang, uyon kenapa?”

“… lo bisa jemput gue sama uyon? naik mobil ya, tolong. nanti gue jelasin di jalan.”

“kak, sebenernya—”

dalam sekejap, telpon langsung terputus meninggalkan aji yang terpaku di tempat. tadi, milan mengatakan kalau sebenarnya setelah tahun lalu—uyon tidak pernah menggunakan motor. kejadian yang membuatnya hampir jatuh dengan jeje, membuat dirinya sedikit trauma dan memutuskan untuk tidak pernah lagi mengendarainya. terlebih lagi, menggunakan motor besar.

rasanya aji ingin menangis, mengapa sedari tadi ia tidak sadar ketika lelaki itu mengendarai dengan kecepatan yang tidak terlalu cepat? bahkan terlampau lambat. berkali-kali juga uyon ngerem mendadak dan oleng setiap berdampingan dengan truk besar.

kalau saja, ia tidak mementingkan ego dan gengsinya—mungkin tidak akan seperti ini bukan? mungkin mereka sedang minum wedang ronde yang ada di depan mereka saat ini dan segala kemungkinan lain yang tidak akan terjadi—jika aji tidak egois.


“aji.. maafin aku. jangan pergi, aku minta maaf..”

“tetep di sini sama aku, jangan pergi..”

rsud jogja, kamar kemboja—di sana lah uyon dirawat. pagi itu, terdengar suara lirihan dan membangunkan lelaki mungil yang sedang duduk di samping kasurnya. rambutnya berantakan, belum mandi, dan juga tidak pindah dari tempatnya sejak malam tadi—ia adalah aji.

sebenarnya milan sudah membawakan peralatan mandi juga baju ganti untuknya, tetapi aji tidak ingin beranjak dari sisi uyon dan meninggalkannya barang sedetik saja. baik milan maupun arya sudah lelah dan kembali ke kembang.

‘uyon gapapa, pasti gapapa. jangan terlalu khawatir dan put ur self first, kak ji. gue pulang dulu, besok kesini lagi.’ kata milan sebelum ia kembali.

deringan telpon dari telepon genggam uyon mengalihkan pandangannya, ‘ibu’ adalah nama yang tertera di sana. setelah dering ke lima, aji memutuskan untuk mengangkat telpon tersebut.

“assalamualaikum, le? kamu toh dimana… ini ibu ditinggal di rumah raden, kamu ndak kabarin ibu juga. milan juga tak telpon ndak dijawab, pada kemana toh yo.. yo..”

“...”

“abi??? ibu ki nanya lho kok kamu ndak sopan gak bales ibu? mbok yo seenggaknya ngabarin kalo ndak jadi bawa ibu ketemu aji.. kamu berantem toh le, karo aji?”

“... ibu maaf, ini aji.”

“LHOO NAK AJI? INI KAMU? abi nya kemana nak.. lagi keluar cari sarapan tah? tak kira ndak jadi ngajak ibu ketemu kamu, ternyata malah lagi pacaran berdua hehehehe”

“nggak bu, ini abinya—”

“wisss, ndak apa kalo mau pacaran dulu! ibu bakal ngertiin kok, met pacaran yo le.. baik-baik ya kalian.”

“tap—”

“aji, ibu ngerti kok. kaya e juga, si abi kangeeunn pol sama kamu makanya sampe buru-buru. oh ya, nanti kalo abi udah balik bilang jemput ibu ya? nanti aja kalo pacarannya sudah selesai..”

“ibu aji sama ab-”

“sudah.. sudah.. assalamualaikum nak aji..” dan telpon terputus.

aji tertegun. lelaki itu sudah tidak tahu lagi harus menjelaskan seperti apa kepada ibu uyon. namun, sepertinya juga tidak mungkin jika ia memberitahu kondisi uyon saat ini bukan?

rintihan kecil dari uyon mengalihkan perhatiannya. “ibu … ibu telfon?” tanyanya dengan berusaha mendudukkan diri. “tiduran aja sih? kenapa pake duduk? tidur.”

uyon terkekeh lalu menggeleng pelan. “pusing, aku mau duduk.” yang tentu saja hanya dibalas helaan nafas oleh aji, tetapi kemudian ia membantunya untuk duduk. “mau nanya sesuatu.” ucap aji yang langsung membuat uyon diam seketika.

“... iya, tanya aja.”

lelaki mungil itu memiringkan tubuhnya menghadap uyon, matanya mendelik membuat uyon memundurkan tubuhnya. takut. “lo gak bilang sama ibu, kalo gue gamau ketemu sama beliau?” pertanyaan yang aji lontarkan membuat lelaki sipit itu gugup.

“h-hah? bi-bilang kok aku.” aji hanya bisa menopang dagu, pandangannya terus terpaku kepada lelaki di hadapannya. “kok ibu bilangnya ga begitu?” uyon yang mendengar itu hanya bisa menggaruk kepalanya.

lelah. aji menyandarkan kembali tubuhnya pada kursi. “terus kalo begini gue harus ketemu sama ibu?” sebenarnya, aji mau mau saja jika diajak untuk bertemu dengan ibu nya uyon. namun, hubungan antara mereka saja belum jelas akan seperti apa.

bagaimana jika nanti, ketika uyon sudah mengenalkan aji pada ibu nya—hubungan mereka justru kandas? jangankan kandas. bahkan sama sekali belum dimulai. lantas, aji harus bagaimana?

“aji, aku beneran sayang sama kamu.”

pengakuan secara tiba-tiba itu, membuat aji terdiam di tempat. ia tidak tahu harus mempercayainya atau tidak. ia pernah menaruh kepercayaan kepada lelaki itu dan disia-siakan begitu saja.

padahal, baru sekali uyon bertemu dengan mantan kekasihnya. namun, lelaki itu langsung goyah dan tidak punya pendirian akan perasaannya dan melupakan aji begitu saja. jika nanti, uyon bertemu lagi dan lagi dengan jeje saat menjalin hubungan dengannya—apakah ia akan tetap melakukan hal yang sama?

trust issues. aji mempunyai hal itu sejak bangku smp dulu. waktu itu, aji hanyalah sosok bocah kecil yang tidak tahu apa-apa dan percaya saja kepada temannya. hingga pada suatu hari, ia dikhianati begitu saja.

jadi, masuk akal bukan jika ia tidak mempercayai lelaki di hadapannya saat ini? yang ingin aji lakukan adalah melindungi diri. menjaga hatinya agar tidak lagi merasa tersakiti oleh siapa pun.

uyon tersenyum masam lalu menundukkan kepalanya. “kamu masih ga percaya sama aku ... gapapa.” ujarnya seraya memainkan jari. “ini aku belum boleh pulang?” lelaki sipit itu mengedarkan pandangannya, berusaha terlihat sibuk.

