sooniehamchi

nunew berjalan lunglai ke tempatnya ia duduk tadi, sudut bibirnya terasa sangat perih sekarang. “sial, muka gue gak ganteng lagi kan!” protesnya kepada angin. karena dilihat dari sudut mana pun, meja nomor 21 itu sangatlah kosong. tidak ada satu pun orang selain nunew—tentunya yang menduduki tempat tersebut.

sebenarnya, bukan tidak ada yang ingin menemani lelaki manis itu di sana. hanya saja, nunew memang tidak mengizinkan siapa pun untuk duduk di sana—kecuali, jika nunew yang mengajaknya terlebih dahulu. namun, jarang sekali lelaki itu membawa seseorang ke tempatnya.

terlebih lagi, terdapat tiga bodyguard dengan tubuh tegap tegak yang berada di sekeliling lelaki itu. dari semenjak pertama kali nunew menginjakkan kaki di bar ini, bodyguard itu tidak pernah beranjak dari sisi nunew.

padahal, bukan sekali dua kali lelaki manis itu mengusir mereka. tetapi mereka tidak mendengarkan sama sekali, bahkan mereka menyamar hanya untuk menjaga nunew. maka dari itu, sekarang ia sudah menyerah dan membiarkan bodyguard itu berada di sekitarnya dengan jelas.

“zee! lama gak gue? sorry ya.. hari ini rame banget gue kelimpungan. eh bentar kok lo gak mesen minum sih? MAS! tequila satu ya, sama apa? eh zee, lo mau apa?”

“wedang jahe”

“ngaco!”

lelaki itu terkekeh, “es jeruk aja, mas. makasih, ya.” ujarnya seraya tersenyum.

nunew menyipitkan matanya, berusaha memfokuskan mata terhadap pemandangan di hadapannya saat ini. bukan, bukan kepada si pemilik bar—james—tetapi dengan lelaki yang berpenampilan sangat casual, bahkan terlampau casual. ia memakai celana pendek.

sebenarnya wajar saja untuk memakai celana pendek, tetapi lelaki itu memakai boxer, kaos tipis hitam, dan juga topi putih yang menutupi bagian atas kepalanya. “alsan.”

“yes, sir?”

“can you... find out about the guy over there? he's kinda interesting”

“that guy? he's the owner of this bar, sir.”

nunew mendengus, “no, not that one. the other one, who's wearing a boxer.”

that one...? i'm sorry sir, i don't know. saya sepertinya baru kali ini melihat dia, tapi dilihat dari pakaiannya.. saya rasa, jangan dia, sir.

“why, tho?”

“just, not that one.”

kesal, lelaki itu beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah meja billiard. mengambil stick dan melebur ke dalam permainan bola kecil itu. biasanya, jika mood nunew sedang berantakan, billiard lah yang bisa mengembalikannya. “ah, shit! lo mainnya gak bener, tau gak!” seru nunew kepada lawan mainnya.

merasa tersindir—alex pun menatap nyalang ke nunew, “heh tuan muda bau kencur, elo tuh yang ngalangin gue main!” habis sudah kesabarannya hari ini, dengan segera ia mencengkram kerah baju alex.

“jangan. panggil. gue. tuan. muda.” ujarnya dengan menekan setiap kata. lalu, nunew menjatuhkan tubuh alex dan membanting stick billiard tersebut ke mejanya hingga patah. “WOI SIALAN ITU STICK KESAYANGAN GUE! banci lo pake kabur, GANTI DULU WOI BANGSAT!”

dengan cepat ia membalikkan tubuh dan menghajar alex dengan pukulannya. ”jangan kan itu stick! HARGA DIRI LO SINI GUE BAYAR!” seru nya yang kemudian menendang meja billiard tersebut dan meninggalkan bar itu.

“gila.. rude banget.”

“iya ih parah, pantes bokapnya kabur”

“gue sih juga ogah ya serumah sama orang tempramental kaya gitu.”

“orang kaya kok gitu banget ya, parah.”

“zee?? hello? zee pruk panich!” panggil james sembari melambaikan tangannya di hadapan zee. lelaki itu sedari tadi memasang wajah bengongnya semenjak kejadian ribut-ribut tadi.

“h-hah?”

james mendecak, “ini lo jadi tanda tangan gak sih? kalo emang masih gak yakin gapapa, gue bisa cari yang lain.” jawabnya menjelaskan lagi.

“ini ... jadi”

james mengangguk dan memberi lelaki itu bolpoinnya, “nih tanda tangan di sini aja.” tandasnya yang dibalas anggukan olehnya.

by the way, itu.. tadi siapa?”

kekasih net itu mengernyit bingung, “siapa? yang dihajar atau yang banting stick billiard?” zee berdeham, “... yang banting stick”

lelaki itu mengerjapkan mataya berkali-kali, memastikan pendengarannya. “gila??? after all these years lo nanyain seseorang ke gue?”

zee mendegus, “nanya doang, j.”

james menganggukkan kepalanya seolah mengerti, lalu mendekatkan dirinya pada zee, “mau tau banget ... atau mau tau aja?” bisiknya kepada lelaki itu yang tentu saja dihadiahkan pukulan di kepala lelaki itu.

“wiss, santai dong, bro?!” james tertawa, “lagian ya, kata gue jangan dia, zee. anaknya agak bermasalah tau, liat aja tuh barusan kelakuannya.” ujarnya yang dibalas tatapan bingung oleh zee

“tapi itu bukannya biasa ya? i mean, di bar kaya begini orang berkelakuan gitu tuh, biasa kan?” tanya zee. james mengangguk sebagai jawaban, “iya, emang biasa. tapi ini tuh bukan sekali dua kali, lo liat aja dia sampe punya tiga bodyguard—tapi gak ada yang hentiin dia ngehajar pelanggan gue? tapi baik sih anaknya”

lagi, zee dibuat tambah bingung dengan kalimat terakhir. “gimana sih, jadi dia anak baik-baik atau anak gak bener?” dan james pun tertawa mendengar itu, “eh? hahaha iya ya.. tapi beneran baik kok. dia tuh, apa ya..? cuman kurang kasih sayang, zee. tadi denger kan yang lain ngomongin dia? iya, bokapnya ninggalin dia.”

“terus ibu nya?” entah mengapa, rasa penasaran zee meningkat dengan pesat terhadap lelaki itu. rasanya, ia ingin terus menggali fakta tentangnya. zee ingin mengenal lelaki itu lebih dalam. setelah bertahun-tahun, akhirnya ia merasakan itu, lagi.

james menyipitkan mata, “lo tuh.. kenapa ya hari ini?” tanyanya yang membuat sang empu gelagapan, “g-gini gimana? gue nanya aja padahal.” elaknya sembari menyesap es jeruk pesanannya tadi.

“nggak, zee. lo tuh beda hari ini. kenapa lo pengen tau tentang cowo tadi? kaya, di antara kita berempat, lo tuh paling gak peduli sama sekitar. and here we are, lo nanya terus-terusan tentang si pembuat onar di bar gue. just, why, zee pruk panich?”

jangankan james, zee pun tidak tahu mengapa ia melakukan hal itu. tidak pernah dalam hidupnya—setelah kejadian itu—ia peduli dengan lingkungan sekitarnya. bahkan, walaupun itu adalah temannya sendiri, ia tidak ingin ikut campur.

benar juga kata james, ada apa dengannya hari ini?

⚠️ // kiss , mention of kiss

uyon's pov. “iyaa, dah cil. jangan teriak-teriak lagi, berisik udah malem”

“katanya udah di jalan”

“udaaah, makanya jangan ribut mulu”

“daah”

tut tut tut

“telfon sama siapa?”

akhirnya.. si ganteng pulang juga.

gue tersenyum, “ini, sama guan. tadi dia minta ditemenin pas berantem sama ican” kata gue sambil menepuk ruang kosong di kasur, meminta aji untuk duduk di sana.

“kasian deh, tadi dia nangis. aku tenangin ada kali sejam-an sampe tiba-tiba si deon dateng, eh.. beberapa jam kemudian telfon lagi sambil teriak-teriak kesurupan”

(calon) cowo gue itu terkekeh, suaranya sopan banget masuk telinga. merdu untuk didengar.

“kamu tuh sering dengerin curhatan bocah-bocah itu?”

gue mengangguk, “iya. ican jarang sih, cuman kalo guan dia lumayan sering gitu. apalagi kalo masalah ican, baweeel banget ada aja yang diceritain,”

“padahal, ya, di depan ican kayak ndak sayang tapi di belakangnya bucinn pouul!

aji lagi-lagi terkekeh ganteng, kali ini sambil menatap lurus ke mata gue, “terus terus?”

aduh. jujur ini mah, ya, gue lemah kalo ditatap begini. terlebih lagi, sama aji. rasanya mau melebur dan menghilang aja dari muka bumi.

ini muka, kalo disandingin sama udang rebus yang baru mateng juga merahan muka gue. entah kenapa, semua yang dilakuin aji ngebuat gue ketar-ketir aja, gitu.

ish, kamu ga jawab aku..” ujar dia sambil pautin bibir.

yaelah. yaelah. yaelaaah, braay. gua cium lu.

“bibirnya jangan dimajuin gitu” mendengar itu, aji pun langsung menoleh dan menyeringai, “kenapa? kegoda ya?” bener-bener meledek.

gue pun memutuskan untuk mengalihkan pandangan, lalu beranjak dari posisi tadi dan berjalan mengambil kunci mobil, “yuk, jalan?” ujar gue dan berjalan cepat ke mobil.

di belakang sana, terdengar tawa jihoon yang sangat bahagia. (calon) cowo gue satu itu seneng banget kalo udah perihal ngegoda gue..

tapi, gue selalu megang prinsip untuk ngga nyentuh pasangan gue tanpa consent dari dia sendiri. tanpa paksaan, suasana mendukung, atau pun menyerah dengan keadaan.

kalo dia nggak mau, gue gaakan maksa.

tapi untuk yang tadi, itu adalah bagian kedua, alias suasana mendukung.

walau mungkin aji bisa aja memperbolehkan gue untuk melakukan apa yang dia minta dengan isyarat, gue tetap tidak akan melakukannya.

terlebih lagi, tanpa sebuah status yang jelas.

yakali, gue bisa-bisa cuman dianggep ons oleh dia.

maka, di sinilah gue berada. di dalam mobil dan sedang merenungkan diri.

berusaha menahan apa yang seharusnya memang ditahan.

“heh ganteng, liat sini dong.. hahaha” ujar aji sembari memegang dagu gue untuk menghadap dia.

tapi, jujur, gue takut. jadi gue mutusin untuk merem dan ngebuat aji ketawa lagi untuk kesekian kalinya.

dilihat-lihat, ya, (calon) cowo gue satu ini suka sekali sama yang namanya ketawa dan ngegodain gue. heran.

cup!

“nggak papa, uyon, buat cium aku. gausah nahan gitu... hahahaha”

nggak. tunggu. gue masih berusaha mencerna apa yang baru saja aji lakuin ke gue.

“hm? kenapa? mau lagi?”

astaghfirullahaladzim. iya, boleh?

tangan aji pindah dari dagu ke pipi gue, menepuk-nepuknya dengan pelan, “kalo aku yang ngegoda kamu duluan, berarti aku nggak papa, kamu gausah nahan”

“i-iya”

“uyon kamu mah hahahaha”

jujur gue bingung ini orang kemasukan setan ketawa atau gimana abis dari jakarta. daritadi kerjaannya ketawa mulu dah, aji.. aji..

setelah puas tertawa, aji pun memasang seatbelt, “nah! kita mau kemana sekarang?”

pertanyaan itu membuat gue kembali jadi deg-deg an. lo tau rasanya ketika naik roller coaster yang tiba-tiba berhenti dulu sebelum akhirnya terjun ke bawah? ya gitu dah rasa deg-deg annya.

pasti kalian bisa nebak akan apa yang gue rencanain malem ini.

iya, menjadikan aji satu-satunya di hidup gue.

semoga aja, ya, gue nggak lupa dengan barang terpenting yang harus gue bawa hari ini.

“kamu kebiasaaan tau nggak, gak jawab pertanyaan akuu”

bodoh. gue lupa jawab pertanyaan aji ya..

“hah?”

“hoh.”

yah, bete dia.

gue tersenyum kecil, sebelum akhirnya menyalakan mesin mobil, “ntar juga kamu tau”


“uyon.. masih jauh, ya?”

gue menoleh, mata aji terlihat sangat lelah sekarang, jadi nggak tega.. apa gue batalin aja, ya?

“kamu ngantuk, hm?”

dia pun menggeleng, tapi gue tau kalo dia bohong, “mau balik aja? liat bintangnya besok?” tanya gue menawarkan

lagi-lagi dia menggeleng, “nggak, gausah.. nanti kita nginep di hotel aja”

demi bulan purnama. gue harus bereaksi kaya gimana ya ngadepin sikap aji daritadi..

aji terkekeh melihat ekspresi bingung gue, “kamu mikir apa.. hahahaha”

“ng-nggak! aku ga mikir apa-apa, soudzon nih, kamu”

ngga sih, bohong. aslinya mah, ya, otak gue udah kemana-mana pikirannya. cuman gue gamau aja keliatan kaya cowo nggak bener buat aji. ntar dia takut, kan.

tapi sebenernya emang gue udah niat mau nginep di hotel aja, sih. cuman, ga nyangka aja kalo aji yang bakal nyaranin itu.

ini gue boleh berharap bakal diterima ga? boleh kan ya..

“aku merem bentar, ya.. nanti kalo udah sampe bilang aku” ujar aji yang gue balas dengan anggukan kepala.

setelah itu, aji pun memejamkan matanya

cantik. cantik banget.

bulu matanya yang lentik, bibir ranum yang terkatup rapat, serta pipinya yang merona sedari tadi. cantik, (calon) cowo gue ini sangatlah cantik dan indah.

sebelum melanjutkan perjalanan, gue memutuskan untuk menepi terlebih dahulu. lalu, mengambil jaket yang selalu gue simpan di kursi belakang. siapa tau aji butuh, ya kan.

setelah itu gue pun memutar lagu-lagu yang sering aji dengar, setahu gue, sih, dia jadi cepet tidur kalo dengerin lagu ini. walau lagunya berisik dan kurang nyaman buat dipake teman tidur.

gue akuin, aji itu special. alias, ya beda aja gitu dari yang lain? contohnya ini.

orang kalo tidur pasti bakal mutar lagu yang slow atau buat ngantuk gitu, kan? beda dengan aji. lelaki mungil kesayangan gue itu bakal tidur kalo diputerin lagu hindia. jujur, gue jadi mikir kalo nanti tidur bareng dia gimana, ya, jadinya?

“uyon.. jangan ngebut.. pelan-pelan..” lirihan aji pun mengalihkan perhatian gue

lucunya. (calon) cowo gue ngelindur. aduh, lucu banget gue pingsan aja apa, ya?