“uyon.”

“kamu kalo mau pulang, pulang aja gapapa. udah dari semalem kan di sini? gausah nungguin aku, bisa sendiri kok” ujarnya

aji mendengus. “lo tuh serius ga sih sama gue? kalo serius jelasin yang bener, jangan gampang nyerah kaya gini! lo kira dari semalem gue masih di sini tuh buat apa? ya nungguin penjelasan lo lah.” wajah lelaki mungil itu memerah, terlihat sekali menahan amarah.

“... maaf.”

lelaki mungil itu menghela nafas panjang dan beranjak dari duduknya. “kamu mau kemana?” dalam sekejap, uyon menahan tangan aji. wajahnya terlihat sangat panik sekarang.

“mau pipis. apa?! mau ikut lo?!” dengan canggung, lelaki sipit itu melepaskan genggamannya dan membiarkan aji ke toilet. lima menit kemudian, lelaki mungil itu keluar dan duduk di sofa—tengah berusaha menjauhkan diri dari uyon.

“... aji sini”

“apaan?”

“sini … duduk samping aku kaya tadi”

bukannya segera beranjak, aji justru merebahkan diri dan memejamkan matanya. “ngantuk. mending lo makan tuh sarapan, gue mau tidur.” tandasnya sebelum benar-benar ke alam mimpi.

mau tidak mau, uyon hanya mengiyakan perkataan aji. karena sedari tadi, terlihat sekali bahwa lelaki mungil itu menahan kantuknya.

dengan perlahan, uyon menurunkan kakinya dari kasur. berjalan ke arah aji sembari menggiring infusnya lalu berjongkok di samping lelaki mungil itu. “aku minta maaf karena terlalu cupu. sedikit lagi, kamu mau nunggu gak?” ujarnya dengan mengusap pelan rambut-rambut yang menghalangi matanya.

“aku … mau mastiin satu hal lagi dan aku harap kamu mau nunggu.” kini, uyon meraih jemari aji dan mengusapnya. “jangan pergi, iyon.” lelaki itu beranjak dan kembali pada kasurnya, meninggalkan aji yang berusaha menahan tangisnya sekali lagi.

suara ketukan pintu terdengar memasuki pendengaran guan. lelaki itu tengah sibuk membuat makan malam untuk nya dan juga ican, makanan sederhana—tumis tempe kecap dan telur mata sapi kesukaan ican.

“yaa? siapaaa?”

suara ican terdengar dari balik pintu. “guan hehe, gue lupa bawa kunci!” serunya seraya terkekeh.

guan yang mendengar itu hanya bisa mendengus kesal, mematikan kompor lalu berjalan menuju pintu. di hadapannya saat ini ada wajah ican yang masih cengengesan dengan badan basah kuyup. “KOK LO GA BILANG KALO KEUJANAN? SANA COPOT BAJUNYA, MANDI. ABIS ITU GUE BUATIN TEH ANGET.”

yang diomeli justru masih cengengesan saat guan mendorongnya menuju kamar mandi. “nih! anduk, celana dalem, baju, celana. CEPET MANDI JANGAN LIATIN GUE?” banyak hal dari ican yang sering membuatnya marah, seperti ini contohnya.

lelaki satu itu, sangat suka sekali menerobos hujan. katanya sih, agar lebih cepat sampai dan tidak memakan waktu terlalu lama. walaupun pada akhirnya, ia akan menjadi basah kuyup dan demam keesokan harinya. tetapi, lelaki bernama ican itu akan tetap melakukannya. selalu.

“guan..” tangan ican yang terlihat sedikit mengkeriput itu naik menuju bongkahan pipi milik guan, mengelusnya pelan lalu mengusap air yang keluar dari ujung matanya. “... kenapa nangis?” tanya nya.

dan guan akan selalu seperti ini. rasa sayangnya kepada ican, membuatnya selalu khawatir berlebih jika saja lelaki itu sakit atau pun melukai dirinya sendiri. semua hal yang berhubungan dengan ican, akan selalu mempengaruhinya juga. apapun itu.

dulu, guan sangat membenci kacang-kacangan. terlebih lagi jika pada bubur motor yang sering dibelikan oleh ican tiap pagi. kadang lelaki itu lupa akan pesanan yang guan minta—tidak memakai kacang dan juga seledri—dan justru menyamakan seperti pesanannya. namun, selalu ada dua hal tersebut dalam bubur guan dan mau tidak mau, guan jadi menyukainya karena disebabkan kelupaannya lelaki itu.

lalu saat pertama kali guan melihat ican jatuh sakit yang bahkan membuatnya izin sekolah, lelaki berpipi gembil itu juga melakukan hal yang sama. bahkan, guan mendatangi rumah ican dan merawatnya seharian hingga lelaki itu pulih. ibaratnya, rasa sayang guan kepada ican akan membuat lelaki itu rela melakukan apa saja, demi ican.

“hah? oh, ini .. ngga, gak nangis. kelilipan.” gugup, suaranya terdengar bergetar karena menahan tangis. ican hanya bisa tersenyum kecil mendengar itu, lalu mengecup dahi milik guan. “im okay, no need to worry. alright?”

guan merasa jantungnya berhenti berdetak, kepalanya terasa memutar hanya karena satu kecupan yang ia terima. bahkan jawaban yang ia beri pada ican hanyalah anggukan gugup dan langsung mendorong lelaki itu ke kamar mandi.


kakinya tidak bisa berhenti bergerak, kukunya pun sedari tadi ia gigiti selagi menunggu ican selesai. “kan udah dibilang jangan gigitin kuku? ngeyel.” tangan ican langsung sesegera mungkin menangkis tangan guan menjauhi mulutnya.

i … im sorry, ican.”

say that to yourself, guan.”

lelaki itu hanya bisa menunduk dalam, lalu mengambil alih handuk yang berada di genggaman ican. menaruhnya di kepala lelaki itu, berdiri di belakangnya lalu menggosoknya pelan, berniat untuk mengeringkan. “lo kenapa sih? kalo gitu kapan kering, hm?” tanya ican.

tentu saja tidak ada jawaban, guan masih berdiri di belakang ican dengan handuk di tangannya. “do you love me, guan?” terlalu tiba-tiba dan to the point. pertanyaan yang juga selalu berada di pikiran guan, 'do i love him?' namun selalu tidak ada jawabannya.