“iya sayang, maaf ya..” ujar gue sembari mengelus pucuk kepalanya dengan pelan.

jujur, gue nggak pernah nyangka kalo kisah gue dan aji akan menjadi seperti ini.

maksud gue tuh, kayak, dulu kita pertama ketemu aja saling sewot-sewotan, jadi nggak pernah terlintas aja gitu di pikiran gue kalau gue bakal jatuh sejatuh-jatuhnya, sama lelaki mungil satu ini.

pertemuan pertama kami memang agak kurang menyenangkan, ya. terlebih lagi, gue yang ngajak aji ribut dengan muter lagu mba nella kesayangan gue yang posisinya tentu sudah tergantikan dengan aji.

sudah begitu, aji ikut membalas gue dengan muter lagu hindia tiap malemnya. dari situ, gue jadi ikut merasakan apa yang aji rasakan dan akhirnya mengerti perasaan dia.

tapi kemudian, entah berasal darimana, perasaan yang lain pun ikut muncul ketika sedang bersama lelaki mungil yang satu itu.

nyaman, tenang, dan damai.

rasanya, berada di dekat dia selalu membawa kenyamanan yang nggak pernah gue rasain sebelumnya.

berbicara berdua dengannya selalu memberikan rasa ketenangan di diri gue.

walau, jujur, kadang sikap dan perilakunya kadang ada yang tidak gue mengerti.

aji itu, ibarat memiliki dua orang atau lebih di dalam tubuh kecil nan mungilnya itu.

sekarang atau pun di detik selanjutnya, dia bisa saja berubah tanpa sebuah notifikasi terlebih dahulu.

kalau dulu, mungkin gue akan kaget dan nggak bisa menyesuaikan dengan sikap aji yang selalu berubah-rubah. tapi, sekarang, gue harus mulai terbiasa.

karena bagaimanapun, di hari ini, gue akan melakukan sesuatu yang akan mengubah jalan cerita kita berdua.

gue, memutuskan untuk melamar aji,

menjadikan lelaki itu sebagai satu-satunya,

bukan salah satunya,

bukan lagi sebagai pilihan,

namun,

sebagai tempat pemberhentian.


“aji, hey.. bangun, ini udah sampai”

jam dua pagi, kami udah sampai di bukit tinggi yang gue janjikan ke aji. sebelum insiden dimana habis itu ada salah paham.. ya, akhirnya, kesampaian juga.

anyways, aduh gaya banget nggak sih make bahasa inggris gini? haha gapapa ya.

ini udah kesepuluh kalinya gue bangunin aji—yang tidak kunjung membuka matanya. pulas sekali dia tertidur.

jadi merasa bersalah.. apa harusnya tadi gue puter balik aja, ya?

hmmh?

oh, kali ini ada sahutan dari si kecil

“udah sampai, sayang.. bangun, yuk? atau kita pulang aja, haha”

ini udah kesekian kalinya juga gue manggil dia dengan sebutan sayang, tapi belum kena pukulan satu pun.

gue boleh percaya diri nggak sih, kalo lamaran gue malam ini bakal diterima dengan hati gembira suasana riang?

aji menggulat, menggaruk pipi yang membuatnya terlihat makin lucu. kalo misalnya ngeliat wajah aji ada gulanya, gue udah diabetes. “udah nyampe? cepet banget..”

cepat cepet cepat cepet,

kamu kan tidur, sayangku..

yang nyetir dan nahan ngantuk terjaga sepanjang perjalanan hanyalah diriku..

“iya, tadi emang gak macet, sih” ujar gue menimpali ucapannya

dia pun mengangguk, tetapi masih dengan mata yang hanya setengah terbuka, “hey, jadi liat bintang gak?”

kali ini dia menolehkan wajahnya, “mau..” suara khas bangun tidur aji sedikit membuat gue merinding

aduh, gimana yak, saudara-saudara sekalian..

kaki dan tangan gue seketika berubah jadi ager, kaga sanggup.

“iya iya, ayo turun”

dengan sesegera mungkin gue turun terlebih dahulu tanpa mematikan mobil dan juga membukakan pintu untuk aji. gue yakin, aji akan meneriaki gue dengan suara serak-serak gantengnya

“uyoon! ish, orang aneeeh aku ditinggal! MESIN MOBIL KAMU NYALA AKU TINGGAL JUGA BIARIN AJA DICURI ORANG!”

nah, kata gue juga apa.

dengan perlahan, gue membalikkan tubuh dan melihat aji sedang bersedekap dada. lelaki mungil itu sudah turun dari mobil, benar-benar meninggalkan mobil gue dengan pintu terbuka lebar dan mesin menyala.

“ji..”

“apa?!”

galaknya aji ternyata makin beragam.

galak aslinya, galak laper, dan galak baru bangun tidur.

untuk yang ini, galak baru bangun tidur

ok, gue maklumi.

“kamu tuh gak niat ajak aku apa gimana sih masa ditinggal sendirian di mobil kalo aku mati gima-”

ah, bawel

cup!

gantian, gue yang cium dia duluan.

kan, reaksinya sama persis kaya gue tadi. muka-muka cengo dan dungu terus kedip-kedip manja gitu.

namanya juga jodoh, ya, jadi ga kaget gue kalo kita mirip

“UYON APAAAN SIH?” salting dia jhaaa

tapi gue jadi takut

karena mukanya berubah merah banget..

entah karena demam, alergi sama bibir gue, atau emang dia salting gue juga gak tau

kayanya alergi sama bibir gue, sih

“udah ah! gak jelas lu!” katanya yang kemudian meninggalkan gue sendiri

padahal gue juga yakin, dia nggak tau mau ke arah mana. “ji, ke arah kanan ... bukan kiri, sini ntar kamu nyasar”

seketika dia berhenti, menoleh ke arah gue dan menatap nyalak seakan-akan mau nerkam saat itu juga. buset, galak banget.

tapi, ya, cakep juga..

“UDAH TAU!”

kucing garong lu, dasar.


“udah kamu duduk situ aja, ngapain jauh-jauh?”

lagi-lagi aji menatap gue dengan sinis, “biarin sih? orang bangkunya kosong semua gini, kan sayang kalo duduk cuman satu tempat”

ett dah, bener-bener (calon) laki gua.

kaga tau aja dia buat nyewa satu tempat ini makan duit berapa, ye, kan. “depan aku aja, sih?”

dan dia menolak keras.

waduh waduh, sekarang make bersedekap dada lagi.

galaknya melebihi ibu kostan (bukan bu ida) yang lagi nagihin uang bulanannya. kayanya ntar abis nikah kita buat usaha kostan aja, ya, cil?

tapi, daritadi yang buat gue curiga adalah menggembungnya kantong celana lelaki mungil itu.

... nggak mungkin kan, ya, kalo itu kotak cincin gue? iya, kan? gak mungkin..

“kamu ngantongin apaan?”

handphone

kaga, kaga. kalo handphone nggak bakal menggembung balon gitu, kan dia benda pipih?

dengan panik, gue merogoh saku celana dan jaket gue.

hehe,

goblok,

nggak ada.

“kita di sini liat bintang doang, yon?”

“h-hah? bentar-bentar”

aji terkekeh, “kenapa? ada yang ilang?”

KAN. itu kotak cincin pasti ada di dia.

mati gue.

kaga lucu ini masa udah ketahuan?

“duduk sini dulu, deh”

KAGA MAU MASA UDAH KETAHUAN??? cok, asu..

gue menggeleng dengan keras dan perlahan mundur menjauh dari aji. lelaki mungil itu berdecak pelan, lalu menarik lengan gue dan memaksa untuk duduk di kursi.

serta,

mendudukkan dirinya di atas pangkuan gue

kayanya, abis pulang dari sini gue harus ngecek kesehatan jantung

bener-bener udah nggak waras.

“diem.” ujarnya yang membuat gue menganggukan kepala secara otomatis. “nah, uyon, si jawa ku pecinta nella kharisma yang tentu posisinya udah tergantikan dengan ryon aji purnama,”

aji tersenyum, sebelum akhirnya menepuk pipi gue dengan kedua tangannya, “will you..”

bentar. chottomatte kudesai.

“marry me—hahahahahahhaahha ya Allah bentar muka lo kenapa gitu!”

what.

the.

fuck.

is.

happening.

right now.

anjay dulu gak? anjay.

TAPI BENERAN INI APA-APAAN?

masih dengan kekehannya yang terdengar sangat bahagia itu, aji mengeluarkan sekotak cincin dari sakunya

iya,

beda,

sama yang punya gue.

gue mau nangis, beneran nggak lebay ini kenapa jadi begini bentukannya kita berdua.

jadi, kita sama-sama mau melamar hari ini?

ini lucu,

hidup gua lucu.

“kenapa kaya naber gitu, sih? LO BENERAN NABER, KAH?” ujarnya sembari menjauhkan dirinya dari pangkuan gue,

yang tentu saja gue tarik untuk duduk lagi.

cie elah, kaget dia.

harusnya kan gue yang kaget karena dia lamar hari ini?

“aduh! sakit?!”

iye, sama. sakit juga ini.

gue mengulum bibir, “coba ulang dong? yang tadi?” goda gue kepada aji.

kan, kalo diginiin dia jadi malu-malu kucing. “ish, kan tadi lo udah denger?”

terus berubah deh dari aku-kamu, jadi lo-gue. tipikal aji banget.

gue menggeleng, “nggak denger, kamu tadi ngetawain mukaku terus nuduh aku naber” ujar gue masih menggoda aji.

mendengar itu, aji menunduk dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher gue. “masa nggak denger..”

gue terkekeh, “nggak, sayang.. ulang dong?”

pukulan di lengan gue dapatkan, nggak terlalu sakit kali ini. tapi gue akan selalu melebih-lebihkan karena siapa tau aji berbelas kasihan, “aduh! aji sakit!”

“maaf.. maaf.. sakit banget, ya?”

aduh, dielus-elus. jadi enak.

dengan cepat, gue menangkap tangannya dan memegangnya erat, “nggak jadi sakit kalo kamu ulang yang tadi”

“will..”

“hm? will apa?”

“willy wongka..”

speechless. tapi gue akan menghargainya dengan tertawa sebahagia mungkin. “HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA” iya, sebahagia itu.

aji mempautkan bibirnya, lagi-lagi memberi gue pukulan manja, “uyon, ish!” gemes banget gue pusing.

“aku mau serius.. UDAH DULU KETAWANYAAAAA”

ok, udah marah.

gue berdeham, “iya lanjut”

setelah itu, aji pun menegakkan tubuhnya. menatap lurus mata dan memegang erat kedua tangan gue.

dia gugup.

terlihat dari telapak tangannya yang sedikit basah sekarang, bahkan berkali-kali dia ngalihin pandangannya buat nggak menatap mata gue.

iya, sih, kalo gue di posisi aji pun bakal sama gugupnya.

dan seharusnya juga, gue ada di posisi aji

yang pertama kali mengucap, 'willy wongka' nggak, bercanda.

pertama kali mengucap, 'will you marry me?', harusnya adalah gue, bukan aji.

tapi, karena dilihat dari gugupnya lelaki mungil satu ini, gue nggak mau merusak rencana dia. maka dari itu, gue mutusin untuk diam dan menunggu.

mungkin, nanti, sehabis ini akan jadi giliran gue.

“uyon..”

“pertama, aku mau ucapin banyak-banyak terima kasih ke kamu.. karena, yaa, udah sabar ngadepin sikap aku yang begini,”

i'm not perfect, uyon, dan kamu bersedia untuk nerima kekurangan aku.”

“aku juga nggak sempurna, sayang” ucap gue menyela

aji pun menghela nafas, lalu menaruh telunjuknya di depan bibir gue, mengisyaratkan untuk diam.

“terus juga, apa ya? makasih udah milih aku...”

“kamu bukan pilihan”

“bisa nggak jangan nyela ucapan aku terus?”

gue tersenyum, lalu mengusap jemari jihoon yang masih basah sekarang, “iya, maaf. lanjutin,”

“tapi kamu bukan pilihan”

“IYAAA ASTAGAA”

“ok lanjut”

aji menghela nafas, “aku juga ... minta maaf karena salah paham terus ke kamu,”

i just.. apa ya? aku takut, uyon. aku beneran setakut itu kalo ternyata, untuk kali ini, kisah cinta aku jelek lagi.”

“terlebih, sama kamu. aku takut, yon. banget.” kali ini, dia kembali menaruh kepalanya di ceruk leher gue.

sebenernya, sih, geli. bukan dalam artian gue nggak suka atau gimana ya, tapi beneran geli, karena deru nafasnya langsung ke leher gue. “aku bisa relain kisah cinta aku jelek, tapi aku nggak mau kalo kita juga berakhir seperti itu. aku nggak akan ikhlas.” lanjutnya lagi.

aduh, jadi mellow.

gue nggak tahu kalo ternyata perasaan aji ke gue, udah sedalam ini. sampai-sampai dia beneran takut untuk kehilangan gue dan melindungi dirinya sendiri dengan sikapnya yang seperti itu.

kalo begini kan, makin besar aja hasrat gue untuk melindungi si mungil satu ini.

cringe, nggak sih?”

gue menggelengkan kepala, lalu merapihkan anak rambutnya yang menutupi bagian mata aji, “aku suka.”

walau sebenernya gue nggak bisa sepenuhnya melihat wajah aji, gue tau kalo (calon) cowo gue itu sedang tersenyum sekarang, “aneh.” ejeknya

“aji”

“ya?”

“belum selesai, kan? willy wongka nya mana?” ujar gue seraya kembali menegakkan kepala aji. “hah?”

gue terkekeh, “kamu udah selesai ngomong, emang?”

“... belum”

“terus kenapa diem?”

“aku ... ngantuk”

coba, jawab gue. di daerah bagian mana dan dimana lagi ada orang yang ketika sedang melamar, dia berhenti dulu karena ngantuk? iya, aji doang.

gue curiga kalo sebenernya dia nggak niat buat ngelamar gue, “yaudah, mau ke hotel?”

“aku kan belum ngelamar kamu?”

“tapi kan kamu ngantuk, ji..”

“lah, aku belum ngelamar”

iya, gue heran kenapa bisa sejatuh cinta ini sama lelaki mungil yang galak dan kadang otaknya suka ketinggalan itu.

beneran, deh, tiap harinya gue selalu amaze akan sifat aji yang beranak-pinak itu.

adaaa, aja, pasti yang baru.

“yaudah cepet lamar aku”

“kok kamu maksa, sih? kamu nggak tau aku ngantuk?”

iya, kamu ngantuk. aku ngantuk. udah lah kita tidur aja di sini kaga usah ke hotel

gue menghela nafas, “yaudah, kamu maunya apa?”

“kamu ngapain hela nafas begitu? capek ya ngomong sama aku? aku nyebelin?”

Ya Allah.

Gusti Nu Agung.

Demi Planet Neptunus.

ini orang kalo lagi ngantuk udah bukan berkepribadian ganda lagi. udah beragam kepribadian di tubuh dia sekarang. gak heran.

“pulang aja, yuk?”

“AKU BELUM LAMAR KAAAMUU!”

“iya.. ayo lamar aku”

“HUHUUHU KOK KAMU MARAAAH”

siapa yang marah. SIAPA YANG MARAH.

tapi,

gue menyerah.

dengan senyuman kecil di wajah, gue meninggalkan aji seorang diri di bangku yang tadi kita tempati berdua. “kamu ... k-kamu mau kemana, UYON KENAPA NINGGALIN AKU”

“UYON BALIK GAAAAAK”

beneran berkepribadian yang sangat beragam, bukan?


“bu-bunda.. hiks hiks uyon.. uyon ninggalin aku bunda huaaa

mampus. gue mampus.

dari kejauhan, gue bisa liat aji yang sedang memegangi telfonnya dengan kedua tangan. lelaki mungil itu berjongkok, padahal di sampingnya ada kursi—dan, ya, sedang menangis.

“bunda.. aku nggak tau ini dimana.. anak bunda kayanya bakal mati habis ini, bunda.. huaa..”

hush, kenapa ngomongnya gitu? uyon kemana?”

“UYON NINGGALIN, AKU BUNDAA..”

beneran mampus ini.

“... kamu dimana? bunda jemput ya..”

ya.. semoga nyawa gue sehabis ini bakal masih ada, ya.

dengan cepat, gue berlari ke arah aji dan mengambil telfonnya, “halo, bunda, assalamualaikum.. ini uyon”

“... uyon?”

“iya, bunda. maaf, tadi habis ke toilet sebentar, lupa bilang ke aji juga jadi dia kira saya udah pulang..”

“oh gitu.. tak kira, kamu beneran ninggal aji..”

“haha, nggak mungkin bunda.. ini aji kayanya udah ngantuk juga, jadi tambah sensitif deh makanya nangis”

“ya sudah kalo gitu.. nak, uyon, bunda titip aji nya ya.. kalo emang nggak sanggup nyetir pulang, nginep aja ndak apa. bunda kasih izin, kok”

asik, langsung dapet izin dari mertua tanpa gue minta terlebih dahulu. ini mah namanya bukan lampu ijo lagi

“iya, bunda. tenang, aji aman kok sama saya”

“yowis.. assalamualaikum, nak uyon”

waalaikumsalam, bunda”

setelah itu, gue melirik ke arah aji yang masih berjongkok dan menundukkan kepalanya. entah karena masih nangis, malu, atau bahkan tertidur.

“aji.. hey? kamu masih nangis?”

karena tidak kunjung mendapat jawaban, gue pun ikut berjongkok di samping aji.

pipinya basah, matanya sembab, tetapi ia sudah berhenti menangis sekarang, “aku kira kamu pergi..”

kan, lucu banget.

“nggak.. aku ke mobil sebentar terus ke toilet, maaf ya..” ujar gue sembari membenarkan poninya yang menutup bagian mata aji.

dia pun mengangguk pelan, mengangkat kepala yang menunjukkan wajah cemberutnya, “jangan pergi tiba-tiba gitu.. aku belum lamar kamu..”

astaga, Ya Tuhan.

berbicara tentang lamar melamar, gue jadi inget akan kotak cincin yang sekarang udah ada di kantong jaket gue

iya, sebenernya tujuan gue ke mobil tadi adalah untuk ngambil kotak cincin tersebut. terus ke toilet karena mau rapihin rambut, biar keliatan cakepan dikit gitu pas ngelamar.

tapi, gue jadi bingung mau ngelamar dia kapan kalau (calon) cowo gue ini masih aja gelendotan dengan wajah cemberutnya itu.

“ji, sini deh berdiri dulu.. terus duduk di kursi, emang nggak pegel jongkok gitu?”

aji menggeleng, yang membuat gue hanya bisa tersenyum masam melihatnya

“aku mau ngomong, sebentaaar aja” dan lagi-lagi, lelaki mungil itu menggelengkan kepalanya

gue pun memutuskan untuk mengalah, kembali berjongkok, lalu mengeluarkan sekotak cincin yang sedari tadi gue simpan, “aku mau masangin kamu ini, nggak mau emang?”

terlihat sekali kalau aji terkejut melihat kotak cincin di hadapannya itu, “i-ini? uyon.. bercanda ya?”

gue menggeleng, “nggak. aku nggak bercanda, ini emang untuk kamu,”

“aku nyewa semua tempat ini—yang seharusnya udah tutup—karena mau masang ini di jari kamu, aji.”

“tadi, aku sempet mikir kalau cincin yang kamu pegang itu punyaku. aku kira, aku ketahuan dan gagal surprise-in kamu,”

“nyatanya, aku yang dikasih surprise, hahaha.”

jujur, ya, gue ngomong begini ke aji sebenernya mah gugup setengah mampus. beneran, kayak, gugup banget?

thanks to aji yang nggak mau berdiri tadi, kaki gue jadi nggak keliatan kalau sedang bergetar hebat di bawah sana. beneran, gue segugup itu.

“aku.. emang masih banyak kurangnya, aku tahu. bahkan kayaknya, kekurangan aku udah nggak bisa dijabarin dan dihitung satu persatu lagi, sangking banyaknya,”

“tapi, aji, kamu tau nggak?”

“kalau dengan kehadiran kamu, aku merasa terlengkapi.”

“bersama kamu, aku ngerasa luar biasa tiap harinya.”

“aku nggak tahu harus berterima kasih seperti apalagi sama bos mu yang minta kamu pindah ke jogja, terus ngekost di kembang.”

“atau pun, aku nggak tahu harus berterima kasih kaya gimana ke bu ida yang udah ngasih nomor aku ke kamu dan bahkan nempatin kamar kamu di samping aku”

“aku juga nggak tahu harus berterima kasih kaya gimana ke jea, karena itu, aku bisa ter-notice sama kamu”

“dan yang terakhir, mba nella kharisma. mungkin, tanpa dia, aku nggak bisa buat kamu sadar akan kehadiran aku di kostan kembang.”

gue mengulum bibir, “mungkin, orang bakal bilang ini cuman kebetulan biasa. tapi, bagi aku, ini sebuah keajaiban. karena bisa mendatangkan kamu ke hadapan aku.”

“aku nggak tau, ji, beneran nggak tau akan kaya apa jadinya kalo kamu nggak pernah ada di kehidupan aku,”

“mungkin, seumur hidupnya aku bakal tetap nangisin istri orang di kostan kembang sambil nyetel musik kencang-kencang,”

“mungkin juga, bu ida bakal bangkrut karena penghuni kostan bakal kabur semua.”

“dan aku sangat berterima kasih kepada Tuhan, karena telah mendatangkan kamu ke kehidupan aku.”

walau rasanya gue mau ngumpet dan guling-guling sekarang, gue harus tetap stay cool saat ngebuka kotak cincin itu, memperlihatkan satu buah cincin berwarna silver, warna kedua kesukaan aji.

“ryon aji purnama.. iyon ku sayang,”

“.. will you, marry me?”

dengan itu, aji menangis sangat kencang sembari memegang erat kedua tangan gue. untuk yang ini, gue nggak tahu karena efek ngantuk atau emang terharu sama pidato gue tadi.

tapi, gue yakin, kalau pada bahwasanya air mata itu bukanlah air mata kesedihan. namun, air mata bahagia.

“a-aku.. hiks hiks

gue terkekeh, aji dengan bibir maju dan mata sembabnya, entah mengapa terlihat sangat lucu sekarang. “hm? kenapa? mau nggak?”

dan, ya, sepertinya dia nggak sanggup untuk menjawab pertanyaan gue. karena jawaban yang gue dapatkan adalah anggukan kepala, serta aji yang menghambur ke dalam pelukan gue.

“hahaha, gemes banget, sih? cincin buat aku tadi mana?”

“i-ini.. a-aku tadi takut.. m-makanya ng-nggak aku kasih-kasih ke kamu..” ujar aji sembari memberi kotak cincin dari saku celana nya

di sana, terdapat dua buah cincin emas dengan model simple. tanpa ada permata, hanya sebuah tulisan yang terukir di dalam cincin tersebut, bertuliskan

‘ryon's’

dan yang satu lagi,

‘abiyasa's’

tunggu, darimana aji tau nama gue abiyasa? sedangkan gue nggak pernah sekali pun memberi tahunya, atau pun anak kembang tentang nama gue.

“kamu tau dari mana nama aku abiyasa?”

“... aku tanya jeje”

hah?

bentar.

BENTAR.

kapan? sejak kapan mereka saling tukar kontak? dan kenapa gue nggak tau sama sekali tentang ini

“bohong, ya?”

lelaki itu pun terkekeh pelan, lalu mengangguk, “iya, hehe, bohong.”

kan. jantung gue hampir aja copot denger itu. karena bagaimana pun, aji dan jeje tidak boleh dipertemukan.

karena gue tau, aji orangnya emosian dan cemburuan, serta jeje, yang kadang kala lupa dengan title nya sebagai istri orang, “aku nanya ibu ... tentang nama panjang kamu”

ah, pantes.

“abiyasa nareswara,”

“kenapa panggilannya jadi uyon?”

gue tau kalo suatu saat aji akan menanyakan perihal nama panjang gue, tapi, jujur, gue belum siap untuk ngejawab ini

“karena.. ibu manggil aku uyon?”

“ya, kenapa?”

“gapapa?”

dengan tatapannya sekarang, gue yakin lelaki mungil satu itu sedang menyumpah serapahi dan mengatai gue dengan sebutan aneh, gila, dsb.

karena tatapan aji sangat terbaca walau memang bibirnya tidak berbicara apa-apa.

“oke.”

walau gue bingung kenapa aji nggak menanyakannya lagi, gue tetap lega karenanya.


“tidur, ya? nanti kalo udah sampe aku bangunin”

aji mengangguk, “bangunin.. aku nggak mau digendong.. malu” ujarnya dengan setengah mengantuk

“iya, nggak aku gendong”

dengan begitu, aji pun memejamkan matanya. ia tertidur dengan kursi yang ditidurkan serta jaket gue yang menjadi selimutnya.

hari ini memang tidak sepenuhnya berjalan seperti kemauan gue, tapi, gue juga nggak nyangka kalau aji sudah menyiapkan cincin.

bahkan, cincin tersebut sepasang.

gue jadi merasa bersalah, karena udah ngebuat aji merasa harus memulai duluan

entah karena gue yang terlalu tidak peka, atau pula memang aji pun menginginkan hal yang sama sedari dulu

dan hari ini, adalah waktu yang tepat untuk menjalankannya.

sebelum benar-benar menjalankan mobil, gue kembali melihat ke arah aji

lelaki mungil itu tertidur dengan sangat pulas, padahal baru lima menit berada di mobil

dengan perlahan, gue mengusap kepalanya, lalu memberikan kecupan di pelipis serta keningnya,

sleep well, my fiancé

⚠️ trauma

ikhsan's pov. kenalin, nama gua ikhsan atau yang biasa dipanggil dengan ican. pacar dari seorang laki-laki bernama, guan.

nah, basa-basi udah kelar, sekarang waktunya balik ke laptop, alias ke waktu dimana gua lagi berada di motor kesayangan menuju rumah guan. iya, sekarang, hari ini, dan bukannya besok.

gua tau kalo masalah ini ngga di selesaiin hari ini, yang ada besok hubungan gua dan guan akan benar-benar kandas. walau cowo gua satu itu keliatannya ogah-ogahan pacaran sama gua, sebenarnya dia sayang. bahkan, cemburuan banget.

jadi, ketika pertama kali gua baca kata 'juju' di notif chat dia, gua memutuskan untuk langsung ke rumah guan tanpa berpikir ulang. gerimis? gapapa. gua rela ngelakuin apa pun buat guan supaya laki gua ngga jadi mutusin gua.

coba deh kalian mikir, gua dapetin guan itu usahanya ga gampang. perlu salah paham dulu, perlu ngusir deon dulu, perlu buat dia peka dulu. alias, ya bener-bener nggak gampang? jadi ya, kali aja, gua ngebiarinin hubungan ini kandas cuman karena gua keliatan berada di ruangan yang sama dengan mantan pacar yang gua aja gatau kalo dia ada di situ?

sumpah, demi cinta gua ke guan, gua bener-bener nggak tau kalo ada juju di sana. sama sekali. bahkan ketika gua nge-post foto yang bang gibran fotoin di twitter itu, gua ngga sadar.

entah karena gua buta, atau emang karena terlalu terpesona sama kegantengan diri sendiri. anjay, 'penis'=pede narsis.

tapi beneran, gua ga bokis atau pun berusaha membela diri saat ini. gua bener-bener gatau kalo di sana ada juju. bahkan, pas gua berdiri dan juju ngeliat gua, gua mutusin buat ngga nyapa sama sekali.

bener-bener kaya, gua melengos aja gitu? takut bang milan cepu ke guan yang justru nambahin api ke dalam cemburunya guan saat ini.

bisa-bisa, hubungan gua kandas beneran.

dan di sini lah gua sekarang, depan pager rumah guan yang ternyata belum digembok oleh empunya.

tumben, sebenernya. karena guan adalah tipe orang yang sangat memperhatikan hal sekecil ini dan ngga mungkin ceroboh.

tapi pager rumah guan sekarang pun ngga ditutup dengan benar, alias pager itu terbuka sedikit.

membuat gua bertanya-tanya, apa guan lagi keluar?

“ngapain kamu di sini?”

nah, ini suara cowo gua.

gua pun memutuskan untuk balik badan, tapi mengurungkan niat ketika ngeliat guan ngga sendiri.

iya, dia sama deon.

gua mengatupkan mulut, mematung tidak percaya akan hal yang gua liat saat ini, “aku tanya ngapain kamu di sini, ikhsan?” ujarnya lagi.

ngapain? dia tanya ngapain? gua mau nanem padi di depan rumahnya, kenapa? mau protes?

gua terlalu tidak percaya buat ngejawab pertanyaan pacar gua itu. terlebih lagi, ketika ngeliat deon tersenyum ngeledek di belakang guan.

“deon, udah sana pulang. tadi bukunya udah, kan? gue mau masuk dulu, ya.”

deon yang mendengar itu ngangguk, lalu ngangkat tangannya menuju kepala guan yang tentu saja, gua tahan, “weseeh, bos, mau ngapain lu?”

ya, deon bocah songong. itu orang, sekarang makin ketawa ngeledekin gua, “ngelus kepala guan, dong? kan tadi dia habis nangis, masa gua gaboleh nenangin dia?” benar-benar menyebalkan.

gua mendengus, “nggak. udah ada gua, mending lu pulang.”

kiss good bye nya, mana?”

anjing. anjingnya dari segala anjing adalah deon seorang. kesabaran gua udah habis.

buagh

dan, iya, gua nonjok deon.

“ICAN! APAAN SIH?! deon.. deon.. lo nggak papa? sakit nggak? ICAN LO GILA YA?”

yaelah, yang. terusin aja kata gua, terusin.

“pulang.”

wow. gua otomatis ketawa ngedenger itu, “aku? kamu nyuruh aku pulang, guan? are you serious right now? aku bela-belain ke rumah kamu walau aku tau sekarang gerimis dan rumah kamu jauh! tapi apa? deon? kamu sama deon, guan.”

“... bukan kamu. deon, sana pulang.”

crap. gua kelepasan.

gua mengusap wajah dengan kasar, enggan melihat guan yang sedang membantu deon untuk berdiri, “lagi dong nonjoknya, masa cuman sekali?” anak anjing.

“jangan ... jangan sakitin tangan kamu, aku mohon..”

oh.

oh?

ternyata, guan mengkhawatirkan gua.

dengan itu, gua pun menghela nafas berat dan memejamkan mata. berusaha menahan untuk ngga nonjok deon dengan mengepalkan tangan gua di belakang.

“maaf ya, pacar gua khawatir tangan gua luka. jadi, mending lo cepet-cepet pergi dari sini, bajingan.” ujar gua sambil menendang kap mobil deon dengan cukup kencang.

sakit. emang.

tapi ga mungkin gua ngeluh kesakitan di hadapan deon. yang ada, bocah songong itu makin ketawa ngeledekin gua.

“ican! astaghfirullah.. udah kenapa sih, udah..” sialan, guan kalo udah ngomong lirih begini rasanya tubuh gua berubah menjadi jelly. lemes, bro.

kan, deon ketawa sambil ngusap kap mobil yang gua tendang tadi, “santai aja, bro. kenapa? takut cowo lo gua ambil?” kayanya bukan gua doang yang gerah sama kelakuan deon, buktinya guan maju sambil ngedorong itu bocah dengan cukup keras ke dalam mobilnya, “gua udah bilang pulang, ya pulang. ngerti bahasa manusia nggak, sih, lo?” cowo gua ngamuk.

“iya sayang, aku pulang dulu” ujar dia sambil tangannya beranjak menuju pipi guan. kali ini, bukan gua yang berhentiin. melainkan guan sendiri.

“sekali lagi lo nyentuh gua tanpa izin, terutama di depan cowo gua, tangan lo bukan gua pelintir lagi. gua patahin! mau, lo?!” keren. cowo gua paling keren.

walau sebenarnya gua masih ngambek, gua harus tetap mengapresiasi akan apa yang sedang guan lakukan sekarang.

deon tersenyum kecut, “s-sakit.. guan, sakit, astaga!”

dengan itu, akhirnya guan melepaskan tangan deon. kemudian, bocah songong itu pun nutup kaca jendela dan pergi dari perkarangan rumah guan.

gua yang udah ngeliat deon pergi pun berjalan menuju motor gua dan menggunakan helm. entah, ngerasa ngga pantes aja buat menetap di sini.