“hm? nah.”

you lied. you always do that to your feelings.” skakmat. pernyataan tersebut berhasil menghentikan tangan guan yang berada di kepala ican, benar-benar mengudara dan bingung. bingung jawab apa. “but i dont, ican.” jawaban guan membuat lelaki itu menengok ke arahnya dan memegang kedua tangan milik guan.

then why’d you always cry when im hurt? lo selalu begitu, guan. perlakuan lo ke gue selama ini kaya acting that you hate me when you dont. you love me, did you?”

and i said that i didn’t love you.”

no, you did. jangan buat semuanya jadi rumit cuman karena lo denial bertahun-tahun, guan. i knew you love me since we were twelve.”

bingung ingin mengelak seperti apalagi sekarang, karena memang itu benar adanya. guan menghela nafas berat, lalu membalikkan tubuh ican menghadap depan dan melanjutkan sesi mengeringkan rambut lelaki itu. “... ada masalah ya? terakhir kali kita ketemu, lo ga denial kaya gini.” tanya ican

no.”

ican kembali menghadap guan. “bisa gak sih lo jujur tentang perasaan lo, apa yang lo rasain sebenarnya ke gue? gue juga mau coba buat mahamin lo, guan. gue pengen jadi tempat lo bersandar!” untuk pertama kali setelah sekian tahun, ican membentak guan dan membuatnya kaku diam di tempat.

lelaki bernama ican itu kalut, langsung berdiri untuk memeluk guan dan menenangkannya. ia lupa, bahwa yang berada di dekapannya ini sama sekali tidak bisa dibentak dan ia baru saja melakukan hal itu kepadanya. “maaf, maaf, maaf, maafin aku.. guan? hey hey, maaf ya? liat aku, guan liat aku. im sorry..” dan guan hanya bisa mengangguk dengan tubuh yang bergetar.

dulu ketika guan dibentak oleh papah nya karena nilai jelek, ican selalu di sana. memberinya sebuah pelukan dan usapan di punggung, serta bisikan kalimat seperti mantra yang mengatakan, ‘you did well, guan. no need to worry, i’ll be here. i always be there for you.’ dan dalam sekejap lelaki itu akan tenang dan tidur dalam pelukannya.

“papah tau .. papah tau, ican. im scared.” lirihnya berkali-kali. entah apa yang papah seungkwan ketahui, ican hanya tau bahwa itu adalah pertanda buruk bagi mereka berdua. “its okay, im here guan. im here.” dan juga satu hal yang ia ketahui, bahwa ia hanya bisa menenangkan lelaki itu di dalam pelukannya.

guan mendongak, menatap kedua mata ican dan mengecupnya pelan. “i love you.” ican terpaku, mengedipkan matanya berkali-kali dan menampar pipi serta mencubit dirinya—memastikan kalau ini bukanlah mimpi. “you’re not dreaming.. stop that will you? nanti sakit.” ucap guan dengan mempautkan bibir dan menghentikan tangannya.

YOU SAID YOU LOVE ME?!”

yes, i did.”

ican membuka mulutnya lebar-lebar, lalu menutupnya dengan tangan. lelaki itu benar-benar terkejut yang bahkan membuatnya terlihat seperti orang stress. “YOU LOVE ME, GUAN. YOU. LOVE. ME.” seru ican seraya menunjuk guan, membentuk hati, dan terakhir menunjuk dirinya sendiri. guan yang melihat itu hanya terkekeh, lalu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher ican. pipinya merona. “iyaaa, ih stop it icann.. maluu!”

katakan ia terlalu heboh, tapi mendengar kata tersebut dari guan setelah sekian lama adalah hal yang sangat ia nantikan. ican menunggu hari dimana mereka berdua menyatakan perasaannya masing-masing dan ini adalah harinya. ia bahagia. “KALO GITU AKU BAKAL BILANG KE PAPAH BUAT GA HALANGIN KITA.” ujar ican.

guan memiringkan kepalanya, bingung. “kenapa papah halangin kita?” tanya nya yang justru membuat ican ikut bingung. “tadi..? kata kamu papah tau? tau kalo kita saling suka kan?” guan terkekeh. tidak, terlalu senang jika disebut terkekeh. lelaki itu tertawa terbahak-bahak sembari memegang perutnya.

NOOO HAHAHAHAHA, he doesn't know about that, but he won't disagree about us either, he likes you ican HAHAHAHAHA.” dan sekarang ican seperti orang bodoh. sedari tadi ia pikir, papah nya mengetahui tentang mereka dan tidak menyetujuinya.

setelah puas tertawa, guan mengusap ujung matanya. “papah tau kalo nilai gue turun lagi, udah itu aja. but still, im scared.” ujarnya dengan senyum masam yang membuat ican kembali menarik lelaki itu ke dalam pelukannya.

awalnya, hanyalah ketakutan anak kecil terhadap omelan orang tuanya. tetapi entah mengapa, hal itu memunculkan dampak yang cukup besar dan berlanjut hingga saat ini. siapapun yang membentaknya, akan muncul reaksi pada tubuh guan.

terakhir kali guan dibentak adalah saat lelaki itu mempunyai hubungan dengan adik kelasnya—deon—hanya karena ia melihat guan diantar jemput tiap hari oleh ican, bukan deon. maka dari itu, ican sangat membenci adik kelas tidak punya sopan santun bernama deon hingga saat ini.

“maaf, tadi aku bentak kamu”

“hm? iya.”

guan mendorong pelan tubuh ican. “bentar … kamu? sejak kapan kita aku-kamu an?” ican yang mendengarnya hanya terkekeh, lalu kembali menarik lelaki itu ke dekapannya. “sekarang? kamu udah jadi pacarku soalnya.” ujarnya yang mendapat cubitan.

“ih anjir sejak kapan?! lo nembak gue emangnya, hah? NGGAK. mana ga romantis lagi APAAN SIH INI KAGA MAU AH!”

tidak peduli, ican hanya terkekeh sembari sesekali mengecup dahi guan di dekapannya. bahkan menggoyangkan tubuh mereka ke kanan dan kiri, seperti anak kecil. “i love you.

nice info

ican mempautkan bibir. “ih? JAWAAAB ‘love you too’ gitu” guan menggelengkan kepala. “dont wanna, wlee” ujarnya meledek.

its cold outside, kak. kenapa gak pake jaket?”

suara milan memasuki pendengarannya, sudah tidak sedingin kemarin. namun, masih terasa asing baginya yang sering mendengar sapaan hangat dari milan. arya belum terbiasa, sebenarnya.

lelaki itu tersenyum. “hm? gapapa, ga dingin hehe.” ujarnya yang mengundang helaan nafas berat lawan bicaranya. untung saja, tadi ia memutuskan menggunakan jaket tebal. berpikiran kalau pujaan hatinya itu akan melakukan hal ini.