“... kamu mau kemana?”

“pulang”

weseh, jawaban gua jutek juga, ya. takut-takut, gua ngeliat reaksi yang guan berikan. kaget, sedih, bingung, campur aduk.

sebelum gua benar-benar menyalakan motor, guan berlari ke arah gua dan memegang tangan gua yang dipakai buat nonjok deon tadi, “sakit ngga.. maafin aku ya, maafin guan..”

aish. emang cowo bucin kaya gua ini ngga ditakdirin buat sok-sok an marah sama pacar sendiri. lemah. bawaannya mau langsung maafin terus cium pipi dia berkali-kali.

“nggak, santai, udah biasa.”

dengan perlahan, guan mengelus tangan gua dan membawanya ke pipi gembil miliknya. sialan, benar-benar sialan. lucu banget, setan.

walau rasanya gua mau karungin cowo gua ini dan keep him to myself, gua harus menahannya dan tetap masang wajah jutek untuk mempertahankan harga diri.

harga diri nih, bos!

“masuk dulu.. aku obatin” ujarnya yang membuat gua otomatis menarik tangan, “nggak, gausah. aku pulang aja, udah malem juga.”

di ujung mata, gua bisa ngeliat kalo saat ini guan tengah ngegigit bibirnya. tangannya ada di depan, memainkannya dengan tubuh yang sedikit bergetar.

mampus, dia nangis.

“aku.. a-aku minta m-maaf.. ta-tadi dia cuman mau ambil b-buku doang, i-ican.. aku ng-ngga bohong, serius..”

mampus lu ikhsan.

“i-ini tangannya di-diobatin d-dulu.. s-sakit kan..”

gua membuang muka, tapi mengalurkan tangan yang luka tadi, “iya. ok. jangan nangis.” ujar gua.

seketika, tangisan guan berhenti. cowo gua itu langsung mengelap ingusnya yang dengan tisu yang selalu ia bawa kemana pun, “a-ayo.. masuk..”

gua tersenyum kecil, “iya, ayo masuk.”


“sakit ngga.. sakit, ya? bentar ya tahan sebentar..”

sebenarnya gua mau jawab sakit, cuman gengsi aja.

“aku ngga tau kalo di sana ada juju, aku beneran ngga tau. bahkan pas dia ngeliat aku dan mau nyapa, aku sama sekali ga tanggepin dan langsung berangkat ke sini.”

“...”

“kalo kamu ngga percaya, yaudah, ngga papa. itu hak kamu buat ngga percaya sama aku,”

“aku di sini cuman mau jelasin itu aja.”

guan masih ngga ngejawab omongan gua. cowo gua itu, masih sibum ngobatin tangan gua yang luka, “kamu dengerin aku ngga sih?”

“... iya, denger.”

“nah, udah selesai.” ujar dia sambil menatap mata gua.

tapi, karena gua salting, gua pun ngalihin wajah dan berusaha ngga liat mata dia, “papah udah tidur?”

guan yang ngelihat gua ngalihin wajah pun langsung tersenyum kecut, setelah itu dia bangkit dan menaruh kotak p3k itu kembali pada asalnya, “iya, udah malem.”

gua pun mengangguk mengerti, bingung mau bahas apalagi, “maaf aku cemburuan.”

“juju.. waktu itu pernah ngechat aku, pas awal kita pacaran dulu.”

tunggu, gua ngga pernah denger cerita ini dari dia.

“dia ngerendahin aku. bilang kalo selera kamu turun banget, dari spek juju ke spek an yang kaya aku ini,”

guan terkekeh miris, “aku ngga marah, aku bilang ke dia buat katain aku sepuas dia.” sebelum dia melanjutkan, guan natap mata gua, “tapi dia malah ngerendahin kamu”

“dan aku ngga suka.”

gua tercengang. ternyata, cowo gua sesayang itu sama gua. and i'm so glad that i have him in my life.

“dia bilang kamu juga kaya babu pas deketin aku, nemenin aku kemana-mana bahkan dia bilang kamu suka bayarin aku kalo jalan,”

“padahal aku juga sering bayarin kamu..” lucunya. cowo gua cerita sambil mempautkan bibir.

“terus dia bilang kalo kamu tuh dulu ngga modal, dia nanya ke aku kenapa mau sama cowo kaya kamu,”

guan mengkerutkan keningnya, “aneh ngga sih dia? ngga jelas tujuan dia ngechat aku tuh buat ngerendahin aku atau ngerendahin kamu?” gua pun tertawa, “ngga papa, dia emang aneh.”

“terus? ada lagi?”

guan menggeleng, tapi keliatan kalo sebenernya masih ada yang belum ia ceritakan ke gua, “ngga papa, sayang, cerita aja ke aku”

lagi-lagi guan menggeleng, “ngga, ngga ada.” ujarnya sembari tersenyum

kalo gini, gua jadi makin curiga.

jangan-jangan, juju ngatain guan yang ga bener?

“dia bilang apa tentang kamu?” dan guan masih menggelengkan kepala, “... ngga ada, serius.”

“gunadhya saka.”

untuk pertama kali semenjak pacaran, gua manggil dia dengan nama panjangnya. keliatan sekali kalo cowo gua kaget dan merasa takut, “ngga papa, sayang.. kamu bilang aja ke aku, ya?”

setelah itu, guan menundukkan kepalanya, “kamu tau.. dulu aku kaya gimana,”

“gendut, pipi chubby, dan juga kebiasaan suka makan ku.. jadi ya, gitu.”

ngga bisa dibiarin, sebenernya. tapi kalo guan tau gua ngelabrak juju, yang ada dia malah ngga percaya lagi untuk cerita ke gua.

guan mengulum bibir, “udah, itu aja.” ngga, gua tau masih ada yang dia simpen lagi. cuman gua ngga mau maksa dia buat cerita.

maka dari itu, gua meraih tangannya dan mengusap perlahan. tanpa berbicara apapun, cuman berusaha untuk membuat dia tenang dan berani mengucapkan apa yang masih tertahan di benaknya.

“ican.. jangan gini” lirihnya pelan

gua terkekeh, “emang aku ngapain?” guan pun menunjuk tangan gua yang berada di tangannya dengan lirikan mata, “kamu berusaha buat aku jujur..”

“kalo bisa jujur, kenapa harus nutupin sesuatu?”

guan menunduk, lalu menggeleng pelan.

“soalnya memalukan.”

apakah sefatal itu? juju benar-benar terbuka tabiatnya sekarang.

“kalo gamau cerita sekarang ngga apa, aku tungguin sampe kamu siap untuk cerita.” ujar gua masih dengan ngusap tangannya.

“...”

dan cowo gua masih ngga mau berbicara, walau sudah sepuluh menit lamanya.

gua pun memutuskan untuk menyerah dan menyenderkan kepala di bahunya. merasa mengantuk dan ingin beristirahat, “ican.. kamu tidur?”

sepertinya kali ini dia udah mulai berani untuk bercerita, tapi gua memutuskan untuk ngga ngejawab pertanyaannya barusan.

kemudian, gua merasakan kalau guan melambaikan tangannya di hadapan gua. lucu. semua yang dia lakukan akan terlihat lucu di mata gua.

“oh udah.. aku.. cerita deh kalo gitu hehe”

ada jeda beberapa detik sebelum dia melanjutkan, “beberapa bulan sebelum kita pacaran, aku.. pernah nganterin bapak-bapak,”

bentar, bapak-bapak? kemana?

“dia bilangnya nyasar, ngga tau arah.. jadi, aku tunjukin dia jalan kan,”

“terus aku ngga tau kalau, dia tuh minta ditunjukin ke motel gitu.. aku kaget sih, secara motel itu sering jadi tempat yang.. kamu tau lah”

“dia.. hampir ngajakin aku masuk ke dalem, walau aku nolak berkali-kali.”

“sebelum dia minta tunjukin jalan, aku tuh lagi ngedumel kalo butuh uang. karena mama belum kirim uang bulanan kan hari itu.. dan aku butuh untuk beli barang”

guan tertawa miris, “terus kamu tau? bapak-bapak itu ngelempar aku dengan uang.. terus teriakin aku dengan kata lonte, murahan, dan ngegoda dia malam itu.”

“sialnya, ada juju di sana.”

oh, kayanya ini udah mulai masuk ke inti cerita. gua mau tetap merem, tapi takut ketiduran..

“tapi bedanya, dia ada di dalem motel sedangkan aku di luarnya,”

sial. sial. sial. tubuh guan bergetar sekarang. gua jadi merasa ngga enak karena udah maksa dia cerita tentang hal ini.. gua ngga tau kalo ceritanya buat dia trauma seperti ini.

“dia bilang.. dia ngatain aku.. walau ngga bersuara, aku tau apa yang dia ucapin.”

apa guan? apa yang dia bilang ke kamu sampai kamu ngga mau cerita ke aku?

“... lonte, murahan, dan sebagainya.”

ah. cowo gua dikatain kata itu di hari yang sama secara dua kali. brengsek.

“aku nggak masalah dia ngatain aku itu. yang jadi permasalahan adalah.. waktu itu ramai. aku jadi pusat perhatian banyak orang,”

“dan aku benci menjadi pusat perhatian..”

“terus aku lari. aku lari dari malioboro ke alun-alun kidul padahal aku bawa motor..”

guan terkekeh, “ngga tau kenapa aku jadi ke alun-alun.. apa karena aku sedih ya jadi otomatis kaki ku menuju ke tempat makanan gitu.. hehe”

“terus udah deh, aku makan bakso bakar mesen 20 ribu”

“kamu malu ngga punya pacar suka makan begini..” ngga, guan. aku ngga pernah malu punya pacar kaya kamu.

“aduh aku kaya orang gila ngomong sendiri.. kamu tidur lagi aja deh, yang nyenyak ya”

Tuhan, gimana bisa orang sebaik guan dijahatin sama orang lain kaya gini..

gua ngga terima.

juju, kesalahan lo kali ini fatal.

lo nyakitin cowo gua, lo berurusan sama gua.

tunggu gua, ju. ngga takut gua sama lo.

milan's pov pernah gak sih, waktu date lo bersama pacar diganggu sama orang ketiga? kayak, beneran orang ketiga gitu?

kalo belum pernah, cobain.

rasanya pasti lo mau jambak itu orang kaya apa yang mau gue lakuin ke ican. yes, him. orang ketiga di waktu nge-date gua hari ini.

di depan gua, ada ican yang lagi kepedesan makan mie goreng pesenannya tadi. udah tau gak kuat makan pedes, sok-sokan mesen yang pedes. kata gua mah ya, mampus aja, sih.

tapi, itu sebelum gua melihat pemandangan yang buat emosi gua naik ke ubun-ubun. tolong???

itu laki di hadapan gua laki dikasih minum sama laki gua. ngerti gak sih lu sama apa yang gua ucapin dan gua rasain saat ini? gua merasa terhianati.

yang jadi pokok permasalahannya nih, yak, itu minuman yang dikasih adalah minuman gua. es jeruk kesayangan gua yang kalo gua minum tuh, gua sayang-sayang..

sakit hati gua mah, yang..

“kenapa ga dimakan? pedes, ya? mau diganti aja?”

bisa-bisanya laki gua ngomong begitu tanpa adanya kepekaan di diri dia. padahal, ya, dari tadi gua ngeliatin itu es jeruk yang isinya udah diminum setengah sama ican. tapi ga peka juga? emang paling top dah laki gua bener-bener.

gua otomatis menggeleng, tapi masang muka jutek, siapa tau peka, “nggak, gausah.”

udah jutek, belum?

nah ini ni, biasanya kalo gua jawab singkat begini kak gib bakal langsung merhatiin dan natap gua dengan intens.

semenit, dua menit. gua nungguin, ternyata laki gua lanjut makan. bener-bener dah.. cukup tau aja gua mah.

“kalo gamau dimakan, yaudah sini buat aku,”

oke, katanya gitu. tapi kemudian dia naro itu mie, ke meja ican yang sebenernya masih penuh???

gua mendelik, “katanya buat kamu? ngapain dikasih ke ican?” kak gib noleh, terus menghendikkan bahu, “ya.. karena punya dia pedes dan dia kepedesan? punya kamu kan nggak, jadi buat dia aja.”

gua diduakan.

fix. gua diduakan oleh seorang bocil sma ingusan.

ican di hadapan gua malah ketawa dalam diamnya. bocah kurang ajar emang, awas aja lu gua doain putus, “kenapa? gak boleh, ya?”

gua harus jawab apa ketika laki gua bertanya dengan wajah melasnya? gebrak meja sambil bilang, “TIDAK!” ? jangankan itu, gua ngegelengin kepala aja gak mampu.

“nggak, gapapa, sayang..” ucap gua sambil ngelus kepalanya, terus dia senyum sumringah. aduh, buset, cakep bener laki gua. srepet.

kayanya emang gua harus menjadi si bawang putih yang terima ketika ditindas. buktinya, sekarang kak gib lagi nyendokin nasi gorengnya ke depan muka gua. yang tentunya, gua terima dengan senang hati. “enak?” tanya kak gib sambil ngambil nasi yang ada di pojok bibir gua

“um! enak.” jawab gua terus abis itu ngusap gemes kepala dia. biasanya kalo gini, dia bakal tersipu malu lucu gitu, terus mukul lengan gua.

kak gib terkekeh pelan, terus mukul lengan gua pake tangannya yang kosong, “apaan sih, gausah sok deket..” kan, bener.

biasanya juga, kalo ada momen romantis begini bakal ada setan yang iri. buktinya, ican yang natap kami berdua dengan melongo dan tatapan menghinanya. songong.

“apa lu?!”

masih dengan tatapan menghina, ican menggelengkan kepala, “nggak, tadi kucing lewat sambil salto.” ucap dia yang habis itu lanjut makan mie goreng gua.

ngomong-ngomong tentang mie goreng, jadi kesel lagi. karena sebenernya, gua lagi ngidam banget mie goreng itu. tapi karena gua masih menjalankan peran sebagai bawang putih yang tertindas, gua harus menerimanya dengan lapang dada.

“ngapain sih lu liatin mie goreng gua? mau?”

gua speechless. 'mie goreng gua,' katanya? sejak kapan?! dia merampok gua.. bahkan perhatian laki gua dari semenjak dia dateng, “kata gua kita by one aja sekarang, nyet, gimana?”

ican otomatis ketawa kenceng, bocah aneh emang moodnya berubah drastis banget. padahal tadi pas dateng mukanya agak kusut, terus sekarang itu orang lagi ketawa terbahak-bahak cuman karena gua ajakin by one. agak nggak waras.

“kamu jangan gitu.. dia lagi sedih tau, tadi hampir putus sama guan hahahaha” kak gib itu, orang yang jarang banget ngeledek atau pun ngetawain orang lain ketika lagi susah. but when he did, that means he's in good moon right now.

“yaelah, paling baikan lagi,” ujar gua sambil minum es teh manis punya kak gib, yang untungnya, laki gua ga marah akan hal itu. merasa bersalah kayanya ngasih es jeruk gua ke ican. “kali ini hampir putus beneran, sob, haha.”

kami berdua mematung. jadi ngerasa canggung karena udah ngetawain ican sedari tadi, “serius lo?” tanya gua yang dibalas anggukan sama empunya, “beneran.”