“ini, kamu pake. nanti masuk angin, siapa yang ngerjain skripsi kamu?” asing. arya masih terasa asing. biasanya lelaki jangkung di hadapannya ini akan langsung memakaikan jaket miliknya pada arya, tetapi kali ini hanya memberikannya saja. bahkan, membuang muka dan tidak menatap matanya.

hanya bisa tersenyum masam, arya mengambil jaket tersebut lalu memakainya. benar, sudah terasa hangat sekarang. “makasih, ya?” milan hanya mengangguk dalam diam, masih menciptakan jarak serta tembok tinggi di antara mereka.

i just wanted be clear with you, mil. i wanna talk about all the things that stucked in my head, that makes me sick everyday. the reasons … why i rejected you when i have a feelings for you.” kepalanya menunduk, mengusap tangannya yang terasa dingin sekarang. merasa gugup sebenarnya.

arya tidak berani menatap milan sekarang, takut. akan reaksi yang akan ia dapatkan ketika ia mengatakan semuanya—alasan yang membuat hubungan mereka tidak berjalan. berhenti di tempat. tidak tahu akan kemana jadinya.

you know, we are different, mil.” milan hanya mendengus, bertanya-tanya dimana letak perbedaan mereka yang membuatnya seperti ini? tapi lelaki itu hanya diam, masih mempersilakan arya untuk melanjutkan.

arya berdeham pelan. “age. our difference is in age, milan. iya, umur bukan masalah dalam hubungan and i know that too. tapi permasalahan yang kita hadapin, itu berbeda.” lanjutnya merasa frustasi. namun, sedikit merasa lega karena apa yang menjadi pikirannya selama setahun belakangan berhasil ia keluarkan.

dahinya mengkerut, menghela nafas panjang sebelum melanjutkan. “tiap harinya aku selalu ditanya 'kapan nikah? kapan punya anak? mana pacarmu?' and we also different in this matter, milan. your parents not questioning your love relationship everyday, but not with mine...” suaranya terdengar terengah-engah, bahkan dari matanya terlihat berkaca-kaca.

milan terdiam, matanya terkatup rapat seraya menggenggam erat lengan arya. menariknya pelan menuju dekapannya, menepuk punggung serta mengelus pucuk kepala lelaki itu dengan kasih sayang. “they wanna have a grandchild, from me. i wish i could give birth, tho .. so i won't be separate from you.” lanjutnya lirih.

terlalu berat. arya merasa persoalan serta latar belakang yang membuat hubungan mereka tidak bisa, terlalu berat. tidak pernah sedikit pun, arya berpikir bahwa suatu hari nanti ia akan dihadapkan dengan masalah seberat ini. perihal mencintai kadang terasa lucu, sepertinya. banyak yang menghalangi, bahkan hampir semuanya.

kalau saja dulu ia hanya menjalin hubungan dengan haha hihi, maka untuk sekarang banyak yang harus diselesaikan maupun dipertimbangkan berulang kali. sebenarnya, milan adalah lelaki pertama baginya. ia tidak pernah jatuh cinta dengan lelaki sebelumnya, tidak satu pun. hingga ia bertemu dengan milan. lelaki pertamanya.

berawal dari acara reuni dengan alumni sekolah yang mempertemukan mereka berdua, bertukar informasi hingga bercakap hingga tidak tahu waktu dan batas. sampailah mereka pada saat ini, masa yang tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya.

tangan milan ia bawa menuju pelipis arya, mengusapnya pelan seraya membenarkan poni yang menutupi pandangannya lalu terkekeh pelan. “yaudah, kawin lari aja yuk?” satu pertanyaan, lima kata, namun berhasil mengundang emosi arya.

“KAMU TUH GILA YA?!”

“MILAAANNN ?($!#(#!#(#(”

“AKU GAMAU KALO KAWIN LARI”

hap. tangan arya berhasil milan dapatkan, lelaki itu tertawa pelan lalu kembali membawa arya ke dalam pelukannya. “yaudah kalo gitu, kita come out ke orang tua kak gib? gimana?” niatnya memberi solusi, tetapi terdengar seperti membawa ke kandang singa. “... i've never done that, before ...”

no, you did it before, didn't you?” wajah arya terlihat bingung, sejak kapan ia melakukan hal itu? karena seingatnya, teman-temannya tidak ada yang mengetahui rahasia terdalamnya. “ke bu ida, uyon, guan, dan juga ican. kamu bilang ke mereka waktu dikasih tau peraturan kostan ga boleh bawa cewe dan kamu nyeletuk, 'saya gasuka cewe, bu.' begitu aja di depan mereka. inget, gak?” lanjutnya menjelaskan.

ia teringat sekarang, hal itu sudah cukup lama sebenarnya, sekitar satu setengah tahun yang lalu. tetapi, persoalan tersebut sangat berbeda bukan dengan yang sedang di bahas. “beda, milan. they are just strangers to me and it will not affect my life that much. if I tell my parents that I like men and they won't accept me, they're gonna kick me out.. like? forever, milan. where should i live, then?” jawabnya.

with me, of course.” seperti kebanyakan pemuda pemudi di luar sana, di awal masanya menjadi berkepala dua. terkadang masih berpikiran simple dan tidak mau rumit akan memecahkan masalah yang ada, itu menurut arya. karena saat ini lelaki itu hanya diam terperangah dengan jawaban yang milan berikan padanya. terlalu mudah baginya untuk menjawab.

“semudah itu?”

“iya, semudah itu.”

milan mengambil nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. “kakak, kamu terlalu banyak mikirin sesuatu yang bahkan belum kejadian sama sekali.” ujarnya pada arya. matanya menatap dalam ke dua netra yang juga sedang menatapnya, memfokuskan semua dunia dan atensi hanya kepada lelaki di hadapannya.

“kamu bilang, mereka pengen punya cucu. of course, who didn't want it right? tapi apa benar mereka bilang harus anak kamu? aku yakin nggak. karena kamu selalu menambahkan satu dua kata yang menjadi permasalahan di pikiran kamu, kak.” lanjutnya.

“,– aku emang cuma baru kenal kamu setahun dua tahun belakangan ini. but i know about you, more than yourself.”