“papah dia sakit, gua gatau, terus malah bercandain soal ngajak putus,”

“ya.. kalo gua jadi dia sih, mungkin bakal bete juga. gua tau seberapa sayang dia sama papah, makanya pasti dia lagi ngerasa sedih banget.”

ican tersenyum kecut, “emang bodoh aja sih, terlalu sering ngajakin dia bercanda soal putus.” ujarnya melanjutkan.

gua yang mendengar itu langsung menoleh ke arah kak gib, memberi dia sedikit cubitan karena udah ngetawain ican tadi, “aw! milan! sakit..” katanya sambil mempautkan bibir.

lucu sih,

tapi kan gak mungkin gua nyium dia di sini?

jadi gua ambil tangan kiri dia, menciumnya dengan tujuan minta maaf. sehabis itu, gua langsung fokus lagi dengan cerita ican, “terus gimana? putus?” tanya gua yang langsung dikasih pelototan oleh ican.

ngeledekin ican itu, hal yang wajib gua lakuin setiap harinya. apalagi kalo ngeledekin perihal guan, reaksi yang dia keluarin jadi tambah bermacam-macam.

“nggak lah, gila?! gua sampe mohon-mohon kayanya, buat dia gak ninggalin gua.. gak mohon juga sih, tapi ya gitu”

“dia dimana berati? rumah papah nya?” tanya gua yang diberi anggukan oleh ican, “iya, besok niatnya gua jemput sekalian minta maaf.”

gua pun mengangguk mengerti, sebelum akhirnya teringat satu hal, “terus ngapain muka lu kusut tadi?” pertanyaan gua justru dibalas kekehan, “hehe, laper..”

bocah sma ingusan kurang ajar. gua kira, tadi dia dateng dengan patah hati makanya sampe gua bela-belain ngasih dia kaos dan jaket yang gua pake. terus ternyata, dia cuman kelaperan??

kayanya kaga lagi-lagi gua baikkin orang yang namanya ikhsan ikhsan ini.

gua tersenyum masam, “gua kira lo masih berantem, kunyuk!” serapah gua pada ican.

“yaelah, bang! ngapa sih, kali-kali lu baik ama gua, biasanya jahat kan lu sama gua..” ujar ican yang membuat gua menyipitkan mata, lalu mengambil sendok bersih dan menggetoknya dengan itu.

“anjing lu, bang! sakit!”

“milan...” tegur kak gib sambil memegang lengan gua, yaelah. tau aja kelemahan gua apa emang laki gua satu ini.

setelah itu, kak gib tersenyum simpul lalu mengecup pipi kanan gua dengan singkat. gua mematung. entah mau bereaksi seperti apa.

karena sebenarnya, kak gib bukanlah tipe pacar yang suka mengumbar kemesraan terutama di hadapan orang banyak.

biasanya pula, yang melakukan hal seperti ini orangnya adalah gua. kak gib nggak pernah melakukan hal kaya gini, kekanakan, katanya, ngumbar kemesraan.

love you..” katanya sambil berbisik pelan di telinga gua.

merinding.

suaranya sangat sopan memasuki pendengaran gua.

lagi-lagi, ican menatap kami dengan tatapan menghinanya, “bisa gak kalian NGGAK PAMER KEMESRAAN DI HADAPAN GUA? GUA LAGI STRES KARENA AYANG JAUH DI SANA DAN GUA DI SINI-”

“derita lo.”

“anjing...”

“kamu ngatain saya, ican?”

“siap salah, bang gib. gomen..”

“summernya mana!”

“... gomen summer gomen”

“halo, bunda.. assalamu-”

“pulang.”

“bunda.. gabisa. aji belum bisa pulang sekarang, bunda.”

“oh? apa karena cowo mu itu?”

“bun, bunda tau bukan itu maksud aji.”

“yasudah kalo gitu ya pulang!”

“bunda.. dengerin aji dulu, oke? aj- halo? bunda?”

tut tut tut..

aji mematung. lelaki mungil itu terduduk lemas di bangku halte yang kala itu cukup ramai, membuat orang-orang di sekitarnya menatap bertanya. namun, lelaki itu terlalu lemas untuk menjawab.

ia mengusap kasar wajahnya, sesekali aji menjambak rambut, dan menimang-menimang apa ia harus menemui ibunya atau justru menyelesaikan semuanya dulu dengan uyon? sungguh, aji sangat bingung sekarang.

tin! tin!

suara klakson mobil mengalihkan perhatiannya, aidan—sahabat aji, sekaligus bos tempatnya bekerja—menatapnya dari dalam mobil, “ji? kok gajadi pulang lo?”

lagi-lagi, lelaki mungil itu terlalu lemas untuk berbicara, hanyalah gelengan kepala yang ia berikan sebagai jawaban. melihat ada yang salah dengan sahabatnya itu, aidan pun turun dari mobil dan menghampirinya.

“ji? aji? ryon aji purnama!”

yang dipanggil itu pun tersentak, menoleh secara perlahan dengan air mata yang menggenang di matanya, “bunda ... bunda, dan..” seperti orang linglung, itulah kondisi aji saat ini, “iya, ji. bunda kenapa? pelan-pelan coba ngomongnya..”

dari awal pertemanan mereka sampai sekarang, baru kali ini aidan melihat aji seperti orang panik, linglung, dan sedih secara bersamaan—dalam kata lainnya, berantakan.

she knows..

about what, ji?”

she knows, dan. what should i do.. what should i do..

“... ji, liat gue.”

lelaki mungil itu pun menoleh, “ELOO KALO NGOMONG YANG BENER JANGAN NGANG NGONG NGANG NGONG! gua kaga paham, nyet! sama apa yang lo omongin daritadi.”

seharusnya, di situasi saat ini aidan malu karena teriak di depan umum dan dilirik sinis oleh orang sekitarnya. seharusnya juga, ia menghibur aji bukan justru meneriakinya. memang, aidan berani beda.

aji mengerjapkan matanya, terlampau kaget sehingga air matanya berhenti secara tiba-tiba. namun, hanya untuk beberapa detik, karena di detik selanjutnya lelaki mungil itu menangis dengan deras.

“buset susah bener ngomong sama ni orang..”

masih dengan air matanya yang mengalir deras, aji mengangkat tangannya menuju wajah aidan dan menamparnya pelan. namun, tentu saja tidak berasa apa-apa. tangan aji terlalu lemah sekarang.

aidan terkekeh, “lu kalo lagi lemah kaga usah sok-sok an galak ke gua” ujarnya yang mendapat tatapan sengit dari empunya.

lelaki itu pun menyerah, memutuskan untuk menarik aji ke dalam mobilnya. karena bagaimana pun juga, aidan tahu bahwa aji butuh waktu untuk menceritakan semuanya. maka dari itu, entah kemana tujuannya, aidan tidak tahu, yang penting mereka pergi jauh dulu.


“udah selesai narik ingusnya?”

berbeda dengan tadi, kali ini aidan mendapat pukulan cukup keras di lengannya. aji sudah tenang sekarang, tidak menangis dengan alasan tidak jelas seperti tadi.

kemungkinan, dikit lagi lelaki itu akan menceritakan apa yang tengah mengganggu pikirannya.

“bunda tau, that im gay.”

aidan termangu, menatap aji dengan tatapan bingungnya, “... apa coba ulang?”

“bunda tau?”

“BUKAN ITU!!”

“ih orang aneh ngapain sih teriak-teriak! terus apa?!”

aidan menggaruk kepalanya, menaruh tangan di depan mukutnya. ia terlihat sangat bingung sekarang, “you're gay?

mendengar itu aji tertegun. ia lupa, kalau aidan tidak pernah tahu mengenai seksualitasnya. karena sedari dulu, aji tidak pernah mempunyai hubungan dengan siapa pun baik laki-laki maupun perempuan.

jadi, hari ini ia baru saja came out secara tidak langsung? dan bukan hanya satu tetapi ke dua orang? bunda, serta aidan.

crap. i'm doomed. batin aji.

lelaki mungil itu memijat dahi, merasa sangat bodoh sekarang, “... aji?”

sorry. gue ga maksud nge-judge lo, sama sekali nggak, serius! gue cuman.. kaget? karena lo ga pernah cerita..”

aidan menepuk pundak lelaki itu, “lagian ya, kita hidup di zaman modern. banyak kali nemuin orang kaya gitu.. jadi, yaa? yaudah, gitu.”

“terus tadi gimana? bunda tau?” tanya nya

“hm”

“you're doomed, ji.”

“i know.”

baik aidan maupun aji, menghela nafas berat secara bersamaan. entahlah, rasanya hidup sedang sangat keras kepada keduanya, “jia juga.. nolak gue.”

“itu sih mampus.”

toyoran kepala aji dapatkan, “lu juga mampus”

“dan”

“ha”

“anterin gue pulang”

baru saja aidan ingin memutar balik mobil, aji menghentikannya, “gausah muter, lurus aja. anterin gue ke rumah bunda”


“assalamu-”

“ini pacar kamu?”

aji memutar matanya malas, “bun, orang belum ucap salam udah ditodong pertanyaan gajelas gini, sih?”

bunda aji pun tersenyum masam, “waalaikumsalam, masuk.” tandasnya yang langsung masuk ke dalam rumah.

aji yang melihat itu hanya bisa mendengus kesal, menoleh ke arah aidan yang masih terkejut dengan tuduhan barusan. “maaf, bunda emang gak jelas. ayo masuk dulu.”

dan lelaki mungil itu pun meninggalkan aidan yang masih berdiri mematung di depan pintu, “AIDAAAN! MASUK!”

“IYA!”


suasana di ruang tamu itu terasa sedikit mencekam, baik aji maupun bunda nya tidak ada yang mau membuka pembicaraan. aidan pun juga begitu, bahkan ia tidak berani untuk membuka ponselnya walau mendapatkan telfon sedari tadi.

“angkat aja, gapapa.” ujar aji yang langsung mendapat gelengan dari empunya, “hah? ng-nggak gapapa, ga penting.”

“dan, itu jia yang telfon”

seketika, lelaki itu langsung berdiri dan pamit untuk menerima telfon. aji pun hanya menggelengkan kepala melihatnya.

“cowo itu,” ucap bunda sembari menunjuk aidan dengan dagunya, “bukan pacarmu?” tambahnya melanjutkan.

“nggak. bukan.” tandasnya.

bunda aji—lia—langsung terdiam mendengarnya. bersedekap dada, memandang ke arah lain selain anaknya. ayah aji—ryan—pun hanya bisa menggaruk kepala melihat keduanya. bingung ingin melakukan apa.

“bun, udah lah jangan marah-marah begitu? anakmu jauh-jauh kemari, masa kamu cuekin gini?” ryan yang sudah lelah pun berusaha untuk ikut turun tangan.

lia mendelik, “siapa yang nyuekin?” frustasi. sungguh, ryan sangat frustasi menghadapi dua orang keras kepala ini.

“yaudah terserah bunda. ayah cuman bilang kasian sama anakmu yang jauh-jauh ke sini, tapi kamu malah begini ke dia. apapun masalahnya, gak seharusnya kamu berlaku kaya gini ke aji, bun.”

“di antara kamu sama aji, yang paling dewasa itu kamu. harusnya lebih tenang untuk ngadepin masalah, bun.”

baik lia maupun aji, keduanya langsung menundukkan kepala. mereka berdua sudah tidak tahu harus menjawab apa ketika ryan sudah berada di puncak kesabarannya. karena sebenarnya, ryan adalah tipe yang sangat jarang marah. namun, ketika sekalinya ia marah akan sangat menyeramkan.

“iya, maaf.” ujar lia.

ryan mengusap wajahnya kasar, “... maaf juga ayah bentak bunda.” dengan begitu, lia langsung memeluk ryan dengan pautan di bibirnya.

dan di sana, aji melihat adegan mesra kedua orang tua nya dengan tatapan menghina, “udah selesai belom pelukan teletubbies nya?” tanya nya meledek

lia berdeham, “ehem! udah. sana kamu yang, ngapain di sini?” usirnya kepada ryan, “kalo aku gak di sini, kalian ga ngomong-ngomong dari tadi, tau gak?” belanya.

lagi-lagi, aji memutar malas matanya, “kita jadi rapat paripurna gak sih? aku gajadi disidang ini?” tanya nya.

“kamu gaada takut-takutnya sama bunda, ji.” ujar ryan, “ngapain takut, bunda aja lebih takut sama ayah.” jawab aji sekenanya.

lemparan bantal pun aji dapatkan, “awas kamu, bunda cari beneran pacar kamu ini ya.” ancamnya kepada aji.

lelaki mungil itu pun menghendikkan bahunya, “terserah, toh dia bukan pacarku.”

“kasian ya..”

ryan mengangguk, “iya, kasian ya, bun?”

aji mendengus kesal, “kayanya juga dia ngga suka sama aku, gatau deh, aneh.”

walau sebenarnya lia ingin menertawakan kisah cinta anaknya itu, tetapi tidak bisa membohongi perasaan khawatirnya juga, “kamu suka sama laki-laki, kenapa ga pernah bilang ke bunda, aji?”

“apa kamu pikir, bunda dan ayah nggak akan nerima kamu? kita bakal ngebenci kamu, iya?”

bunda pun menepuk pundak anaknya itu, “mana mungkin kami ngebenci anak semata wayang kami, aji?”

“mau jadi apapun kamu nanti, kamu tetap jadi anak bunda dan ayah, sayang..”

aji tersenyum dalam sesi menunduknya, sebenarnya ia tahu kalau ayah dan bunda tidak akan pernah bisa membencinya. namun, hanya saja ia tidak bisa mengatakan hal itu kepada mereka. takut.

takut mereka kecewa.

elusan di pipi pun aji rasakan, itu tangan bunda. sedang menangkup pipi jihoon dengan senyum di wajahnya, “kami, akan selalu sayang sama kamu, aji.”

senyuman di wajah aji pun semakin lebar, lelaki itu mengangguk-anggukan kepalanya berkali-kali, serta mengucap 'terima kasih' berkali-kali pula.

ia merasa berterima kasih, karena selalu diterima akan jadi apapun ia nanti.

ia merasa berterima kasih, karena walau akan ada orang yang membencinya nanti, ia akan selalu mempunyai tempat untuk berpulang.

untuk sekedar meminta pelukan atau pun kasih.

“nanti, kalo udah jadi pacar ajak dia ke sini, ya?” ujar lia sembari membenarkan poni anaknya itu, “bunda dan ayah mau kenalan, sama orang yang udah buat anak bunda misuh-misuh ke bunda”

aji terkekeh, memukul pelan lengan wanita itu, “ish si bunda mah..”

“ryon aji purnama anak bunda.. terima kasih udah jujur sama bunda ya, nak? aji jangan takut untuk jujur sama bunda.. selama aji nggak ngelakuin hal jahat, bunda nggak akan marah,”

“um.. nggak deh. sekali pun kamu ngelakuin hal jahat, bunda akan selalu jadi orang yang nggak akan benci kamu, nak.”

runtuh sudah pertahanan aji sedari tadi, air mata yang ia tahan pun keluar deras kali ini. ia merasa sangat amat beruntung mempunyai orang tua seperti bunda dan ayahnya.

ia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau bunda dan ayah membenci dirinya. ia tidak tahu harus apa dan bagaimana.

ia juga tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang yang berusaha came out namun tidak mendapat respon baik dari orang sekitarnya. ia yakin, kalau itu akan sangat menyakitkan.

aji merasa beruntung, sangat amat beruntung.

bagaimana perasaanmu jika.. di hadapkan dengan calon mertua yang sangat kau takuti itu? terlebih lagi, beliau sangat tidak menyukaimu. pasti sudah berpikiran yang tidak-tidak, bukan?

itulah yang jihoon rasakan saat ini.

lelaki mungil itu tengah duduk termangu di kursi penumpang, pandangannya kosong ke depan. entah melihat apa, yang jelas, nyawanya seperti tidak ada pada tubuhnya saat ini.