“,– and i know your parents, too. they are the most open minded person that i've ever met. aku pernah ngobrol sama mereka, even they ask how can i not have a girlfriend when i look like this.” lanjutnya dengan menyombongkan wajah serta penampilannya. “so .. what did you say?” arya penasaran, karena terlihat dari wajah milan lelaki itu tidak bercanda saat ini.

milan terkekeh. “im just saying that im not into girls. that i like men ... that i like you.” terperangah, wajah arya berubah merah padam sekarang. “... bohong kan?” arya sudah niat untuk tertawa, namun sepertinya lelaki di hadapannya saat ini tidak berbohong. sama sekali. “you're not lying …”

sebenarnya, milan sudah bisa menebak apa yang akan arya katakan padanya. namun, ia biarkan karena ingin mendengarkan semua keluh kesah dan segala pikiran yang menghantui lelaki itu belakangan ini. ia ingin menjadi pendengar serta senderan bagi arya.

karena sudah bukan rahasia umum, kalau yang paling tua akan menjadi pendengar bagi adik-adiknya. selalu menjadi tempat bersandar dan berkeluh kesah, hingga ia lupa bahwa dirinya juga membutuhkan hal itu. memutuskan untuk memendam semuanya, hingga terkadang membuatnya menjadi sakit. tidak jarang lelaki itu mengeluhkan kepalanya atau pikirannya.

tetapi jika ditanya, ia tidak akan membuka mulut. memutuskan untuk menjauh dan lagi-lagi memendam semuanya. berusaha bersikap baik-baik saja, layaknya tempat bersandar yang tidak memiliki perasaan. seperti robot. tidak bernyawa.

“,– and you know what, kak? they said kalo perasaan aku ke kamu ga salah. karena itu masih menjadi hak ku. but they also told me, that i can't force your feelings.” selama ini, kekhawatiran arya sebenarnya tidak ada. tidak akan terjadi. hanya menjadi sebuah bayangan-bayangan buruk yang bersarang di kepalanya. selama ini, ia salah.

tentang gengsinya yang selalu ia bangun tinggi, terkadang membuat dirinya orang di sekitarnya terluka bahkan dirinya sendiri. tidak mau mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan dan juga tidak berani untuk bertanya mengenai kekhawatirannya selama ini. karena itu, ia hampir membuat orang yang sangat ia sayangi ini pergi darinya. bodoh, pikirnya.

milan merenggut, menarik dagu arya lalu menatap kedua matanya. “mikirin apalagi kamu, kak..? gak cape? otaknya diistirahatin dulu coba, ya..?” tanyanya lirih. tidak suka ketika lelaki kesayangannya yang satu ini terlalu sering membuat dirinya sendiri terluka dengan pikiran-pikirannya.

baru kali ini, ia menemukan orang seperti arya. overthinker. namun sudah di-fase yang sangat parah. tidak bisa tersaring sedikit pun, ibarat keranjang bolong. tidak berguna.

bukannya ilfeel atau sebagainya, entah mengapa milan jadi ingin melindungi lelaki itu. ingin menemani di kala sedihnya, senangnya, kecewanya, di semua emosi yang ia rasakan—milan ingin di sana, untuk menemaninya.

“berarti … berarti aku salah, milan?”

“kamu ga salah, kamu cuma bingung dan mempertanyakan segala hal yang buat pikiran kamu berkecamuk. coba untuk sehari, kamu berhenti untuk mikirin hal-hal tersebut. aku yakin, kamu ga akan kaya gini kak.”

bibir arya terpaut, lalu menjatuhkan kepalanya di bahu milan. mengeluarkan isakan tangis yang selama ini ia keluarkan sendirian, tidak mempunyai teman. namun kali ini, ia mempunyai milan sekarang. ia tidak sendiri lagi, ia mempunya tempat bersadar juga—seperti yang lainnya.

milan tersenyum, lalu mengeratkan dekapannya pada arya. “im so glad that i met you, milan.” suaranya terpendam, tapi cukup terdengar dengan jelas bagi milan. senang sekali mendengarnya, hingga menciptakan sebuah senyuman lebar pada wajah lelaki itu.

“kakak?”

“hm, iya?”

“ayo come out ke mama papa ya? aku temenin. aku janji beneran bakal temenin kamu, gabakal ninggalin kamu pergi sedetik pun.”

“...”

“... kalo kamu gamau gapapa, gausah dipaksa”

“okay.”

SERIOUSLY? ARE YOU SURE ABOUT THAT? YOU CAN'T TAKE IT BACK, OKAY?

yeah, i'm sure milan.”

“,– and milan, i have one more that i should tell you.”

baru saja ia ingin membuka mulutnya, sebuah kecupan di dahi milan dapatkan. disertai bisikan, “i love you, milan.”

mobil dan motor berlalu lalang, suaranya sangatlah bising. padahal untuk waktu yang sudah lumayan larut, tidak seharusnya masih seramai ini. uyon berdiri di sana, di depan minimarket—menunggu aji menyelesaikan belanjaan nya.

tadi, aji mengatakan kalau bahan masak dan keperluan yang lainnya sudah habis. maka dari itu ia menemaninya sebentar. namun, sudah tiga puluh menit berlalu aji tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. haruskah ia menghampiri lelaki mungil itu?

sebenarnya, ia masih sedikit takut untuk berbicara atau berinteraksi dengan tetangga barunya itu. wajah aji adalah tipe yang menggemaskan sekaligus mengintimidasi di waktu bersamaan. bahasa lainnya, kurang ramah.

gusar, uyon memutuskan untuk masuk dan mencari aji di dalam. dari lorong alat mandi, snack, dan juga bagian kosmetik—ia tidak menemukkan aji. lantas, kemana lelaki itu pergi? tidak mungkin kan kalau aji merasa risih dengannya dan memilih pergi tanpa dirinya? dan juga tanpa mengabari.

baru saja ia ingin kembali ke mobil, uyon melihat sesosok lelaki mungil menggunakan hoodie yang sama persis aji gunakan tadi. wajahnya tidak terlihat, tetapi bisa dipastikan kalau orang itu adalah aji.

berjongkok, di depan rak susu, berpaut bibir pula. bagaimana uyon harus menghadapi lelaki mungil ini? dari dulu sampai sekarang, hal pertama yang menjadi kesukaannya adalah hal-hal lucu, dan aji termasuk di dalam list-nya sekarang.

sebuah tepukan di bahu aji dapatkan, pelakunya tentu saja uyon. terlihat sangat lega dengan senyum kecil yang menghiasi wajahnya. “aku kira kamu pulang duluan” ujarnya. aji hanya merespon dengan gelengan kepala, masih memilih susu. bahkan, sekarang kebingungannya bertambah karena melihat yoghurt.

“merek frisin flag* aja, aku minum yang itu.” tambahnya lagi.

pandangan aji teralihkan, menengadah menatap uyon yang berdiri di sampingnya. “yakin? emang ultr milk* kenapa?” penasaran, karena sebenarnya selama ini ia selalu meminum merek yang ia sebutkan tadi.

alasan aji bingung memilih susu adalah dikarenakan ada promo hari ini, merek frisin flag* dua ribu lebih murah dibandingkan merek susu lainnya. mungkin itulah alasan mengapa ia terlambat sepuluh menit untuk menyelesaikan belanjanya. “soalnya lebih murah, hehe.” tawanya sangat renyah, sopan sekali memasuki indra pendengaran aji.

lelaki mungil itu berdeham, lalu memutuskan untuk membeli pilihan uyon tadi. “yuk, gue udah selesai.” ajaknya sembari menarik pelan kaos yang digunakan oleh uyon.

lagi-lagi, uyon tertawa. “heh, emang aku anak anjing kamu seret gini? hahaha” entah harus malu atau terpesona, aji terpaku di tempatnya.

sungguh, mengapa suara tawa milih uyon bisa membuatnya jatuh cinta sebegitu hebatnya? walaupun mungkin terlalu cepat untuk mengatakan perihal cinta. namun, entah mengapa seperti itu lah yang aji rasakan.

lagi-lagi aji berdeham, lalu melanjutkan langkahnya menuju kasir. “lo ga beli apa-apa?” uyon hanya menjawab dengan gelengan kecil, lalu mengambil alih keranjang belanja milik aji. “kamu beli ini aja kah? udah semua ini?” tanyanya.

“iya, itu aja.” kata aji. sekarang, sudah giliran aji untuk membayar. namun entah kenapa, ia merasa ada yang janggal. dompet. aji baru saja ingat, bahwa dompetnya itu tertinggal di meja kantornya. sial sekali bukan, sekarang dengan apa ia harus membayar semua ini? daun?

uyon menyikut pelan lengan aji. “kenapa?” tanyanya penasaran. yang ditanya hanya tertawa canggung, lalu berbisik kepada uyon. “gue … ga bawa dompet.”


“HAHAHAHAHAHAHAHA” jangan tanya siapa yang tertawa saat ini, pelakunya tentu saja uyon. lelaki itu tengah memegangi perutnya, merasa sangat geli dengan kejadian barusan. sangat lucu, pikirnya.

aji hanya merenggut kesal, bersedekap dada sembari memegangi tas belanjanya. “bisa diem gak..” bukannya diam, lelaki sipit itu justru tertawa makin kencang. karena sungguh, wajah aji yang panik tadi sangatlah lucu dan menggemaskan bagi uyon.

pipinya merah, bibirnya ia gigit ke dalam, lalu berbisik kepadanya bahwa dompet miliknya tertinggal di kantor. uyon sangat bersyukur, dapat menyaksikan fenomena lucu aji dari sedekat itu. “kamu tuh lucu lho? hahaha” aji sudah tidak bisa berkata-kata lagi, memutuskan untuk mengalihkan pandangan dan menatap ke luar jendela. malu.

setelah puas tertawa, uyon menyeka ujung matanya, lalu menghela nafas. “huft, dah puas aku sekarang. makasih ya, hiburan malamnya? hahaha” ternyata lelaki sipit itu masih saja tertawa, menyebalkan.

“kamu mau makan dimana, ji?” tanya uyon sembari sesekali melihat ke arah aji. hening, lelaki itu tidak menjawab. “aji..?” masih tidak ada jawaban, uyon memutuskan untuk meminggirkan mobilnya, berencana untuk mengecek kondisi lelaki mungil itu.

ah, dia tidur.. batin uyon.

uyon jadi merasa bersalah, sedari tadi ia menertawakan lelaki itu di kondisinya yang sangat lelah. payah. untung saja di bangku belakang ada jaket miliknya yang memang sengaja ia taruh di mobil. perlahan, uyon menyelimuti lelaki mungil itu, lalu mengecilkan suhu ac agar tidak terlalu dingin.

malam itu, tidak ada lagi suara nella kharisma yang menemani perjalanannya. hening, bukan tipe uyon sekali. apalagi jika macetnya perjalanan seperti saat ini, sudah dipastikan lelaki sipit itu akan memutar lagu-lagu milik mba nella. namun, entah mengapa insting-nya meminta untuk tidak melakukan itu.

seperti ada yang memaksanya untuk tetap tenang, agar tidurnya aji saat ini tidak terganggu. bahkan ia mengeluarkan kaset nella kharisma, lalu menggantinya dengan spotify dan mencari sleep playlist yang memutar lagu menenangkan. sekali lagi, bukan tipe uyon sekali.

matahari mulai mengintip ke dalam, berusaha mencari celah dari sisi jendela untuk masuk dan membuat empunya terbangun. jari jemarinya bergerak ke sana kemari, perlahan kelopak mata mulai terbuka dan menyesuaikan dengan cahaya.

tidak. semalam, lelaki itu tidak bisa tertidur dengan tenang. sepertinya untuk hari ini, akan ada lingkaran hitam yang bersarang di bawah matanya. bahkan rambut yang biasanya rapi saat bangun tidur, terlihat sangat berantakan karena semalaman ia jambak-jambak. stress, mungkin.

kakinya ia seret menuju kamar mandi, mengambil sikat gigi beserta pastanya. menggosok giginya dengan malas, lalu beralih mencuci mukanya yang terlihat sedikit kusam. selesai, ia terlihat lebih baik sekarang.

semalam, ia berencana untuk membuat protes kepada tetangga barunya. karena selama ia tinggal di kostan ini, tidak ada satu pun yang tidak menghormati lagu kebangsaannya seperti itu. bahkan yang tertua dari mereka pun—bang arya—akan membiarkannya menyetel lagu itu seharian.

matanya melirik ke arah jam dinding, bagus, masih menunjukkan pukul 8 pagi. yang berarti ia masih mempunyai waktu 4 jam untuk berangkat kerja, ia putuskan untuk mandi nanti saja. uyon—lelaki itu, mengambil cardigan kesayangannya dan berjalan menuju keluar. berencana menghampiri tetangga sebelah.

cklek

terpaku, keduanya diam di tempat. ternyata, tetangga barunya itu terlihat sangat mungil. uyon baru pertama kali melihat lelaki semungil dan semenggemaskan ini, entah mengapa, ia tidak ingin memarahi lelaki di hadapannya.

uyon jadi menyesali keputusannya untuk menunda mandi, pasti ia terlihat seperti gembel di depan manusia lucu satu ini. sedikit, ia menghirup wangi badannya. untung sekali, tidak tercium aroma apapun. pandangannya ia alihkan kembali ke lelaki itu, menunggunya untuk berbicara terlebih dahulu.

ah, gimana bisa ada cowo selucu ini? batinnya. sangat terpesona dan memuja

“oh, jadi elo yang ditinggal nikah?”

sial, kata keramat yang selalu membuat emosinya naik ke ubun-ubun. pertanyaan yang selalu membuatnya ingin menangis kembali jika diingat-ingat, karena hal itu lah yang membuatnya menjadi seperti ini. “gaada urusannya sama lo, kecil.”

lalu uyon membalikkan tubuhnya, berencana untuk kembali ke kamar. tidak sampai lelaki kecil itu membuka kembali mulutnya.