“jiwu sayang..”

soonyoung yang duduk di kursi kemudi itu menolehkan kepalanya ke arah jihoon. mengelus pelan surai hitam lelaki itu, “kalo kamu nggak mau ketemu bunda, gapapa kok. kita pulang aja, ya?”

tawaran yang soonyoung berikan tersebut langsung menarik perhatian jihoon. lelaki mungil itu ikut menolehkan kepalanya dengan mata berbinar, “... boleh?” tanya nya dengan ragu-ragu.

yang ditanyai itu langsung menganggukkan kepalanya, “um! boleh, jiwu.. aku nggak mau maksa kalo emang kamu belum siap ketemu bunda lagi.” ucapnya sembari menatap kedua mata jihoon.

sebenarnya, saat ini mereka sudah berada di depan rumah soonyoung—yang dimana sudah ada bunda dari lelaki sipit itu di dalam. mobilnya sudah terparkir rapih, tetapi belum sampai ke lahan parkir rumahnya. mereka masih berada di luar pagar yang jaraknya masih lumayan jauh.

karena tidak lagi mendengar jawaban dari sang kekasih, soonyoung mengira lelaki itu memang belum siap untuk bertemu bunda. maka dari itu, ia memutuskan untuk memundurkan mobilnya, “kakak, tunggu! jangan ... jangan pergi dari sini dulu.” ujar jihoon seraya menahan tangannya.

soonyoung tersenyum simpul. ia senang melihat jihoon memikirkan pilihannya dengan matang. pun, ia senang pada bahwasanya bertemu dengan bunda juga salah satu dari pilihan itu.

walau sebenarnya, soonyoung merasa ragu untuk mempertemukan mereka berdua kembali. namun, soonyoung juga tidak tega untuk menolak permintaan sang bunda. terlebih lagi, wanita itu mengatakan akan memasak untuk mereka.

bunda adalah tipe ibu yang jarak memasak. bukan karena ia tidak bisa, tetapi karena kesibukannya yang luar biasa itu membuatnya jarang memasak di rumah. jadi, ketika wanita itu memutuskan untuk memasak, soonyoung tidak bisa menolaknya. pun, ia merasa rindu dengan masakan bunda.

“udah mikirin dengan matang, sayang?” tangan soonyoung pindah menuju pipi lelaki mungil itu, mengelusnya dengan perlahan, “mumpung bunda belum telfon aku, kita bisa pergi dari sini sekarang kalo kamu mau” ujarnya lagi.

jihoon mengangkat wajahnya, menatap soonyoung sembari mengigit bibirnya, “jangan digigit. nanti luka, jiwu.” tukasnya.

lelaki mungil itu pun menghela nafas beratnya. mengalihkan pandangan dengan menatap ke luar jendela, “jiwu, gapapa kalo kamu gamau.. aku gak akan maksa lagi buat ketemu bunda.”

“kak.”

“hm? mau balik? ayo”

“ayo masuk”


di sinilah mereka berada. ruang tamu minimalis yang menjadi tempat kesukaan bunda soonyoung.

jihoon memejamkan matanya sedari tadi. bahkan, sebelum masuk ke dalam ia terus menundukkan kepalanya—takut bertemu dengan bunda. untung saja tadi yang membukakan adalah pembantunya, bukan bunda.

kurang lebih sepuluh menit lamanya, mereka berdua masih berada di ruang tamu. sama sekali belum bertemu bunda, entah kemana wanita itu pergi, soonyoung pun tak tahu.

“jangan takut, ada aku.” bisikan tersebut memasuki pendengaran jihoon. lelaki mungil itu menolehkan kepalanya, mendapati soonyoung yang tengah tersenyum melihat ke arahnya, serta tangan yang terus menerus menggenggam tangan jihoon.

jihoon pun ikut tersenyum, mengeratkan genggaman keduanya, “i know.

“lho, kalian sudah sampai?” dengan sekejap, jihoon langsung menghempaskan tangan soonyoung. membuat lelaki sipit itu terkejut seketika. 'kenapa?' tanya soonyoung dengan isyarat matanya. namun, jihoon tidak berani untuk menjawab.

melihat itu, soonyoung pun tersenyum kecut dan beranjak dari duduknya. berjalan menuju ruang makan, meninggalkan jihoon di sana. “ji ... jihoon? a-ayo kita makan bareng.” ujar bunda soonyoung, lalu ikut meninggalkannya di sana.


“bunda.. masak ini. kamu suka kan,”

“... jihoon?”

jihoon yang sedari tadi memainkan jarinya di bawah meja pun langsung mendongak, terperangah dengan apa yang baru saja ia dengar. pun, sama dengan soonyoung. lelaki itu ikut menatap wanita yang masih sibuk menata piring.

“bun?”

kwon aeri—bunda soonyoung—langsung menghentikan pergerakannya. wanita itu tersenyum kecil, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menatap anak tunggalnya itu, “bunda masak sup kimchi jiggae, kesukaan kamu sama jihoon, kan?”

satu tetes.

dua tetes.

air mata tersebut berhasil lolos dari kedua mata jihoon. membuat bunda yang melihat itu langsung terperanjat dan dengan sigap memberinya tisu serta menuangkan segelas air putih. “maaf, ya nak jihoon.. maafin bunda..”

bukan main. tangisan lelaki mungil itu semakin deras sekarang, “iya bunda.. jihoon juga minta maaf..” lirih jihoon dalam tangisannya

soonyoung yang melihat itu hanya termangu, terlebih lagi ketika melihat sang bunda mendekati jihoon lalu memeluk kekasihnya itu. sungguh, seperti melihat tujuh keajaiban dunia di depan mata.

jihoon pun juga sama. lelaki mungil itu sama sekali tidak membayangkan akan mendapat perlakuan seperti ini. ia kira, ia akan kembali diusir seperti sebelumnya. atau pun, dipermalukan namun kali ini di hadapan soonyoung.

namun, yang terjadi justru jauh dari apa yang ia bayangkan. sangat jauh. entahlah, jihoon terlalu bahagia saat ini. karena akhirnya, ia berhasil memenangkan hati bunda.

“bunda ... jihoon ...”

namun, ucapannya sama sekali tidak digubris. dua orang yang sangat ia sayangi itu masih sibuk untuk menenangkan masing-masing. bunda yang mengusap air mata jihoon dan juga jihoon—yang berani menatap wanita itu lalu memeluknya dengan erat.

tidak ada yang bisa menjabarkan betapa bahagianya ia saat ini. sungguh, soonyoung masih memproses semua hal yang sedang terjadi saat ini. terlalu tiba-tiba dan.. terlalu luar biasa untuk menjadi nyata.

“udah nangisnya ya, nak jihoon? sekarang kita makan dulu..” ujar aeri setelah melepaskan pelukan keduanya, lalu wanita itu berdiri untuk menuangkan nasi pada mangkuk jihoon. setelah itu, ia mengusap pipi jihoon yang masih terdapat air mata.

dan jihoon,

masih duduk di sana. menatap mangkuknya yang sudah berisi nasi dengan tidak percaya. yang lagi-lagi menurunkan air mata dari kelopak matanya.

aeri terkekeh, “pacarmu ini cengeng sekali, soonyoung..” ujarnya dengan meledek.

mendengar itu, jihoon kembali menangis. entah mengapa ia tidak bisa menghentikan tangisannya. namun, kali ini tidak ada tangisan karena sakit hati akibat perkataan bunda. hanyalah tangisan bahagia yang ia keluarkan.

“iya, pacar soonyoung emang agak cengeng, bunda.” soonyoung mengatakannya dengan berbangga diri, memegang tangannya erat yang masih berada di atas memegang semangkuk nasi.

ibu dan anak itu pun saling tersenyum antar satu sama lain, dalam tatapannya pula, berisi kalimat terima kasih yang sangat amat soonyoung katakan dari hati terdalamnya. dan bunda, membalas terima kasihnya dengan anggukan kecil.

“oh iya, bunda,”

aeri berdeham, “hm? kenapa, nak? nggak enak makanannya?”

soonyoung menggeleng, lalu menunjuk ke mangkuk jihoon, “porsi segitu mah jihoon kuraaang.. dia kalo makan nasi ya, bunda, harus dua mangkuk! jangan salah, badan kecil gini makannya mah gedee hahaha”

mendengar itu, jihoon hanya bisa menunduk malu. aeri dan soonyoung pun kembali tertawa melihatnya, “maaf ya, nak jihoon.. besok-besok bunda bakal kasih kamu dua mangkuk langsung deh!” ucapnya sembari mengambil mangkuk dan menuangkan nasi untuk jihoon.

lelaki mungil itu mengangguk, lalu menatap soonyoung yang tengah tersenyum ke arahnya, “iya, bunda. jihoon tunggu nasi dua porsinya!”

“habis dari mana?”

mingyu yang baru saja membuka pintu kamarnya terkejut dan memegang dadanya seketika. di meja belajarnya, terdapat jihoon yang tengah memainkan figura doraemonnya.

“kok lo ada di sini?” ucapnya balik bertanya, “orang nanya tuh dijawab.” kali ini, jihoon memutar tubuh menghadap mingyu. bersedekap dada, menatap dengan sengit.

lelaki jangkung itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. tidak pernah terpikir bahwa jihoon akan mendatangi rumahnya seperti ini. “anu ...”

“apa? anu lo copot?”

mingyu tersenyum masam, “yakali, ji..”

jihoon bangkit dari duduknya, berjalan ke hadapan mingyu masih dengan bersedekap dada, “yaudah jawab, habis dari mana?”

“... mancing?”

“sangking gabisa boongnya otak lo nge-blank, ya?” jihoon terkekeh pelan, “sejak kapan lo mancing, gu.. mancing emosi gue iya.” lanjutnya sembari menghela nafas panjang.

lelaki mungil itu pun menyerah dan memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di kasur mingyu. memejamkan mata dengan satu tangan berada di atas kepalanya, “bisa gak, jangan ilang tanpa aba-aba gitu..”

“gue udah gak punya siapa-siapa lagi, mogu..”

mingyu yang melihat itu hanya terdiam, menatap iba terhadap jihoon yang tengah menahan tangisnya, lagi.

sebenarnya, mingyu sangat kesal. bukan kepada jihoon, tapi kepada dirinya sendiri. karena tidak bisa menghilangkan rasa sedih yang terus menyelimuti lelaki mungil itu.

ia kesal, pada bahwasanya tidak ada kebahagiaan jihoon yang ia pegang sama sekali.

ia kesal, pada bahwasanya harus melihat orang yang disayanginya terus menerus menangisi orang lain dan ia tidak tahu harus apa—selain berusaha menenangkannya.

mingyu tahu, ia tidak pernah bisa jadi bahagianya jihoon.

mingyu tahu, kalau ia hanyalah 'pengganti' yang selalu ada untuk jihoon.

mingyu tahu, kalau ia tidak akan pernah menjadi yang pertama untuk jihoon.

menjadi alasannya bahagia,

menjadi orang yang bisa membuatnya tertawa,

bahkan menjadi alasan air mata berharga itu turun di pipinya.

tapi bagaimana lagi, bukan?

kita, tidak punya kuasa atas orang lain—terutama terhadap perasaan.

memaksakan kehendaknya untuk memilih mingyu dan melupakan soonyoung, adalah hal ter-egois yang pernah mingyu pikirkan.

lagipula, apa rasanya jika mingyu memiliki raga jihoon namun hatinya tidak pernah ada padanya?

kalau hatinya, tidak pernah sekali pun memilih mingyu.

buruk.

rasanya akan sangat buruk.

maka dari itu, mingyu berusaha untuk menahan dirinya tidak menjadi orang egois. berusaha waras.

untuk kebaikan dirinya sendiri dan juga jihoon.

“lo tau, gu?” jihoon mengigit bibirnya pelan, “... entah kenapa, walaupun sakit gue ga pernah nyesel milih ending yang kaya gini.”

because... i think it's the best ending for me and him

mingyu duduk di ujung kasur, menatap jihoon yang masih setia pada posisinya, “i don't want to hurt bunda more than this, gu. rasanya, kaya nyakitin ibu sendiri juga and i don't want that.”

he always said that we were meant to be, but i think that he's wrong. about us. gue ngerasa kita cuman ditakdirin untuk bertemu aja, bukan untuk bersatu.”

jihoon mendengus kecil, “ya even though gue juga sempet mikir gitu.” matanya terbuka secara perlahan, “emang ya, orang kalo jatuh cinta rasanya ga mikir apapun. dunia serasa milik berdua aja pikirannya.”

“orang jatuh cinta itu kebanyakan jadi bodoh. walau kadang ga masuk akal, tapi karena lagi jatuh cinta ya iya iya aja jawabnya. setuju aja, gitu. padahal mah ya.. ga mungkin,”

“,– kaya apa yang dia bilang.”

for infinity, halah.”

mingyu terkekeh, mendengar cerita jihoon tidak pernah gagal menghiburnya. karena ekspresi yang lelaki mungil itu tunjukkan sangatlah beragam. lucu, pikirnya.

“terus, lo masih mau kuliah di seoul? atau masih tetep di sini aja, di busan?”

jihoon mendelik, “lo pikir aja deh, gu?” mingyu mengedipkan matanya berkali-kali, “ya gatau? makanya ini nanya elo..”

lelaki mungil itu pun berdecak, “ya ngapainn gue kesana? udah gak ada tujuannya. hidup di seoul keras.” tukasnya.

“lagian.. gue gamau ninggalin kota kelahiran gue.”

mingyu menyolek pelan lengan jihoon, “gamau ninggal kota kelahiran atau gamau ninggalin gue?” ujarnya meledek

“ngapain amat mikirin lo!”

lelaki jangkung itu tertawa dengan lebar, puas sekali mengganggu jihoon.

“... tapi gue kan ga kuliah dulu” lirihnya, “ibu kayanya gabisa kalo gue kuliah tahun depan.”

seketika, mingyu menghentikan tawanya. ikut merebahkan diri di samping jihoon dan menarik lelaki itu ke dalam pelukannya.

“gapapa, nanti kerja bareng gue. i'll be here.” ujarnya seraya menepuk-nepuk punggung jihoon. “kok sama lo? kan lo bisa kuliah..”

tidak menjawab, mingyu masih sibuk menepuk-nepuk punggung jihoon. “mingyu! jawab gue? kenapa lo ga kuliah? lo tuh..!”

“ya kan bisa tahun depannya lagi, tenang aja”

“tapi lo tuh bisa langsung, mingyu.. kenapa pake nunda segala sih?!”

semakin kencang omelan jihoon, semakin kencang pula dekapannya terhadap lelaki itu, “MINGYU GUE SESEK!!!”

“makanya diem”

“... lo ngikutin gue?”

“nggak”

“terus kenapa?”

lagi-lagi mingyu tidak menjawab, “bisa gak jangan korbanin masa depan lo cuman buat orang kaya gue, mingyu..”

“lo tuh..” ucapannya terhenti, memukul pelan dada lelaki jangkung itu, “lo tuh pinter, mingyu. kampus mana pun nunggu lo di sana..”

“lo harus bisa milih yang lebih penting, mingyu.. dan itu bukan gue.”

mingyu melonggarkan dekapannya, menatap jihoon yang tengah memainkan tali hoodie miliknya, “kenapa lo nentuin apa yang penting buat gue? i know what i've to do, jihoon. you don't have to worry about that.

“dengan ngorbanin masa depan lo?” ujarnya seraya mendongak, “masa depan gaada yang tau. gue langsung kuliah tahun depan kan bukan berarti gue bisa sukses? semua ada jalannya.”

“lagian ya, dengan gitu kan gue bisa nabung. kuliah pake duit gue sendiri tanpa minta ortu, ini baru sukses.”

jihoon mengkerutkan dahinya, “terus yang kuliah pake duit ortu ga sukses?” mingyu terkekeh, menjawil hidung lelaki mungil itu. “gak gitu ya, cil..”

“maksud gue, orang yang gak langsung kuliah tahun depan itu bukan berarti dia ngorbanin masa depannya dan jadi orang gak sukses,”

“kan gak ada yang tau, selama dia gak kuliah apa yang bakal dia dapetin? semua orang itu, punya porsinya masing-masing..”