“lain kali, kalo gagal move on itu jangan nyusahin orang, mas.” begitu katanya, lalu terdengar langkah kaki yang mulai menjauh.

sekarang, uyon jadi tidak tahu harus berlaku seperti apa. di sisi lain, ia sangat mengagumi lelaki itu. tetapi di sisi lainnya, mengapa ia sangat menyebalkan? tidak bisa kah menaruh simpati sedikit? ah, ia sangat kesal sekarang.

harus apa ia dengan tetangga barunya itu?

“jadi, mau kita apakan macan kecil ini?”

“pak, tadi anda bilang kemungkinan dari hutan. tapi bukankah hutan cukup jauh dari sini?”

“itu dia, saya juga tidak tahu. tapi, orang yang waktu itu bilang menjadi korban penculikan pun hilang. sebenarnya ada apa ini?!”

macil — macan kecil, panggilan dari abangnya soonyoung hanya diam termangu di sana. memilih untuk tidak berbicara, karena kalau ia berbicara justru membuat suasana menjadi tambah runyam bukan?

kedua tangannya ia lipat, lalu menaruh dagunya di sana. sesekali orang berlalu-lalang di depannya, terkadang pula menepuk pucuk kepalanya. sungguh, jangankan mereka. soonyoung pun tidak tahu apa yang sedang terjadi saat ini, sama sekali.

ia tidak mengingat siapa dirinya, dari mana asalnya, dan juga mengapa ia bisa menjadi seperti ini. clueless. tidak menemukan jawaban atau pun petunjuk untuk itu.

hal yang ia ingat sampai saat ini adalah saat ia tergeletak dengan luka di dahi serta lengan dan kakinya—di tengah hutan pula. cukup aneh sebenarnya.

lantas kalau seperti ini, ia harus bertanya kepada siapa? apa yang harus ia lakukan? apakah soonyoung cukup berdiam diri saja sampai orang-orang itu membawanya pergi? tetapi soonyoung yakin, pada bahwasanya ini bukanlah tempatnya. tidak seharusnya ia berada di sini.

soonyoung merasa, kalau ada seseorang yang ia tinggalkan. kalau sebenarnya, di luar sana ada yang menunggunya untuk kembali dengan utuh—tanpa lecet. atau apakah ini hanyalah perasaannya?

berkali-kali soonyoung berpikir, apa ada di luar sana yang sangat mencemaskan keadaannya saat ini? entah siapa dan entah dimana, soonyoung pun tidak tahu. tetapi satu hal yang ia tahu pasti, bahwa seharusnya sejak awal ia tidak berada di sini.

maka dengan itu, selama orang menyibukkan diri dengan kegiatannya masing-masing. perhatian sudah tidak lagi tertuju padanya, ia berlari dengan kecepatan yang ia bisa.

sekali, dua kali, kakinya terpantuk oleh meja serta kursi. bahkan sekarang ia menjadi pusat perhatian, orang-orang berlari berusaha mengejarnya. berusaha mendapatkan 'si macan kecil' yang menjadi pusat perhatian masyarakat setempat.

terus berlari, sesekali melihat para masyarakat yang teriak ketakutan akan kehadirannya. padahal kalau pun ia bisa menggigit, paling hanya menyisakan bekas gigitan dengan jejak gigi serta air liurnya.

sayang, perhatiannya terlalu fokus. matanya terpaku melihat sosok polisi yang menolongnya saat ia sampai di sini. orang yang memberinya tempat singgah, serta makan untuk bertahan hidup. orang yang selalu mengetuk pintu kamar sebelum masuk, lalu mengajaknya bercengkrama sesaat.

hingga tidak sadar, bahwa di depan sana sinar lampu mobil mulai mendominasi wajah mungilnya. lengkingan suara-suara membisingkan pendengaran macan kecil itu, lalu sekejap badannya terasa sangat ringan. pandangannya menghadap ke angkasa, bintang terlihat begitu indah. sinarnya membuat soonyoung terpesona.

perlahan, kepalanya terasa sangat sakit. seperti baru saja tertabrak oleh mobil yang membuatnya terpental—walau memang begitu adanya. tubuhnya terasa sangat remuk, pandangannya memburam, hingga yang tersisa oleh pandangannya hanyalah sesosok lelaki dengan seragam polisi dan lencana di dada kanan kiri.


“you are soonyoung aren't you?” pertanyaan yang cukup mengejutkan untuk seseorang yang baru saja siuman. sedikit membuatnya terpaku sementara.

pandangannya ia alihkan ke lelaki yang sedang duduk santai di sofa pojok ruangan, tangannya memegang sebuah koran. sedang sibuk membaca berita yang tertera di dalamnya.

“i'm sorry, sir. but i don't understand what are you saying.” entah berpura-pura bodoh atau memang pada dasarnya ia bodoh, macan kecil itu menjawab dengan suaranya yang lantang.

benar, soonyoung saat ini masihlah berwujud bayi macan. tentu saja karena memang belum waktunya untuk ia berubah wujud. matanya melirik ke arah jam dinding, masih menunjukkan pukul setengah satu malam.

kira-kira masih membutuhkan setengah jam untuk ia berubah. namun, ia sudah melakukan kebodohan terlebih dahulu. tipikal soonyoung sekali. lagi, ia justru menambahkan kebodohan dengan berdeham.

di luar sana, hewan apa yang berdeham layaknya seorang manusia? kejadian yang cukup luar biasa jika dilihat orang awam bukan. tetapi beda dengan pak polisi itu, ia hanya mengangguk kecil seraya terkekeh.

kali ini pakaian milik polisi itu terlihat sangat kasual, tidak ada seragam dengan lencana yang membalutnya. hanya dengan kaus oblong tipis berwarna hitam, serta celana bahan yang terlihat mahal. bahkan sandal miliknya seperti menunjukkan harga yang menjulang, terlihat sangat mahal.

“i've found you, soonyoung.”

alisnya bertaut, matanya mendelik curiga ke arah orang itu—walau sebenarnya adalah polisi yang sempat membantunya kemarin, orang yang menjadi alasannya tertabrak oleh mobil.

sebenarnya, selain ia menolongnya sedari kemarin, soonyoung juga sedikit tertarik dengan penampilan lelaki ini. di antara yang lainnya, selalu menjadi yang paling mencolok—dengan maksud yang bagus, dan seperti koko china yang kaya raya.

tangannya menjulur ke arah soonyoung. “saya xu minghao, temannya abangmu—joan.” tidak seperti bayangannya, soonyoung tidak terlihat antusias saat ini.

bahkan wajah macan kecil itu terlihat sangat bingung dan sama sekali tidak mengenal dua nama yang baru saja ia sebutkan. layaknya amnesia. atau memang benar adanya?

tw // blood

bau anyir darah mendominasi ruangan itu. seungkwan—adik dari seungcheol yang juga merupakan room mate elang—terduduk lemas di samping tubuh lelaki yang tidak sadarkan diri.

berkat abangnya yang merupakan seorang dokter, membuat seungkwan jadi mengetahui sedikit demi sedikit cara menghentikan pendarahan. kini, lelaki itu sudah dibaluti oleh kain yang diikat. cukup berhasil untuk menghentikannya sementara.

rasanya ia ingin menangis keras, meneriaki dan mencaci maki dirinya yang terlalu penakut. bukan, melainkan hanya belum siap. itu yang ia yakini, karena seungcheol meminta untuk tidak menyalahkan diri sendiri lagi.

tangan seungkwan terangkat menuju perut elang yang terluka, mengelusnya pelan dengan diiringi air mata yang turun satu persatu. tanpa permisi, datang begitu saja.

toktok

walaupun sebenarnya ia tahu, kalau yang ada di belakang pintu itu adalah abangnya sendiri—seungkwan masih tidak bisa bergerak, hanya bisa berdiam diri dengan tubuh yang bergetar hebat. “adek, ini abang..” ujar lelaki itu di balik sana.

“gue .. boleh masuk?” lanjutnya bertanya, karena masih belum mendapatkan jawaban dari empunya.

lelaki berpipi tembam itu berjalan menuju pintu, membukanya perlahan yang langsung menampakan raut khawatir abangnya. tanpa bertanya lagi, seungcheol langsung membawa adiknya ke dalam pelukan. menepuk punggungnya dan membisikkan kalimat penenang, yang entah kenapa justru membuatnya tambah menangis.

sejak dulu, seungkwan adalah anak yang sangat perasa dan penyayang. adiknya itu selalu menempatkan orang lain terlebih dulu, tanpa peduli akan apa jadinya jika tidak mendahulukan diri sendiri. seungkwan, anak yang sangat menyayangi orang di sekitarnya. walaupun sebenarnya tidak terlihat begitu.

dengan sifat yang mudah menyayangi sesuatu dan seseorang, terkadang membuat seungkwan menjadi kesulitan. kadang kala, mereka akan pergi. kadang juga, kita yang meninggalkannya. inti dari semua adalah tidak ada yang benar-benar tinggal.

namun, lelaki tembam itu masih sangat kesulitan untuk mengontrol kebiasaannya. rasanya, ia ingin memberikan orang-orang di sekitarnya dengan afeksi yang cukup. tanpa menyakiti, tanpa membuat mereka terluka sedikit pun.

lantas bagaimana, jika pada akhirnya ia akan membuat orang terluka karenanya? karena kecerobohannya, karena ketakutannya—ia membuat orang yang ia sayangi terluka.

setelah puas menangis, seungkwan mengangkat wajahnya dari pundak seungcheol. lalu membawa lelaki itu masuk ke dalam, menggiringnya menuju elang.

“tolongin elang, abang..” lirihnya dengan sisa sisa air mata di pipi.

dengan gesit, seungcheol membuka peralatan medisnya. membersihkan luka dan juga mengambil peluru yang terdapat di perut lelaki itu. lalu, menutup lukanya kembali dengan kain kasa.

seungcheol menghela nafas, lalu tersenyum kecil. “jangan nangis, jelek.” ledeknya lagi. lelaki beralis tebal itu memang tidak bisa menenangkan seseorang dengan kalimat, lebih ke dalam tindakan. maka dari itu, yang keluar dari mulutnya adalah ledekan untuk adiknya.

tidak lain dan tidak bukan yang didapatkan seungcheol adalah balasan berupa cubitan di pinggang. “saaakitt??” protesnya. namun, seungkwan tampak tidak peduli. lelaki itu justru berusaha untuk menggendong elang, berniat untuk membawanya ke rumah sakit terdekat.

baru saja seungkwan menaruh lengan lelaki itu di pundaknya, pintu kostan mereka didobrak dengan keras oleh lelaki manis berkacamata—yang diyakini olehnya, adalah nu. sahabat sekaligus orang yang selalu elang sebut dalam mimpinya.

“anjing lo mah ga bales chat gue! lo tau gak sih gue nungguin di depan gerbang kaya orang tolol? lagian tumben minum ga ngajak gue, malesi—” ucapannya terpotong di kala lelaki itu menginjakan kaki di dalam kamar. mulutnya terbuka lebar, tangannya berpegangan pada pintu—berusaha menopang tubuhnya yang lemas—dan juga langkahnya yang tertatih menuju elang.

tangan ghanu bergetar hebat, menyisiri tubuh elang yang dibaluti oleh kain sudah berganti warna. matanya tidak pernah lepas dari wajah elang, memastikan penglihatannya sekali lagi. hingga hancur pertahanannya.

“l-lang.. lo.. l-lo ke-kenapa..”

seungkwan yang masih berada di sana memutuskan untuk melepaskan elang untuk sementara, membiarkan ghanu memeluk lelaki itu. terlalu sendu, terlalu menyedihkan, seungkwan tidak suka.

tatapan ghanu mengadah, berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang berkelebat di kepalanya saat ini. namun, tidak ada yang berani. mereka memutuskan untuk bungkam. “gaada satu pun dari kalian yang mau jelasin ke gue?” tanyanya.

sunyi. tidak ada yang menjawab. “GUE TANYA SEKALI LAGI GAADA YANG MAU JELASIN KE GUE?” lagi, ghanu masih berusaha mendapatkan jawaban. mencari alasan mengapa dan bagaimana bisa sahabatnya menjadi seperti ini.

“kita bawa dulu ke rumah sakit, nu.” seungcheol berusaha untuk membujuknya, walaupun terlihat dengan jelas bahwa lelaki itu—tidak percaya dengannya.

ghanu tersenyum miris, melayangkan tatapan sinisnya. “lo kira, setelah gaada yang mau jelasin ke gue elang kenapa—gue bakal percaya sama lo? hell no.” tandasnya.

dengan itu, ghanu mengusahakan dirinya untuk memapah elang. walaupun terasa sulit, walaupun kakinya terasa seperti jelly—ia tidak menyerah. elang, sahabatnya satu itu harus tetap hidup. ia tidak ingin membuat penyesalan seumur hidupnya, karena tidak pernah berhasil mengungkapkan cinta.