“gue tau kok lo selama ini nangis bukan cuman karena matahari, tapi karena mikirin kuliah juga kan? gapapa, jihoon. it's okay to take a break. untuk gak kuliah dulu, ya gapapa.”

“kalo pun lo ngeliat temen lo bisa sukses dan dapetin universitas yang mereka mau dan lo iri itu juga gapapa,”

“tapi jangan lupa dijadiin rasa iri itu sebagai motivasi menjadi lebih baik.”

“lagian ya, kenapa juga lo iri? kita tuh gak harus tau, ngejar pencapaian orang lain. mending buat pencapaian sendiri yang buat mereka mikir, 'oh gue harus kaya gitu juga' nantinya.”

“definisi sukses tiap orang itu berbeda-beda, jihoon. dan elo, harus buat versi diri lo sendiri.” ujarnya seraya mengusap pelan pucuk kepala lelaki mungil itu.

mendengar itu, jihoon tambah menenggelamkan wajahnya di dekapan mingyu. berusaha menahan tangis yang ingin ia keluarkan sedari tadi, “ih nangis lagi.. cengeng banget sih, cil” ujar mingyu yang mendapat pukulan dari sang empunya.

“mingyu..”

“hm? iya, cil?”

“lo mau gak, nunggu gue.. dikit lagi aja.”

lelaki itu tersenyum, memilih kecupan di dahi sebagai jawaban, “... kok ga di jawab”

“mingyu? gamau ya..”

mingyu terkekeh mendengarnya, tambah mengeratkan dekapannya terhadap jihoon. “mingyu uhuk bisa gak kalo ga uhuk mau gausah NYEKEK GUE KAYA GINI MINGYU GUE MATI LAMA-LAMA!”

kamar itu didominasi oleh tawa mingyu sekarang, walau diberi beribu macam cubitan lelaki itu sama sekali tidak gentar.

entah mengapa, mingyu tidak ingin menjawab 'iya' padahal di dalam hati ia berteriak kegirangan.

entah mengapa juga, mingyu tetap senang mendengarnya walau ia tidak tahu akan sampai kapan ia harus menunggu. yang penting, ia harus senang dulu.

bagaimana akhirnya nanti, mingyu tidak akan menyesal menghabiskan waktu hanya untuk menunggu jihoon.

karena sungguh, berada di dekat lelaki itu saja sudah terasa seperti anugrah.

walau diberi kehidupan lagi dan dihadapkan dengan pilihan, mingyu akan selalu memilih pilihan yang sama.

karena meskipun bahagia jihoon tidak ada padanya, bahagia mingyu tetaplah jihoon. dan akan selalu begitu

—on the phone bold one (bunda) italic one (soonyoung)

sedari awal, soonyoung tahu, pada bahwasanya yang ia lakukan akan menyakiti seseorang atau pun beberapa pihak.

pilihannya untuk tetap menjalin hubungan dengan jihoon—yang ia tahu akan menyakiti bunda.

sebut ia egois. tetapi, ia tidak bisa memikirkan jalan yang lain. saat itu, ia tidak bisa membayangkan kehilangan jihoon dengan tidak memilihnya. walau ia tahu, akhir dari cerita mereka seperti apa.

mungkin juga, soonyoung merasa ia harus 'membalas' akan apa yang telah bunda lakukan kepada dirinya selama ini—dengan melakukan apa yang tidak ia sukai.

namun, setelah mengetahui apa yang sudah bunda alami.. lelaki sipit itu tidak tahu harus bereaksi seperti apa. pun, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

atau mungkin ia tahu, tapi enggan untuk melakukannya.

karena merasa, belum puas.

karena merasa, rasa sakit yang ia alami akibat perlakuan bunda terhadapnya masih sangat membekas. baik di hati maupun pikirannya.

tetapi apa yang harus ia lakukan ketika orang yang sedang ia perjuangkan, menolak untuk bertahan.

menolak, untuk memerjuangkan hubungan mereka bersama-sama.

hancur, rasanya.

pikirannya kosong seketika.

dengan lunglai ia mengirim pesan ke bunda, mengaku kalah dalam peperangan. melambaikan bendera putih, dengan luka di hatinya.

tring... tring...

itu bunda.

soonyoung pun menekan tombol hijau, menaruh telfon genggamnya di samping telinga. menunggu lawan bicara untuk memulai percakapan.

selama dua menit penuh, tidak ada yang berbicara. lelaki sipit itu pun tidak berniat untuk mematikannya.

“kamu sudah tahu sampai mana?”

suara wanita itu sedikit bergetar, diikuti dengan tarikan nafas dalam.

“... semua?”

kosong. tidak ada jawaban.

“kenapa bunda ga pernah cerita?”

“karena ga penting.”

kali ini, soonyoung yang terdiam. bingung membalas apa.

“kamu..”

lelaki sipit itu masih diam, menunggu sang bunda melanjutkan. “jihoon ...”

dug. hatinya seketika nyeri ketika mendengar itu. teringat kembali akan penolakan yang ia dapatkan.

soonyoung tersenyum kecut, “kenapa?”

“ayahmu minta maaf ke bunda.”

“...dia benar-benar minta maaf, bahkan hampir bersujud di hadapan bunda.”

terdengar dengusan kecil sebelum bunda melanjutkan, “bunda ... gatau harus bereaksi kaya gimana. karena di belakang dia, ada orang yang menjadi alasan kenapa bunda seperti ini.”

soonyoung menggigit bibirnya pelan, masih setia mendengarkan. “dia nunduk. ga berani untuk sekadar natap mata bunda. bahkan ketika bunda nampar dia sekali, dia masih berdiri tegak. walau pipinya basah sama air mata.”

“kenapa..”

“kenapa bunda merasa jadi orang paling jahat, di sini?”

kali ini, lelaki sipit itu memejamkan matanya. “kenapa dia ga ikut marah? ga ikut nampar bunda? kenapa, soonyoung?! kenapa?!”

“bunda..”

“tapi, soonyoung, kamu tahu?”

“haneul ... meluk bunda.”

“dia meluk bunda sambil berkali-kali bilang maaf.”

“bunda ... bunda harus apa, soonyoung? kenapa bunda jadi orang jahatnya padahal orang yang disakitin di sini adalah bunda..?”

sesak. hatinya sakit mendengar ibunya mengatakan itu dengan lirih.

di sebrang sana, bunda tengah memukul berkali-kali dadanya dengan tangis yang semakin kencang.

“... bunda?”

“kenapa ... kenapa dari sekian banyaknya orang, kamu tahu tentang hal ini, soonyoung..”

“kenapa kamu temui ayahmu padahal bunda sudah melarang..”

“kenapa soonyoung, kenapa..!”

“maaf, bunda. soonyoung minta maaf...”

tangisan bunda semakin kencang. yang juga mengundang air mata soonyoung turun perlahan.

jihoon benar. pada bahwasanya, bunda lah orang yang paling tersakiti di sini. bukan dirinya atau pun jihoon.

lelaki mungil itu pun juga berhasil menyadarkannya, kalau hubungan mereka akan tambah menyakiti bunda.

dan entah mengapa, soonyoung tidak mau itu terjadi.

bertahun-tahun soonyoung tinggal bersama bunda. tidak pernah sekali pun, ia mendengar tangisan bunda. bahkan, melihatnya bersedih.

yang selalu wanita itu tunjukkan adalah wajah kerasnya. kerutan di dahi setiap mereka bertemu, serta lantangnya suara wanita itu ketika berbicara.

bunda, berusaha terlihat menjadi kuat.

membangun dinding setinggi mungkin, agar tidak menjadi goyah dan hancur nantinya.

berusaha, untuk melindungi diri sendiri dari orang-orang yang berniat untuk menyakitinya—dengan menjadi sosok ibu yang keras.

bagaimana bisa.. soonyoung baru menyadari itu sekarang?

bunda pun melarangnya bertemu dengan ayah, bukan karena berniat memutus hubungan soonyoung dengan ayahnya sendiri. namun, untuk menutup rapat luka di hatinya.

karena bagaimana pun, bunda sudah berusaha untuk mengubur luka itu dengan usaha yang sangat besar. penuh pengorbanan.

jadi, tidak salah jika bunda tidak ingin anak satu-satunya itu bertemu dengan sosok yang sudah membuat luka sebesar itu pada dirinya

yang juga, akan membawa kembali luka itu ke permukaan.

kali ini, soonyoung tidak ingin membuat kesalahan yang sama seperti ayahnya.

ia tidak mau, membuat luka lagi di hati bunda.

karena bagaimana pun, bunda sudah sangat tersakiti selama ini. maka dari itu, soonyoung menyerah.

akan jihoon. akan kebahagiaan yang sempat ia kira akan selamanya.

“bunda.. jangan nangis.”

“soonyoung minta maaf karena udah nyakitin bunda.. soonyoung gatau, bunda. kalau sebenarnya, luka bunda sudah sedalam itu..”

“soonyoung gatau, karena bunda ga pernah cerita tentang luka itu. soonyoung minta maaf..” lelaki sipit itu menghela nafas berat.

“... dan, bunda. soonyoung bakal nurutin bunda dari sekarang..” lelaki itu mengigit bibirnya dengan kencang, hampir membuatnya terluka.

“soonyoung siap untuk dijodohin, bunda.”

⚠️ // mention of kiss

i'm glad you're coming. thank you, mogu.” ucap lelaki mungil itu yang masih menyibukkan dirinya dengan makanan di hadapannya.

semenjak mingyu datang menghampiri jihoon, lelaki itu tidak banyak omong. bahkan, sama sekali tidak menatap mingyu yang sedang dudup menatapnya sedari tadi. menyuap makanan, minum, dan menunduk.

mingyu tersenyum, “kalo mau nangis, nangis aja. gausah kalap makan sebanyak ini, nanti perut lo sakit, cil.” lelaki jangkung itu hafal sekali akan kebiasaan jihoon—makan dengan porsi banyak ketika suasana hatinya sedang sedih

yang diajak berbicara itu tidak menjawab. justru menaruh mangkuk mie yang tadi di hadapannya, menjadi di hadapan mingyu, “mending lo makan, temenin gue.” tandasnya.

mingyu pun tidak banyak bicara selain melakukan apa yang diminta oleh jihoon. sebut saja ia budak cinta atau yang biasa disebut juga bucin, tetapi jika jihoon sedang berada di fase seperti ini—mingyu tidak bisa apa-apa selain menurutinya.


“gue putus lewat chat,” ujar jihoon tanpa menatap mingyu. lelaki jangkung itu langsung diam seketika, mie yang sedang ia santap pun melayang di udara. “klasik banget, kan?” sambungnya.

“gue juga yang mutusin.”

ucapan jihoon barusan seperti bom. membuat jantung mingyu seakan-akan lepas dari tempatnya dan tentu saja—tersedak juga. “uhuk! uhuk!”

dengan panik, jihoon menuangkan segelas air putih dan memberikannya pada mingyu. lelaki itu pun langsung meminumnya dengan cepat dan menaruh di meja dengan keras. “KOK BISA?!” suara teriakan mingyu penarik atensi pembeli lainnya.

keplakan di kepala pun mingyu dapatkan, lelaki itu mengaduh kesakitan sekarang. “aduuh, cil?! sakit anjir gila lu ya?” jihoon hanya mendengus sebagai jawaban, malas menanggapi.

“tapi, serius? lo yang mutusin? kenapa..”

“karena emang pada dasarnya, harus begitu.”

but you love him, didn't you?”

“hm, but pamungkas said, 'if you love somebody gotta set them free' so i let him go, mingyu.”

lelaki jangkung itu mengernyitkan keningnya, “pamungkas siapa?” tanya nya dengan bingung, “ih, lo gatau lagu dia?” mingyu menggelengkan kepala, masih dengan kernyitan di kening.

“waktu itu sempet populer di tiktok, terus gue dengerin, eh enak. lagu indonesia, gu. coba deh dengerin.” lagi-lagi, mingyu menggelengkan kepala, “... gue ga ngerti bahasa inggris.” ucap nya.

jihoon pun hanya bisa menghela nafas berat, disertai dengan anggukan pelan. “oke, yaudah. gausah, oke? gausah.” lalu melanjutkan sesi makannya.

mingyu pun masih duduk di sana. menatap jihoon yang tidak ada berhentinya melaup makanan di hadapannya, seperi orang kelaparan—padahal hanya stres.

“cil, bahu gue tersedia kalo lo mau nangis lho.”

“gak perlu.”

ish si bocil. terus ngapain nyuruh gue ke sini nyamperin lo?”

“... buat bayarin makan?”

“sialan.”


dari kejauhan, mingyu bisa melihat betapa rapuhnya lelaki mungil itu. dari cara berjalannya saja, terlihat sangat tidak bersemangat.

jihoon itu anak yang periang, sebenarnya. dulu, sewaktu masa smp, mereka sering pulang bersama. biasanya akan pergi ke timezone atau juga ke kedai makanan langganan jihoon.

di perjalanan pun, jihoon akan melompat-lompat di setiap langkahnya. membuat jantung mingyu lompat setiap lelaki mungil itu ceroboh. namun, kali ini tidak begitu.

jihoon sepuluh langkah di depan mingyu. sengaja lelaki jangkung itu memberi jarak, karena ia tahu bahwa jihoon membutuhkannya. mingyu pun tahu, kalau sebenarnya jihoon sedang menahan tangisnya sedari tadi.

dan benar saja, di depan sana, jihoon berjongkok dengan badan yang bergetar. ia menangis. soonyoung lah yang menjadi penyebab dari tangisan itu.

dengan langkah yang pelan, mingyu menghampiri jihoon dan memeluknya, “nangis aja, mogu di sini, jihoon.”

mingyu tidak peduli akan banyaknya orang yang berhenti dan melihat mereka berdua, ada pula yang menanyakan kondisi jihoon dan ia balas dengan, “pacar saya ngambek, mas.” yang tentu saja mendapat pukulan pelan dari jihoon.

setelah kurang lebih sepuluh menit lamanya, jihoon akhirnya berhenti menangis. matanya yang sipit itu terlihat berkali-kali lipat lebih sipit sekarang. “kan, jadi jelek lee jihoon ini.” ujar mingyu sembari mengusap air mata jihoon yang masih tersisa.

lelaki mungil itu hanya diam, tetapi bibirnya maju dengan wajah ditekuk, “ngambek aja lo, cil, sama gue.” ucapnya sembari menjawil dagu jihoon

ish! nyebelin lo mah!” dengan cepat, jihoon bangkit dan berjalan meninggalkan mingyu. “tunggu aku dong, sayang!” pekik mingyu dengan nada gemulainya.

“JIJIK KIM MINGYU!”

“IYA, I LOVE YOU TOO!”


“bisa gak kita setel yang lain aja?” mingyu menolehkan kepalanya ke arah jihoon, merasa bingung dengan pilihan film yang akan ditonton mereka berdua malam ini.

mereka berdua sedang berada di rumah jihoon, mama jihoon sedang tidak ada di rumah dikarenakan sedang ada acara dengan temannya. maka di sinilah ia berada.

padahal, tadi niatnya hanya mengantar jihoon sampai di rumah dengan selamat. namun, di depan pintu bertemu dengan mama nya yang meminta untuk menemani jihoon di rumah.

“apaan sih? ini tuh bagus!”

“it's a fuckin pororo, jihoon.”

jihoon pun ikut menolehkan kepalanya menghadap mingyu. kini, mereka berdua bertatapan. “lo. jangan. hina. pororo. kesayangan. gue.”

situasi memanas, “lo. kaya. bocah. tau. gak. selera. nya.”

i don't care. you still love me anyway.”

mingyu yang mendengar itu pun memasang wajah tidak percayanya, “OKE? oke lo menang.” tandasnya.

setelah itu, mingyu pun beranjak dari sofa. namun, jihoon menahannya dengan cepat, “mogu mau kemana..”

“PIPIS. APA? MAU IKUT?”

lagi-lagi, jihoon menekuk wajahnya dan menghiraukan mingyu. lelaki jangkung itu pun terkekeh dan mengusak rambut jihoon, “pipis, sayang. kenapa? mau ikut?”

dan jihoon bertambah emosi sekarang. lelaki itu menendang mingyu dengan keras, “AW! JIHOON ASTAGA!” protes mingyu. namun, lelaki mungil itu justru memeletkan lidahnya dengan meledek.

“untung gemes lu, cil”

“HAHAHAHAHA YAUDAH SANA NTAR NGOMPOL”

“YAUDAH BENTAR”

hilangnya punggung mingyu di balik pintu, membawa kembali kesedihan yang sempat hilang tadi. jihoon tidak tahu mengapa, tapi air matanya tidak bisa berhenti.

lelaki mungil itu tahu, bahkan semua orang tahu. pada bahwasanya yang ia lakukan itu tidak salah—pada bahwasanya, memang sudah seharusnya jihoon melakukan itu sedari dulu.

namun, jihoon tidak menyangka kalau akhirnya akan semenyakitkan ini. padahal, ia melakukan hal yang benar.

“gue bilang lo bisa nangis di pundak gue, jihoon.”

lelaki mungil itu mendongak, matanya bertatapan dengan mingyu yang tengah menatapnya dengan sendu. tangan mingyu terangkat menuju kepalanya, lalu turun ke pipi dan menangkup wajah jihoon. “kenapa harus nangis sendiri, kalo lo punya gue?”

lelaki jangkung itu mengubah posisinya menjadi berjongkok. masih dengan tangannya yang berada di pipi jihoon, “gue ga masalah lo nangisin soonyoung di depan gue, jihoon. itu lebih baik daripada ngeliat lo nangis sendirian kaya gini..”

“sakit hati gue, cil. bukan karena lo nangisin soonyoung, tapi karena lo lebih milih nangis sendirian dibanding bersandar ke gue.”

i'm sorry.. i'm sorry, mogu.”

no, it's okay, jihoon. it's okay..”

pecah sudah tangisan jihoon. air matanya mengalir dengan sangat deras sekarang. namun, ia tidak menangis sendirian lagi—jihoon menangis di hadapan mingyu. bersandar di pundaknya.

“jangan merasa gaenak karena nangisin soonyoung di hadapan gue, cil. i'm okay.”

and yeah, i'll always love you. no matter what, cil.”

just ... don't, mogu. it will hurt you more than this.. don't love me, kay?.”

i don't care. lo bisa atur gue tentang apapun asal bukan perasaan gue.”

jihoon mengangkat kepalanya, kini terlihat jelas mata sembab dan pipi yang basah karena air mata. lagi-lagi, lelaki jangkung itu mengusapnya dengan tersenyum, “karena gimana pun, gue akan selalu jatuh cinta sama lo. walau berkali-kali lo nolak gue, cil.”

“tapi gue nyakitin lo..”

no? you don't. look, di sisi mana lo nyakitin gue? gaada kan? i'm okay, cil.” ujar mingyu sembari membuka lebar tangannya, bahkan menunjukkan semua sisi dari tubuhnya. “lagian ya, gue ada bpjs kok.”

sebenarnya, jihoon ingin sekali menggeplak mingyu. namun, ia tidak mempunyai tenaga untuk itu. akhirnya pun, ia hanya bisa tertawa karenanya. “gajelas lo, ah!”

suasana ruang keluarga itu menjadi lebih hangat sekarang, selain diisi dengan kartun pororo di tv, sekarang pun juga diisi oleh tawa mingyu dan juga jihoon. tidak lagi sesendu tadi.

“ji, can i kiss you?”

no.

“okay.”

jihoon pun tersenyum simpul, mengamit dagu mingyu untuk menatapnya, “ngga sekarang, ya? gue butuh waktu, mogu..”

walau masih dengan wajah yang menekuk, mingyu menganggukan kepalanya, “uhm, i know.”

“tapi, will you give me a chance?”

“hm”

“hm iya atau hm nggak?”

“hmm, gatau”

“lo udah berapa tahun suka sama gue?”

“sekarang tahun ketiga, mau tahun keempat. kenapa?”

“gapapa kan nunggu lima tahun lagi?”

“ji..”

“mau ga?”

“gatau ah.”

“yaudah empat tahun deh”

“satu.”

“tiga setengah tahun”

“satu.”

“tiga tahun”

“APAAN BERKURANG SETENGAH DOANG?”

“yaudah dua setengah”

“satu.”

“anjing lu YAUDAH SATU”

“bagus.”

“gue yang butuh waktu lu yang nentuin seberapa lama, aneh.”

“iya, i love you too

“halu, siapa yang bilang love you?”

“duh, lo secinta itu sama gue ya sampe ngomong dua kali?”

“orang sinting”

“so, kita mau kemana?” tanya soonyoung ketika kian sudah memasuki mobil. perempuan itu tersenyum, “jeju.”


deburan ombak memasuki pendengaran soonyoung. terasa nyaman dan membuatnya menjadi bisa 'bernapas', setelah merasa sesak semalaman penuh.

waktu yang ditempuh dari seoul menuju jeju adalah kurang lebihnya 4 jam, menggunakan mobil pribadi. sepanjang perjalanan, baik kian maupun soonyoung tidak ada yang berbicara. hanyalah radio yang mengisi.

“kamu tau kak, kenapa aku milih jeju?” itu kian, perempuan itu tengah memakai jaketnya yang ia berikan tadi dan sedang duduk di sebelahnya.

soonyoung menoleh, menatap kian yang sedang menutup mata ketika angin menerpa wajahnya. “nggak, kenapa?” jawabnya sembari mengalihkan pandangan kembali. “dulu, papa suka ngajak aku ke sini.”

jawaban yang kian berikan, membuat soonyoung terdiam. bagaimana bisa ia memanggil 'papa' dan bukan ayah? terasa aneh jika ibu disandingkan dengan papa, bukan? “tapi ... papa udah nggak ada.” sambungnya.

kali ini, perempuan itu menolehkan wajahnya menatap soonyoung. “dan ibu, adalah ibu tiri aku.” benar saja, ternyata wanita yang selalu soonyoung anggap tidak waras itu bukanlah ibu kandungnya.

karena bagaimana pun, seorang ibu tidak akan melakukan suatu hal yang membahayakan anaknya—terutama jika seorang putri. harusnya juga, ibu menjaga martabat kian sebagai perempuan. bukan justru mendandaninya seperti wanita bayaran.

kian menekuk kaki dan memeluknya, setelah itu menenggelamkan kepala di sana. “aku kangen papa.. tapi ibu ga pernah izinin aku keluar, selain sama kamu.” ujarnya dengan sendu.

soonyoung pun masih diam, bingung melakukan apa. karena jujur saja, bukan bidangnya untuk menenangkan seseorang yang sedih seperti ini. tapi, tanpa sadar tangan kanannya terbawa menuju pundak kian. menepuknya berkali-kali dengan perlahan.

setelah beberapa menit mereka berada di posisi itu, kini kian mendongakkan kepala dan kembali menatap lautan yang luas. “maaf, kak. jadi mellow gini..” ucapnya.

lelaki sipit itu hanya menggeleng sebagai jawaban, lalu menarik tangannya yang masih berada di pundak kian. “it's okay.” balasnya.

mungkin, orang akan mengatakan kalau soonyoung tidak punya perasaan karena terlalu cuek kepada orang yang sedang bersedih. namun, lelaki itu tidak peduli. karena pada dasarnya, ia tidak tahu cara menenangkan seseorang. sama sekali.

“papa udah gaada dari tiga tahun lalu. mungkin, pas aku lagi ujian nasional? hari kedua, kayanya.” tanpa sadar, kian kembali menceritakan tentang dirinya tanpa diminta.

sebenarnya, kian bukanlah tipe orang yang suka menceritakan masalah hidupnya kepada orang lain. hanya saja, entah mengapa kian merasa nyaman untuk bercerita dengan soonyoung.

walau lelaki sipit itu hanya mendengarkan, tanpa memberinya saran atau pun semangat. kian tetaplah merasa aman ketika bercerita dengannya. karena terkadang, kita hanya perlu mempunyai tempat untuk didengar—yang bisa membuat lega walaupun hanya sejenak.

kian tersenyum masam. “semenjak itu, aku dirawat sama ibu tiriku. kalau mama, aku juga gatau mama kemana. intinya, udah pergi jauh ninggalin aku.” setelah itu, ia menghela nafas berat. “padahal, sebelum papa meninggal, ibu itu baikk sekali sama aku. tapi semenjak papa udah gaada, ibu jadi suka marah.”

lelaki sipit itu mengangguk, menandakan bahwa ia mendengarkan. “lanjut..?” tanya kian yang lagi-lagi dibalas anggukan, “iya, lanjut.”

kian tersenyum senang. selama ini, tidak ada yang benar-benar mendengarkan ceritanya dengan serius. kadang pula, mereka hanya ingin tahu saja dan tidak peduli. namun, lelaki di hadapannya ini berbeda.

“uang warisan dari papa udah menipis, makanya aku dijodohin sama kakak. entah, aku juga gatau habis karena apa.” dahinya mengkerut, pipinya menggembung, perempuan itu sedang bercerita dengan amarah.

huft... andai aja, aku punya saudara dekat yang bisa rawat aku. sayangnya, mereka gamau. kata mereka aku nyusahin.” kata terakhir yang kian ucapkan soonyoung balas dengan anggukan kepala, yang tentu saja dibalas tatapan sinis oleh kian, “dih, kakak setuju?”

“ya iya?” mendengar itu, kian memutar bola matanya dengan malas. lalu memperbesar jarak di antara mereka berdua. “yaudah.”

“yaudah.”

kian mendengus, lalu beranjak dari posisi duduknya dengan cepat, “heh, mau kemana? kamu belum bilang apa yang mau diomongin sama saya.” tandas soonyoung tanpa melihat ke arah kian.

dengan memasang senyum masam, perempuan itu kembali mendudukkan diri di samping soonyoung. namun, dengan jarak yang lebih lebar dibanding sebelumnya.

“aku ngga suka sama kakak.”

“iya, sama.”

“aku gamau kita dijodohin.”

“iya, sama.”

“... tapi nanti aku ngga kaya.”

“jangan gila.”

dengan cepat, kian menolehkan kepalanya ke arah soonyoung. “seriously?” tanya nya dan soonyoung hanya menghendikkan bahu nya.

“aku belum siap nikah.”

“iya, sama.”

“aku juga gamau nikah sama om-om kaya kamu.”

“saya juga gamau sama bocah.”

“ish!”

“apa?”

“aku udah punya pacar!”

“...”

tidak mendengar jawaban lagi, kian ikut terdiam. kalau ditanya, apakah ia bingung? tentu saja jawabannya iya. karena bagaimana pun, yang mempunyai pacar terlebih dahulu adalah lelaki di sebelahnya ini, baru kian.

tetapi, bagaimana bisa ia hanya berdiam diri dengan wajah lesu dan sendunya? “kakak putus, ya?”

“iya.”

“...”

kian pun mengalihkan pandangannya dengan canggung, bingung ingin menanggapi dengan apalagi. “baru kemarin malem, terus paginya kamu ngajak jalan.” tambahnya.

perempuan itu meringis pelan, menggigit bibir dalamnya dengan kencang. namun, di sebelahnya, soonyoung terkekeh pelan melihat wajahnya itu.

“bukan salah kamu, tenang.” ucapan itu membuat kian merasa lega. namun, “yaa, mungkin ada 5% salah kamu. yang ngetag saya di instagram itu.”

“tapi sepenuhnya, salah saya.” sambungnya lagi.

soonyoung menekuk kedua kakinya, memeluknya juga sama seperti apa yang kian lakukan. “salah saya karena tidak bisa menunjukkan kasih sayang dengan benar. terlalu pasif. padahal aslinya, saya sayang banget sama dia.”

“kemarin juga, sempet merasa bosan yang ngebuat saya jadi ngejauhin diri dari dia dan dia sadar. dia tau.”

kali ini, kian menjadi pihak mendengar. “saya ga pernah yang namanya menjalin hubungan lebih dari satu tahun, kian. rasanya aneh, tapi juga menyenangkan. mendebarkan.” senyuman kecil tercetak di wajahnya, “apalagi, kalau sama dia.”

“saya juga ... ngga bisa terbuka, walaupun itu sama dia. aneh, bukan?” yang dibalas anggukan spontan oleh kian, “kok kamu setuju?”

“a-anu..”

soonyoung terkekeh pelan, lalu menghela nafas berat. “tapi, saya juga gabisa ngelawan bunda, kian. bunda ga ngasih restu untuk hubungan kita.” lanjutnya.

kian tidak terkejut, tentu saja. karena itu adalah alasan utama mengapa mereka dijodohkan. “makanya, pas kemarin dia minta putus—saya ga bisa apa-apa. karena memang, sudah tidak ada yang bisa diperjuangkan.”

“tapi kamu masih sayang dia, kakak. kenapa gaada perjuangannya untuk orang yang kamu sayangi?”

“saya tahu itu, kian. tapi saya juga tahu akhirnya akan seperti apa.”

“bodoh.”

“iya, terima kasih.”

kali ini, mereka berdua menghela nafas secara bersamaan. entahlah, terlalu banyak permasalahan yang dimana jawabannya sulit untuk ditemukan.

atau mungkin, jawabannya sudah sedari dulu ada. tetapi mereka tidak sadar dan justru mencari jawaban lain. karena, mereka tidak yakin dengan itu.

“apa seenggaknya gamau coba lagi, kak?”

“untuk apa? untuk menerima jawaban dan penolakan yang sama untuk kedua kalinya?”

“bukan. untuk seenggaknya memberi tahu, kalo kamu pun berjuang untuk kalian.”

memang terkadang, banyak sekali dari kita yang justru belajar dari sosok anak kecil. padahal, harusnya kita yang mengajarkan mereka, bukan?

bukanlah karena mereka mempunyai pemikiran yang lebih luas dibanding kita. namun, mereka bisa mengatakan apa yang ingin mereka katakan tanpa merasa gengsi yang menyelimutinya.

“tapi aku tau bakal kaya apa, kian.” lagi-lagi, perempuan itu memutar bola matanya dengan malas. “kakak bilang, kakak terlalu pasif kan di hubungan kalian? ini tuh saatnya menunjukkan ke pacar kakak, kalo kakak juga berjuang!” emosi sudah, orang-orang di sekitar mereka sampai memutar balik untuk melihat.

“oke, oke. cukup.”

“humph!” sekalinya bocah akan tetap dan selalu menjadi bocah. lihat saja, perempuan itu tengah bersedekap dada dan tambah menjauhkan diri dari soonyoung. “pundungan.”


“makasih kak, udah nemenin aku hari ini.” ujar kian sembari melepas sabuk pengamannya. “hm, sama-sama.” sahut soonyoung.

sebelum keluar, kian berhenti untuk sesaat dan membalikkan tubuhnya menghadap soonyoung. “foto kakak tadi, yang make hp aku, boleh aku post gak?”

“nggak.”

“kak.. please?”

soonyoung berdecak pelan, “buat apasih?”

“biar aku punya memori habis ke jeju lagi..” lirihnya pelan.

lelaki sipit itu pun mengusap kasar wajahnya dan menganggukan kepala, “ya, boleh.” ucapnya dengan terpaksa.

“YESSSHHH!!”

“jangan pasang caption aneh-aneh, awas aja kamu.”

“bawel.”

“bocah satu..”

“THANK YOU KAKAK DADAAAAH!!”

dan punggung kian pun menghilang di balik pintu. perempuan itu sudah masuk rumah dengan selamat.

“sekarang ... tinggal chat jiwu lagi.” gumam soonyoung, “dibales nggak, ya?”

“bismillah..”